Mohon tunggu...
CIAS
CIAS Mohon Tunggu... Sunan Gunung Djati Bandung

CIAS merupakan lembaga yang diharapkan dapat menjadi pusat pemikiran, riset, publikasi dan pengabdian di bidang Administrasi, Kebikakan dan Kelembagaan Islam, baik itu untuk pemerintahan maupun organisasi publik lainnya seperti Ormas, NGO, Yayasan, Koperasi Syaria’h, BMT, BAZ, LAZ, UPZ, DKM, dan organisasi Lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kuota Haji dalam Pusaran Kepentingan Elit Politik

24 Juni 2025   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2025   13:31 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Meri Teja Arum (Kepala Divisi Humas, CIAS)

Transisi kepemimpinan di Kementerian Agama seharusnya menjadi momentum penyegaran dalam tata kelola pelayanan ibadah, terutama haji. Namun, alih-alih ditutup dengan prestasi, masa akhir jabatan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas justru diwarnai awan gelap. Di tengah seremoni serah terima jabatan kepada Nasaruddin Umar sebagai Menag baru periode 2024--2029 mendatang, publik diguncang oleh dugaan korupsi kuota haji yang menyeret nama Yaqut ke pusaran polemik hukum dan moral birokrasi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi telah menerima sedikitnya lima laporan dari mahasiswa hingga kelompok masyarakat sipil yang mengkritisi dugaan penyelewengan dana dan alokasi kuota haji (Firdaus & Pradana, 2025). Salah satu isu yang mengemuka adalah ketidaksesuaian antara hasil kesepakatan Panitia Kerja (Panja) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) bersama Komisi VIII DPR RI dengan keputusan internal Kementerian Agama terkait alokasi kuota tambahan dari Arab Saudi.

Penambahan kuota haji di Indonesia tahun 2024 sebesar 241.000 jemaah, yang semula dianggap sebagai angin segar, ternyata menyimpan problematika serius (Zakiyah, 2024). Berdasarkan kesepakatan resmi, porsi jemaah haji khusus dibatasi maksimal 8% dari total kuota. Namun, hasil akhir menunjukkan bahwa alokasi jemaah haji khusus justru melonjak hingga hampir 11,5%. Dugaan pengalihan sepihak sebanyak lebih dari 8.000 kuota dari jemaah reguler ke jemaah khusus---tanpa konsultasi atau persetujuan DPR---dinilai melanggar Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 dan mencederai prinsip keadilan dalam pelayanan publik.

Muhaimin Iskandar dalam pernyataannya bahkan menyebut bahwa praktik seperti ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang tidak hanya mencoreng etika jabatan publik, tetapi juga berpotensi memperdagangkan hak spiritual umat demi kepentingan elite tertentu (Pirmansyah, 2025). Di sinilah letak ironi terbesar birokrasi keagamaan: ketika pelayanan ibadah yang seharusnya dijalankan dengan amanah dan integritas, justru menjadi ladang kekuasaan dan kepentingan.

Penulis terdorong menangapi kasus ini karena dapat diambil banyak pelajaran penting bahwa tata kelola ibadah sekalipun harus tunduk sejalan dengan prinsip-prinsip good governance sesuai peraturan negara yang berlaku. Selain itu, perubahan kebijakan strategis seperti pengalihan kuota wajib melibatkan pengawasan legislatif dan konsultasi dengan pemangku kepentingan agar tidak terkesan elitis dan tertutup.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh," (QS. Al-Ahzab: 72).

Reformasi kelembagaan di lingkungan Kemenag juga perlu segera dilakukan, khususnya tentang pemisahan tupoksi pelayanan dan komersial agar tidak terjadi konflik kepentingan yang tidak berpihak pada masyarakat. Sebab public trust dan integritas birokrasi sebagai konsep tanpa implementasi yang signifikan, akan tetapi harus diwujudkan dalam sistem yang menjamin keadilan dan kepastian bagi seluruh jemaah, terutama mereka yang telah menunggu bertahun-tahun untuk menunaikan ibadah haji sesuai porsi hajinya masing-masing untuk mendapatkan hak yang sepadan. 

Harapannya dugaan korupsi kuota haji ini bukan sekadar persoalan teknis alokasi, melainkan cermin buram dari kegagalan integritas dalam birokrasi pelayanan publik. Ketika ibadah suci pun terjerat dalam logika kekuasaan, keserakahan dan kepentingan elit, maka sesungguhnya yang tercederai bukan hanya regulasi, tetapi juga nurani kebangsaan kita. Momentum ini harus menjadi titik balik untuk membenahi sistem haji secara menyeluruh, bukan hanya demi keadilan administratif, tetapi juga demi menjaga kualitas pelayanan publik yang berlandaskan amanah dan tanggung jawab moral. Jika tidak sekarang, maka kita sedang mewariskan sistem yang rapuh kepada generasi berikutnya---sebuah warisan birokrasi yang abai terhadap nilai keadilan dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun