Mohon tunggu...
Cinthya Yuanita
Cinthya Yuanita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bermain dengan aksara, merenda kata, menciptakan makna.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Merekonstruksi Idiom 'Dokter Umum"

27 September 2012   12:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:35 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dokter umum adalah lini terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat!

Hari ini boleh jadi adalah hari yang inspirasional bagi saya. Semua bermula dari sebuah diskusi bersama seorang konsulen kebidanan dan kandungan dari subspesialisasi onkologi (ilmu yang secara khusus mempelajari penyakit kanker). Awalnya saya agak mengganggap remeh diskusi ini karena topiknya yang sangat absurd: terapi paliatif.

Terapi paliatif adalah serangkaian tatalaksana yang diberikan kepada pasien-pasien terminal dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Yang dimaksud dengan pasien terminal dalam hal ini adalah pasien-pasien yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, pasien-pasien yang tidak ada harapan untuk sembuh. Dengan kata lain, pasien-pasien yang dihadapkan pada pilihan mutlak berupa sakaratul maut. Meskipun pasien seperti itu sudah tidak lagi memiliki harapan, mereka tetap berhak akan kehidupan. Departemen Kesehatan pun melansir pernyataan yang mendukung terapi paliatif bagi pasien-pasien end stage.

Menjadi hak semua pasien untuk mendapatkan perawatan yang terbaik sampai akhir  hayatnya. Penderita kanker yang dalam stadium lanjut atau tidak berangsur-angsur sembuh perlu mendapatkan pelayanan kesehatan sehingga penderitaannya dapat dikurangi. Pelayanan yang diberikan harus dapat meningkatkan kualitas hidup yang optimal sehingga penderita dapat meninggal dengan tenang dan dalam iman


Target yang ditujukan bagi pasien terminal memang bukan lagi berupa perbaikan taraf kesehatan, melainkan peningkatan kualitas hidup. Tindakan-tindakan yang dapat diberikan seorang dokter tidak hanya terpaku pada tatalaksana secara fisik. Lebih dari itu, seorang dokter harus mampu memberikan terapi paliatif secara komprehensif, yakni mencakup aspek emosional, sosial, dan spiritual.

Saya tidak akan berbicara banyak mengenai topik utama tugas diskusi tadi karena saya juga tidak menguasai materi tersebut. Bagaimana mau menguasai kalau mengerjakannya saja setengah-setengah. Ya, di awal saya menerima tugas ini, saya sudah pasang sikap skeptis. Aduh, peer banget deh ya ini diskusi. Udah temanya absurd, bahannya susah dicari pula. Lagian ini seharusnya nggak ada di jadwal, loh! Lagian ngapain sih belajar beginian, kita kan lagi fokus belajar soal ibu hamil dan teman-temannya. Seperti biasa, saya yang hobi mengeluh ini langsung nyerocos seribu argumen dalam hati.

Dengan ke-setengah-hati-an tersebut, saya pun melakukan presentasi di depan dokter itu dan teman-teman sekelompok. Semua berjalan biasa saja hingga tiba saatnya umpan balik dari narasumber. Saya agak terkejut ketika mendengar kalimat pertama yang meluncur dari mulut sang konsulen.

"Buat apa nih kalian belajar ini? Nggak ada kan di kurikulum? Nggak ada kan di target belajar kalian di stase ini?"

Saya dan teman-teman langsung pasang tampang bingung. Lah, dok, kita mah ngerjain apa yang disuruh aja (contoh koas yang berpikiran sempit).

Sesaat kemudian konsulen tersebut mulai menggali lebih jauh mengenai definisi dan peran seorang dokter umum menurut pandangan kami masing-masing. Tidak dipungkiri, di dalam otak dokter-dokter muda yang naif seperti kami (atau saya saja?), definisi dokter ya profesi yang menyembuhkan pasien. Memang kompetensi kami masih terbatas pada patofisiologi dasar yang belum terarah ke bidang spesialistik. Tapi inti dari menjadi dokter ya to cure sometimes.

Pendapat-pendapat naif tersebut langsung disanggah secara tidak langsung oleh konsulen itu. Ia kembali mengajak kami merenungi posisi kami sebenarnya.

Dokter umum akan selalu berada di garda terdepan pelayanan kesehatan, kapanpun dan dimanapun. Tanpa bisa ditawar, itu adalah hal mutlak yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab seorang dokter umum. Kami semua tahu itu. Tapi, yang masih belum kami mengerti adalah tugas "sang pionir layanan kesehatan". Acapkali kami terpaku pada paradigma kaku yang menuntut seorang dokter harus pintar, hapal mati semua isi buku ajar, piawai menatalaksana sesuai guidelines, dan sebagainya.Pihak fakultas selaku penyelenggara program pendidikan sekaligus pencetak calon dokter pun mendoktrinkan hal yang sama. Praktis, mindset kami terlanjur mengacu pada anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan tatalaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun