Mohon tunggu...
Citra I Pratiwi
Citra I Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi: cek token listrik sebelum pergi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Indonesia: Antara Konsumsi dan Produksi - Mengapa Kita Lebih Nyaman Menjadi Negara Konsumtif?

15 September 2025   18:41 Diperbarui: 15 September 2025   18:41 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, pertumbuhan kekayaan para taipan seringkali dicerminkan bukan dari inovasi teknologi atau paten, tetapi dari kepemilikan bisnis, properti, dan investasi yang menghasilkan pendapatan pasif dan modal besar.

Sebuah studi menyebutkan bahwa orang kaya di Indonesia rata-rata mengalokasikan sekitar 30% dari kekayaannya untuk investasi di sektor properti. Contoh konglomerat properti seperti keluarga Ciputra, Keluarga Widjaja, Agung Sedayu, hingga Lippo Group menunjukkan bagaimana sektor properti dan lahan tetap menjadi sumber utama akumulasi kekayaan. (Sumber: Lembaga Konsultan melalui Wealth Report 2014) Kekayaan ini jelas memanfaatkan pola konsumsi masyarakat perkotaan yang terus meningkat, bukan dari terobosan inovasi teknologi.

Di sisi kebijakan pemerintah, pola serupa terlihat. Subsidi APBN lebih banyak dialokasikan untuk konsumsi---seperti listrik, LPG, dan BBM---daripada mendukung riset, inovasi, atau penciptaan teknologi baru. Misalnya, tahun 2025 pemerintah mengalokasikan Rp 90,22 triliun untuk subsidi listrik, di luar subsidi energi lainnya. (Sumber: Kementerian ESDM 2024) Angka ini jauh lebih besar dibanding anggaran riset nasional yang hanya sekitar 0,2--0,3% dari PDB.

Kenyataan ini memperlihatkan ketidakseimbangan: kekayaan individu banyak dibangun dari aset konsumtif/investasi pasif, dan alokasi publik lebih banyak untuk menjaga daya beli ketimbang menumbuhkan inovasi yang bisa menciptakan industri berdaya saing tinggi.

Mengapa Indonesia Nyaman Jadi Negara Konsumtif?

  1. Kebijakan Publik Lebih Condong ke Konsumsi
    Subsidi besar yang dialokasikan tiap tahun lebih banyak menjaga harga agar tetap terjangkau, ketimbang memberi insentif riset atau teknologi baru. Masyarakat jadi terbiasa dengan harga murah, sementara dorongan inovasi melemah.
  2. Struktur Ekonomi yang Bertumpu pada Komoditas dan Perdagangan
    Sejak lama, ekonomi Indonesia bertumpu pada ekspor komoditas mentah (batu bara, sawit, nikel) dan impor barang jadi. Pola ini membuat Indonesia nyaman sebagai pemasok bahan baku sekaligus pasar konsumsi, bukan produsen inovasi.
  3. Budaya Konsumerisme Kelas Menengah
    Pertumbuhan kelas menengah urban memunculkan budaya konsumtif: gawai terbaru, fesyen impor, dan gaya hidup instan. Identitas sosial sering diukur dari barang yang dipakai, bukan karya atau inovasi yang dihasilkan.
  4. Minimnya Ekosistem Riset & Paten
    Anggaran riset yang rendah, birokrasi dalam pendaftaran paten, hingga lemahnya kolaborasi industri--kampus membuat inovasi sulit berkembang. Wirausaha lebih nyaman jadi reseller atau distributor ketimbang inovator.

Dari Konsumsi ke Produksi

  1. Reorientasi Subsidi Pemerintah
    Alihkan sebagian dana subsidi konsumsi untuk mendukung riset terapan, insentif paten, dan pembiayaan startup berbasis teknologi. Subsidi tetap ada bagi kelompok rentan, tapi pembangunan diarahkan ke inovasi.
  2. Insentif Bagi Inovator & UMKM Kreatif
    • Royalti paten dan insentif pajak bagi UMKM yang menciptakan produk baru.
    • Skema pendanaan venture capital sosial dengan risiko rendah.
  3. Edukasi Konsumen: Bangga Produksi Lokal
    Gerakan membeli produk lokal harus jadi kesadaran bersama, bukan sekadar slogan. Konsumsi lokal berarti investasi untuk masa depan bangsa.
  4. Kolaborasi Triple Helix (Pemerintah--Industri--Kampus)
    Universitas diberi ruang lebih besar untuk riset terapan; industri diberi insentif menyerap riset; pemerintah memfasilitasi ekosistem. Kita mungkin lebih familiar dengan istilah konsorsium. Hal ini berpotensi menjadi masalah antara lain alih-alih berkolaborasi kadang justru muncul konflik persaingan antar universitas memperebutkan dana penelitian, ketergantungan pada dana eksternal yang justru melemahkan independensi akademik. Peneliti bisa jadi "takut bersuara" atau mengkritik kebijakan, karena khawatir tidak mendapat pendanaan. Kemudian terakhir, bias orientasi komersial dimana idealnya institusi perguruan tinggi mampu menyeimbangkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kalau riset hanya diarahkan pada orientasi komersial, fungsi kritis universitas sebagai guardian of knowledge bisa tergeser.
  5. Pemberdayaan Kelas Menengah Urban, khususnya Perempuan
    Melalui platform seperti Pradipta Asa Srikandi, perempuan dengan jeda karier bisa dilibatkan dalam ekosistem inovasi: membuat produk kreatif, membangun usaha sosial, hingga berpartisipasi dalam riset pasar. Dengan begitu, kelas menengah tidak hanya jadi target konsumsi, tapi motor produksi.

Indonesia sebagai negara konsumtif adalah hasil gabungan faktor eksternal (perjanjian dagang, globalisasi) dan internal (subsidi konsumsi, lemahnya ekosistem riset). Namun masa depan tidak harus mengikuti pola masa lalu.

Dengan kebijakan yang berimbang---subsidi konsumsi tetap ada, tapi inovasi diberi ruang---Indonesia bisa bertransformasi dari bangsa yang nyaman membeli menjadi bangsa yang bangga mencipta.

Dan pada titik ini, setiap individu---terutama perempuan urban yang kerap dianggap hanya konsumen---dapat berperan sebagai produsen ide, inovasi, dan karya nyata yang menopang ekonomi bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun