Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Isu yang Nggak Seksi

30 Agustus 2017   19:13 Diperbarui: 30 Agustus 2017   20:15 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit foto: spinedu.com

Suatu hari, saya bertemu kawan lama. Perempuan ini bekerja beberapa tahun di Kalimantan, lalu kembali ke Jakarta. Dalam pertemuan itu, selain mengenang masa-masa yang sudah lalu, tentu saja ada perbincangan mengenai pekerjaan. Dia bertanya, "Sekarang kamu kerja apa, Citra?"

Saya menjawab singkat, "Bekerja di sektor energi."

Melihat raut muka dan tanggapannya mengenai jawaban itu, saya tahu bahwa pembicaraan mengenai pekerjaan saya itu tak akan berlanjut. Saya tersenyum simpul, hal ini lumrah saya alami. Kebanyakan orang menganggap energi itu bidang yang membosankan, isu yang tak panas (seperti politik), begitu pula orang-orang di dalamnya. Saya tidak akan tersinggung bila ada yang mengatakan itu dengan gamblang pada saya. It happens all the time.

Barangkali beda cerita jika yang ditanya adalah Pak Jonan.

Energi itu terlalu teknis,

......dan setinggi apa pun keahlian para "teknisi" energi, seberapa maju perkembangan teknologi yang kita miliki, serta sebaik apa pun hasil yang bisa kita capai; technical stuff doesn't sell. Sebagai informasi yang cukup diketahui saja, barangkali bisa. Untuk tahu tentang apa itu pemanasan global, kita bisa dengan mudah melihat ensiklopedi atau Wikipedia. Untuk tahu mengenai perubahan iklim, sumbernya bisa sama. Untuk tahu tentang energi terbarukan, ketik saja kata kuncinya niscaya halaman Wikipedianya pasti ada. Informasi di sana lengkap, plus sumber yang bisa ditelusuri lebih jauh.

Namun pengetahuan tentang itu bisa dibilang tak menggerakkan hati dan tidak menciptakan gerakan dalam konteks yang lebih luas. Tak juga kuliah berjam-jam dan sekian banyak pidato bisa menggaransi orang untuk menjadi peduli mengenai isu energi. Tak cukup juga saya menulis, sedikit demi sedikit, berusaha sekonsisten mungkin. Pesannya tak sampai, gemanya tak lantang.

Kali ini izinkan saya mengajak Anda pergi (lagi) ke Jerman.

Perempuan muda itu berteriak menyuruh keempat anaknya masuk ke dalam rumah. Kakinya yang patah membatasi geraknya, sehingga ia hanya bisa banyak berbaring. Hari itu hujan yang turun di Schnau bukanlah hujan yang menjadi penyejuk, hujan itu membawa racun. Kecelakaan fatal terjadi di Chernobyl, dua ribu kilometer jauhnya. Material radioaktif terlepas ke udara, terbawa ke hampir seluruh daratan Eropa kecuali Peninsula Iberia di selatan.

Di ranjang sederhana itu, Ursula Sladek mengkhawatirkan anak-anaknya. Benaknya berkecamuk, hatinya berdebar, apakah aku harus hidup dengan ketakutan bahwa ketika anak-anakku bermain saat hujan, mereka akan sakit?

Hari itu Ursula bertekad, energi adalah urusannya, bahwa energi yang bersih, aman, dan ramah lingkungan harus ada untuk kepentingan masa depan anak-anaknya. Sepuluh tahun setelahnya, Ursula dan koperasi energi yang didirikannya bersama komunitas sekitarnya mengambil alih penyediaan energi di kotanya, menggantikan batu baru dan nuklir dengan tenaga surya, angin, air dan biomassa. Menggantikan perusahaan swasta dengan koperasi komunitas yang punya cita-cita sama: memperjuangkan energi ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk masa depan anak-anak mereka. Perjuangan mereka tak sebentar, perjuangan mereka juga menghadapi banyak kegagalan. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, namun mereka setia dan terus berjalan bersama.

Ursula Sladek (kredit foto: Goldman Prize)
Ursula Sladek (kredit foto: Goldman Prize)
Bisa jadi kita merasa tak perlu tahu bagaimana Ursula memperjuangkan anak-anaknya, atau potensi energi terbarukan apa yang menjadi fokus perjuangannya, atau berapa banyak kegagalan yang dihadapinya sebelum bisa meraih cita-citanya. Namun bisakah kita membayangkan perasaan Ursula di pagi hari yang kelam itu? Bisakah kita menyadari kekhawatirannya? Dan bisakah kita mengerti alasan perjuangannya?

Every issue needs storytelling,

......juga untuk urusan energi. Sangatlah sulit bagi kita membayangkan mengapa kita perlu pembangkit listrik tenaga surya, mengapa kita harus menggalakkan pembangunan infrastruktur reaktor biogas, mengapa kita harus banyak-banyak berhemat energi. We can't relate. Kita ini hidup mewah, punya akses energi yang cukup dan bisa diandalkan, bisa menikmati segala kemajuan yang menyertainya. Bagaimana kita bisa kritis terhadap isu energi dan berempati pada mereka yang belum mendapatkan akses energi?

Cerita adalah jalannya. Isu energi yang sangat teknis ini perlu cara penyampaian yang bisa 'menggerakkan', tak hanya menyentuh. Empati bisa terbangun bila kita bisa merasakan dan membayangkan, dan kepedulian bisa tumbuh dari empati yang menemukan aksi. Tantangannya tentu saja bagaimana mengemas hal-hal membosankan tadi menjadi sesuatu yang menarik tanpa kehilangan esensi dan tanpa adanya kesalahan fakta, aka jangan mengurangi dan jangan pula lebay.

Pernah menonton film dokumenter An Inconvenient Truth? Film ini merupakan contoh bagus bagaimana kita bisa "bercerita" mengenai dampak penggunaan energi kita pada iklim global. Segi positifnya, film ini merupakan dokumentasi yang cukup informatif dan membukakan mata mengenai perubahan iklim, sebab, dan dampaknya. Kurang baiknya, film ini bermain di area "ketakutan". Mirip seperti model teroris, ketakutan itu menciptakan efek besar dan jangka panjang, bisa menarik perhatian dalam waktu singkat; namun biasanya (biasanya ya) efek itu tak bertahan lama. Model bercerita dengan "ketakutan" ini pula yang disajikan oleh Daniel Wallace-Wells dengan artikelnya yang fenomenal di New York Magazine: The Unhabitable Earth (dari judulnya aja udah mengerikan, ceunah). Jika dua contoh besar ini bisa membuat kita berhenti sejenak dan memikirkan mengenai perubahan iklim, energi terbarukan, dan teman-temannya; jangan-jangan kita harus ditakut-takuti dahulu untuk peduli?

yy-59a6ab4254610c185a7424b2.jpg
yy-59a6ab4254610c185a7424b2.jpg
Di sinilah peran cerita dan penceritanya diuji. Cerita Ursula Sladek bagi saya merupakan cerita yang hampir ideal: bukan hanya tentang ketakutan, juga tentang perjuangan dan solusi. Cerita sedih memang membuat kita lebih mudah berempati, mungkin benar kata orang bahwa manusia itu susah melihat orang lain senang. Namun optimisme itu perlu terus dibangun untuk melanggengkan empati yang sudah terbangun dan mendorongnya menjadi aksi. Ini yang saya lihat kemudian "dikoreksi" dalam film lanjutan An Inconvenient Truth (An Inconvenient Sequel: Truth to Power). Cerita yang disajikan tak hanya mengenai dampak mengerikan perubahan iklim, juga soal lebih maju dan murahnya teknologi energi terbarukan hingga kesepakatan global untuk mengurangi emisi. Film ini menceritakan solusi.

Di tengah sedikitnya cerita dan pencerita energi, saya sungguh tersentuh dengan "Terang di Desa Ampas" ini. Sudut penceritaannya bagus, dengan sinematografi yang tak kalah apik. Kudos untuk Pak Jokowi dan Kementerian ESDM.


Tentu satu cerita dan hanya cerita tak cukup. Kita perlu lebih banyak cerita, lebih banyak pencapaian, dan lebih banyak kontribusi untuk bisa mengulang senyuman anak-anak Ampas di banyak titik lain di Indonesia.

Salam hangat,

Citra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun