Saya pikir Soekarno merasakan pengasingan ini sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk dijalani. Tidak hanya daerah yang asing, jauh dari kemajuan artinya jauh pula dari pengetahuan. Orang dengan intelektualitas seperti Soekarno, saya bayangkan, pasti haus dengan pengetahuan, dengan ilmu, dengan bincang-bincang yang sarat berisi, dengan teman diskusi yang bisa menjadi teman berpikir pula.
Mungkin rasanya tak jauh beda dengan dipenjara, meski tanpa jeruji dan tanpa jam kunjung.
Di masa-masa sulit itulah, Soekarno menghabiskan waktunya dengan berkebun, menggambar, berkirim surat, dan mengenal masyarakat sekitar. Di Ende, pada waktu itu, tinggal beberapa misionaris Katolik dari Belanda. Soekarno banyak bercakap dan berdiskusi dengan mereka, juga sering membaca buku di perpustakaan keuskupan; satu dari sedikit tempat di Ende yang memiliki bahan bacaan beragam. Untung ya, ada perpustakaan, coba kalo nggak, orang pinter kayak dia bisa mati gaya.
Soekarno juga banyak berinteraksi dengan penduduk Ende yang majemuk. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Ende merupakan wilayah dengan beragam masyarakat adat dan menganut sistem klen (klan). Mereka mewariskan nilai adat secara turun-temurun, termasuk gotong-royong, musyawarah, dan kekeluargaan.Â
Masalah-masalah yang muncul antar wilayah adat, misalnya, diselesaikan dengan pembicaraan dan tidak dengan kekerasan. Tetua adat memiliki posisi yang dihormati dalam masyarakat, dan mereka memberikan banyak pendampingan untuk warganya.Â
Sebagai bagian dari masyarakat adat yang sama, masyarakat juga menunjukkan penghormatan dan rasa kekeluargaan yang erat, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan, termasuk kepercayaan. Masyarakat Ende sebagian besar beragama Katolik, sisanya Muslim dan kepercayaan-kepercayaan lama dari nenek moyang.
Interaksi masyarakat di Ende ini diamati Soekarno dan direnungkannya secara mendalam hampir setiap hari sepanjang pengasingannya. Di tepi pantai, di bawah sebuah pohon sukun sembari melayangkan pandang ke laut, Soekarno bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyendiri, berpikir, berefleksi. Saya duga Soekarno ini pasti introvert kayak saya. Haha.
Lima sila dipilihnya. Pancasila, lahir di Ende, di bawah pohon sukun. Di tempat yang kini dengan bangga menyandang namanya, Taman Pancasila.
Dulu dan Kini
Sekian puluh tahun berlalu, Ende masih punya karakter yang sama. Hangat masyarakatnya tidak pudar. Keinginan saling membantu tidak lantas hilang. Potret kerukunan ini bisa dilihat setiap hari, bahkan untuk hal-hal kecil.Â
Para perantau yang bermukim di Ende banyak mengatakan bahwa keberagaman yang ada di Ende diterima masyarakat dengan baik, sehingga tidak ada sekat antara mereka yang berbeda. Ende juga memiliki Forum Kerukunan Umat Beragama yang sangat aktif, yang tak hanya melibatkan para tetua, juga para pemuda.