Mohon tunggu...
CINTA DWI AFRILYA
CINTA DWI AFRILYA Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi saya mencoba hal baru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gunung Pecel Pitik: Tameng Leluhur dan Ritual Bersih Desa Pamotan

10 Mei 2025   10:04 Diperbarui: 10 Mei 2025   10:04 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: tiktok.com/@ericrahmad88)

Di kaki selatan Gunung Semeru, tersembunyi desa bernama Pamotan yang penuh cerita magis. Meski hidup di bawah bayang-bayang gunung berapi terbesar di Jawa, warga Pamotan percaya bahwa mereka memiliki pelindung setia: Gunung Pecel Pitik. Bagi mereka, Gunung Pecel Pitik adalah gunung lanang (laki-laki) yang berdiri gagah dan dipercaya menjadi tameng alami bagi Desa Pamotan. Bagi warga, gunung ini bukan hanya sebongkah tanah menjulang, tetapi penjaga yang setia, yang menahan amukan lahar Gunung Semeru agar tidak menghancurkan kampung halaman mereka.

Nama Gunung Pecel Pitik sendiri lahir dari tradisi adat yang telah berlangsung turun-temurun. Setiap bulan Suro, warga Pamotan menggelar ritual bersih desa untuk menghormati sang penghuni gunung. Salah satu ini persembahan yang selalu ada adalah ayam pecel (ayam kampung yang dimasak dengan bumbu rempa khas). Persembahan ini tidak sembarangan, ayam pecel adalah simbol syukur dan pemohon keselamatan kepada roh penjaga gunung. Karena ritual ini selalu dilakukan di puncak gunung dengan membawa ayam pecel, lama-kelamaan gunung itu pun dikenal luas sebagai Gunung Pecel Pitik.

Ritual bersih desa ini tidak hanya sekadar selmatean, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang melibatkan seluruh warga. Malam hari sebelum puncak acara, para warga, terutama tokoh agama, naik ke puncak Gunung Pecel Pitik membawa bunga- bunga segar. Di atas gunung, mereka duduk melingkar, membaca doa-doa dan sholawat (terbangan) sambil membawa harapan agar desa tetap aman, tenteram, dan dijauhkan dari malapetaka.

Bunga-bunga yang mereka bawa kemudia digunakan sebagai air cuci kaki dan tangan setelah mereka turun gunung. Tindakan simbolis ini diyakini membersihkan diri mereka secara spiritual, menghapus sial, dan membawa berkah. Anak-anak dan kaum muda biasanya ikut naik, meramaikan suasana yang hangat dan penuh makna itu.

Keesokan paginya, suasana desa semakin semarak. Warga mempersiapkan tumpeng besar, nasi berbentuk kerucut lengkap dengan lauk pauk yang akan diarak bersama-sama menuju puncak gunung. Arakan ini bukan sekadar memikul makanan, tetapi juga membawa harapan dan doa seluruh warga. Dengan semangat gotong royong, mereka mendaki gunung sambil membawa perlengkapan sesaji yang nantinya akan dipersembahkan.

Sesampainya di atas, doa-doa dipanjatkan kembali. Menjelang siang, seluruh warga berkumpul untuk makan bersama, menikmati tumpeng dan hidangan pecel pitik yang telah diberkahi doa. Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, tua dan muda, semua duduk bersama dalam kebersamaan, memperkuat tali silaturahmi yang telah terjalin lama.

Walau zaman terus bergerak maju, generasi muda Pamotan masih menjaga ritual ini dengan setia. Mereka sadar bahwa adat ini bukan sekadar tradisi, tetapi jati diri. Gunung Pecel Pitik bukan hanya gundukan tanah yang menjulang, tetapi simbol pengayoman, pelindung, dan pengingat bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam. Dengan menjaga tradisi ini, warga Pamotan menjaga bukan hanya tanah leluhur, tetapi juga warisan nilai dan kebersamaan yang tak ternilai harganya.

Namun, di balik ritual penuh syukur itu, ada keyakinan mistis yang mengikat warga: jangan pernah sembarangan menebang pohon atau merusak alam di Gunung Pecel Pitik. Konon, pohon-pohon besar di sana bukan hanya sekadar pepohonan biasa. Mereka adalah rumah para penghuni halus, roh-roh penjaga gunung yang tak terlihat di mata manusia.

Warga percaya, jika ada yang berani menebang pohon tanpa izin, roh penghuni gunung akan murka. Mereka akan merasuki seseorang di desa, memberi tanda-tanda ketidakterimaan mereka. Tanda ini biasanya muncul dalam bentuk orang yang tiba-tiba kerasukan, berbicara dengan suara yang bukan bukan suaranya. Mereka akan menyampaikan pesan bahwa ada batas-batas yang harus dihormati, bahwa alam bukan milik manusia sepenuhnya.

Karena itulah, warga Pamotan selalu menjaga keharmonisan dengan Gunung Pecel Pitik, tidak hanya melalui ritual dan doa, tetapi juga melalui tindakan menjaga kelestarian hutan dan alamnya. Mereka sadar bahwa gunung ini bukan sekadar pelindung fisik, tetapi juga pelindung spiritual, yang marah jika diabaikan atau dirusak.

Gunung Pecel Pitik adalah bukti nyata bahwa dalam kepercayaan rakyat, alam bukan sekadar latar, tetapi bagian hidup yang harus dihormati, disyukuri, dan dijaga bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun