Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yuk Puasa dengan Benar, agar Tidak Terjebak Perilaku Pamer Harta

23 Maret 2023   05:36 Diperbarui: 23 Maret 2023   05:44 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang pamer harta. Sumber: https://fajar.co.id/

Flexing (pamer harta) telah muncul sebagai trending topic berbagai media. Kehadirannya telah menjadi fenomena yang mengundang perhatian banyak orang. Flexing tidak saja menjadi perhatian orang biasa, namun juga menjadi perhatian pemerhati sosial, psikolog sampai elit agama, bahkan pejabat negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa flexing telah menjadi masalah sosial baru di masyarakat. Sebab kehadirannya telah menjadikan masyarakat menjadi gelisah akibat munculnya fenomena tersebut. Hakikinya perilaku pamer harta merupakan salah satu ekspresi hawa nafsu duniawi. Oleh sebab itu perilaku tersebut berkorelasi kuat dengan konstruksi jiwanya. Salah satu penyakit jiwa adalah riya'.

Hendaknya Harta itu Kita Miliki, Jangan Sampai Kita ini Menjadi Milik Harta Kita

Kosakata pamer dalam agama Islam disebut dengan istilah riya'. Perilaku pamer muncul akibat sifat ego yang dominan pada diri seseorang. Aktivitas pamer merupakan upaya pelakunya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Pendek kata orang yang senang pamer, adalah orang yang ingin mendapatkan pengakuan lebih dari orang lain.

Pada umumnya yang dipamerkan adalah harta, sebab harta yang dimiliki seseorang adalah simbol kesuksesan seseorang. Maka memamerkan hartanya merupakan sikap yang dilakukan untuk mendapatkan kesuksesan dirinya. Namun selain harta yang dipamerkan, juga pendidikan, keberhasilan anak-anaknya,dll. Pada masyarakat, pamer harta biasanya diwujudkan dengan bangunan rumah maupun kendaraan. Momen pamer yang sering digunakan adalah menjelang lebaran bagi masyrakat desa yang merantau ke kota. Masyarakat pada umumnya hanya menyikapi dengan menggelengkan kepala, atau bisik-bisik antar tetangga.  

Namun, di era digital sekarang, penyikapan masyarakat lebih dilakukan dengan kemampuan digitalnya. Sehingga cepat berkembang dan jangkauan pembacanya jauh lebih luas. Apabila yang pamer harta adalah masyarakat umum, biasanya disikapi dengan celotehan yang bersifat "sentilan" sebagai kritik atas sikapnya di media sosial. Namun apabila yang pamer harta adalah "oknum birokrat" penyikapannya bukan lagi celotehan, namun sudah berbentuk umpatan bahkan kemarahan. Sebab pejabat merupakan pelayan masyarakat, yang semestinya menjadi teladan, kok malah memamerkan hartanya. Jangan-jangan.....muncullah prasangka dan dugaan yang tidak-tidak.

Uraian di atas apabila disimpulkan, pamer dalam berbagai bentuk dan modusnya merupakan bukti seseorang tidak mampu mengendalikan dirinya (nafsunya). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemilik harta telah menjadi milik hartanya. Sehingga pola pikir, sikap dan perilakunya dikendalikan oleh hartanya. Ia bukan menjadi pemilik hartanya, namun hartanya telah memilikinya. Ketika sikap itu tidak disadari, maka perlahan dan pasti akan dijauhi oleh sesamanya, dan di akhirat akan menerima siksa. Sebab pamer harta merupakan bukti kesombongan. Padahal satu biji sawipun kesombongan yang dibawa sampai mati, diharamkan orang tersebut masuk surga.

Puasa Menjadi Sarana Pengendalian Nafsu Pamer Harta

Umat Islam telah diberikan aneka sarana untuk memberikan berbagai penyakit jiwa, khususnya pamer harta. Salah satu sarana tersebut adalah puasa bulan ramadan. Oleh sebab itu perlu kiranya kita sebagai muslim, mencoba memahami, merenungkan dan meresapi arti pentingnya puasa ramadan bagi kesehatan jiwa kita. Bekal niat yang benar, pengetahuan yang memadai tentang puasa ramadan dan kesadaran dalam menjalankan puasa, merupakan upaya yang dapat mengantarkan kita memperoleh kebermaknaan dalam berpuasa.

Pendek kata, apabila kita bisa berpuasa dengan baik dan benar, maka aneka penyakit jiwa secara bertahap akan dapat diminimalisir. Sebab hakikinya manusia merupakan makhluk individual, sosial dan sipiritual. Sehingga sikap yang ditampilkan selain berorientasi pada pemenuhan kebutuhan diri, namun tidak merugikan orang lain serta tidak ingin mubazir dalam perjalanan akhirat yang mesti kita jalani. Tulisan ini semoga menjadi refleksi kita semua yang sedang berada di bulan suci. Semoga memberikan manfaat untuk penulis dan pembaca. Nuwun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun