Mohon tunggu...
Ciswoto Febryanto
Ciswoto Febryanto Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya pribadi yang disiplin, supel, dan mudah beradaptasi. Hobi saya membaca dan olahraga, karena keduanya membantu saya tetap fokus, sehat, dan terus berkembang. Saya senang belajar hal baru serta terbuka untuk tantangan yang bisa menambah pengalaman dan kemampuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Kursi Prioritas Tak Lagi Prioritas, " Hilangnya Rasa Peka di Transportasi Umum ".

15 Agustus 2025   16:55 Diperbarui: 15 Agustus 2025   16:50 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gerbong berguncang pelan. Udara pengap bercampur dengan suara percakapan, derit roda, dan deru mesin. Di antara kerumunan penumpang yang berdiri rapat, seorang perempuan muda berdiri dengan perut yang mulai membuncit. Tangannya berpegangan erat pada tiang besi, matanya sesekali terpejam menahan lelah.

Di hadapannya, seorang penumpang duduk nyaman di kursi prioritas. Telinganya tersumbat earphone, jemarinya lincah menggulir layar ponsel. Tatapannya tak pernah terangkat, seolah dunia di luar layar itu tak ada. Tak ada gerakan berdiri, tak ada senyum, tak ada isyarat memberi tempat.

Pemandangan seperti ini telah menjadi cerita yang terlalu sering diulang. Kursi yang diciptakan untuk memberi ruang pada mereka yang membutuhkan kini kerap menjadi milik mereka yang enggan peduli. Ada yang pura-pura tertidur, ada yang memalingkan wajah, dan ada pula yang dengan cuek duduk hingga perjalanan selesai.

Aturan jelas terpampang di dinding dan jendela. Stiker besar dengan gambar kursi prioritas terlihat di setiap sudut. Suara pengumuman mengingatkan di setiap pemberhentian. Petugas sesekali memberi teguran. Namun, kesadaran yang seharusnya lahir dari empati tidak bisa dipaksa dengan tulisan atau pengeras suara.

Etika di transportasi umum bukan hanya tentang berdiri untuk memberikan kursi. Ini tentang menyadari bahwa ruang yang kita bagi bukan milik pribadi. Ini tentang menahan suara agar tidak mengganggu, memberi jalan bagi yang terburu-buru, dan menjaga kebersihan agar semua merasa nyaman.

Kursi prioritas adalah simbol kecil dari kemanusiaan dalam perjalanan bersama. Saat simbol itu diabaikan, yang hilang bukan sekadar tempat duduk melainkan rasa peka, rasa hormat, dan kepedulian yang membuat kita tetap menjadi manusia di tengah keramaian.

Dan mungkin, di suatu hari nanti, yang berdiri di depan kita adalah orang yang kita cintai. Pertanyaannya, akankah orang lain mengulurkan kebaikan yang sama, atau justru membiarkan mereka berdiri sepanjang jalan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun