Mohon tunggu...
Citra I Pratiwi
Citra I Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi: cek token listrik sebelum pergi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kebijakan Jangka Pendek vs Jangka Panjang: Dilema Populisme dan Pembangunan Berkelanjutan

18 September 2025   11:41 Diperbarui: 18 September 2025   11:41 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kebijakan publik adalah instrumen utama pemerintah untuk mengarahkan pembangunan, menjaga stabilitas, dan menjawab kebutuhan masyarakat. Namun, arah kebijakan tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan objektif, tetapi juga oleh orientasi waktu: apakah lebih menekankan hasil instan (jangka pendek) atau membangun fondasi berkelanjutan (jangka panjang).

Di Indonesia, dilema ini sangat menonjol. Subsidi energi, bantuan tunai, dan stimulus fiskal cepat sering menjadi "favorit" karena langsung terasa oleh masyarakat. Sebaliknya, pembangunan infrastruktur besar seperti MRT, Kereta Cepat, atau Ibu Kota Nusantara (IKN), serta investasi jangka panjang di bidang pendidikan dan riset, sering kali kurang populer karena manfaatnya baru terlihat bertahun-tahun kemudian.

Membedah dilema kebijakan jangka pendek vs jangka panjang dengan pendekatan ilmiah-kritis: menyoroti kelebihan dan kekurangan masing-masing, dampak sosial-politik, serta risiko "jebakan populisme instan" yang rawan menjadi celah korupsi.

1. Definisi dan Karakteristik

Kebijakan Jangka Pendek

  • Dirancang untuk memberi manfaat cepat (minggu -- bulan).
  • Umumnya berbentuk subsidi harga, bantuan tunai, atau insentif fiskal sementara.
  • Contoh: Bantuan Langsung Tunai (BLT), subsidi BBM, subsidi listrik.

Kebijakan Jangka Panjang

  • Fokus pada perubahan struktural dengan hasil jangka dekade.
  • Membutuhkan komitmen lintas generasi dan biaya tinggi di awal.
  • Contoh: pembangunan MRT, program Kartu Indonesia Pintar (KIP), reformasi energi terbarukan, peningkatan kualitas SDM.

2. Dampak Positif Kebijakan Jangka Pendek

  1. Meningkatkan kepuasan publik secara instan
    Survei Indikator Politik (2022) menunjukkan popularitas pemerintah melonjak setelah penyaluran BLT di masa pandemi. Masyarakat menilai langsung kinerja pemerintah melalui manfaat cepat.
  2. Meredam krisis sosial-ekonomi
    Saat inflasi melonjak, subsidi energi efektif menahan beban rumah tangga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Agustus 2022 mencapai 4,69% yoy---tertinggi sejak 2015---dan peran subsidi energi sangat signifikan dalam meredam gejolak harga.
  3. Efektif secara politis
    Kebijakan instan mudah dipahami publik dan menjadi modal elektoral. Ini membuatnya sangat menarik bagi pemerintah menjelang pemilu.

3. Risiko dan Dampak Negatif

  1. Mengorbankan investasi jangka panjang
    Menurut Kementerian Keuangan (2023), subsidi energi pada APBN 2022 mencapai Rp551,2 triliun---lebih besar dari anggaran pendidikan (Rp542,8 triliun). Artinya, ruang fiskal untuk pendidikan, riset, dan infrastruktur tereduksi.
  2. Menciptakan ketergantungan
    BLT dan subsidi energi membantu sesaat, tetapi tanpa perbaikan struktural, masyarakat tetap bergantung pada bantuan negara.
  3. Populisme dan politisasi
    Liddle (2019) menyebut fenomena ini sebagai political populism trap, di mana kebijakan instan dijadikan alat kampanye, mengorbankan efisiensi fiskal.
  4. Tidak menyelesaikan akar masalah
    Subsidi BBM menahan harga, tetapi tidak menyelesaikan ketergantungan impor minyak, rendahnya diversifikasi energi, maupun masalah produktivitas ekonomi.

4. Dampak pada Persepsi Publik

Publik cenderung menilai pemerintah dari manfaat instan, bukan dari fondasi jangka panjang. World Bank (2021) mencatat bahwa Indonesia menghadapi tantangan political economy reform: tekanan masyarakat membuat reformasi penting (perpajakan, pendidikan, transisi energi) tertunda atau tidak konsisten.

5. Implikasi Jangka Panjang

  1. Risiko stagnasi pembangunan
    Jika APBN tersedot ke subsidi instan, investasi struktural terhambat. Bonus demografi bisa gagal dimanfaatkan.
  2. Biaya ekonomi di masa depan
    Subsidi energi menggerus alokasi pendidikan & riset, padahal menurut OECD (2022), negara dengan investasi SDM rendah akan tertinggal dalam daya saing global.
  3. Kehilangan daya saing internasional
    Negara yang terlalu sibuk memadamkan krisis jangka pendek sulit mengejar negara lain yang fokus pada inovasi dan transisi hijau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun