Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiga Usul Usil dari Buddhis untuk Para Buddhis

2 September 2022   16:52 Diperbarui: 2 September 2022   17:03 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya pernah iseng-iseng bertanya kepada salah satu keponakan yang duduk di bangku SMP, tentang apakah dia mendapatkan pelajaran Agama Buddha di sekolahnya mengingat kedua ortu-nya, sejauh yang saya ketahui, masih menganggap diri mereka penganut ajaran Buddha. Si bocah baru gede itu menjawab: tidak. Jadi kamu ikut pelajaran agama lain? Dia jawab lagi: tidak, saya tidak ikut pelajaran agama apa pun.

Wah, saya jadi heran.

"Bagaimana saat ujian, karena mata pelajaran agama adalah salah satu mapel yang diujikan, apa kamu tidak ikut ujian?"

"Ikut ujian mapel Agama Buddha", katanya.

"Lho, tidak ikut pelajaran Agama Buddha tapi ikut ujian mapel Agama Buddha. Bagaimana kamu menjawab soal-soal yang diujikan?"

Si keponakan tertawa nyengir. "Pertanyaan pada ujian mapel Agama Buddha dari tahun ke tahun itu-itu saja, kok. Batu gamping, eh, gampaaaang bangeeett..."

"Misalnya kayak apa?"

"Misalnya: di manakah Pangeran Siddhartha lahir?"

"Trus, kamu jawab apa?"


"Di rumah bersalin".

Ngawuurrr.... Rumah kok bisa bersalin?

Tapi serius, nih. Busyet, dah. Saya jadi tak habis pikir (artinya: mikir-nya tak habis-habis).  Padahal si keponakan bersekolah di sekolah kota yang cukup bergengsi, tetapi ternyata situasi dan kondisi kekurangan guru pembimbing mapel Agama Buddha dari puluhan tahun lalu hingga sekarang masih berlangsung. Karena saya ingat, pada jaman saya SMP dulu (tahun 1990an) pada hari tertentu saya tidak bisa langsung pulang ke rumah setelah selesai jam pelajaran. 

Saya harus pergi ke SMP lain untuk mengikuti mapel Agama Buddha di mana nyaris semua murid bergama Buddha satu kota dikumpulkan untuk mendapatkan pelajaran agama Buddha dari guru yang juga mungkin hanya satu-satunya untuk satu kota saya.

Lalu pada sebuah grup WA komunitas Buddhis, saya pernah membaca pengumuman penggalian dana untuk merenovasi sebuah wihara di desa di mana ada sebagian penduduk yang beragama Buddha namun dengan kondisi perekonomian yang lemah, sehingga mereka tidak punya kemampuan mandiri untuk merenonavasi wiharanya sendiri. 

Dan pada kejadian yang sporatdis ada pesan WA nyelonong masuk langsung ke nomor saya sendiri dari pengirim yang tak saya kenal, berisikan sebuah kutipan Dhamma dan pesan ajakan untuk berkunjung ke wihara mereka.

Saya teringat bertahun-tahun lalu, sebuah organisasi mahasiswa Buddhis Indonesia pernah mengadakan semacam riset untuk mengetahui pesebaran dan kondisi wihara-wihara di Indonesia. 

Saya tidak ingat persisnya apakah mereka hanya meneliti keberadaan wihara-wihara tradisi Theravada saja atau juga tradisi Buddhis lainnya, tetapi mari kita anggap saja riset mereka fokus hanya ke wihara milik tradisi Theravada. Hasil riset mereka menyatakan bahwa pesebaran wihara di Indonesia tidak merata dan jumlah wihara melebihi jumlah penganut Buddha. 

Di sisi lain, pada satu atau dua video rekaman ceramah dari seorang bhikkhu, saya mendapatkan cerita bahwa ketika beliau (bhikkhu tersebut) masih rajin keliling Indonesia untuk berceramah, beliau melihat banyak wihara terbengkalai.

Atas kenyataan yang telah saya paparkan tadi, yang sangat mungkin subyektif dan tidak bisa digebyah-uyah sebagai kondisi dan kenyataan sesungguhnya (alias, dengan kata lain masih terbuka untuk dibantah atau dikoreksi), setelah berpikir dan merenung, saya memberanikan diri mengajukan usul usil berikut. 

Saya tahu jarang ada upasaka yang memiliki jenggot dan hil yang mustahal upasika berjenggot, tetapi tetap saja saya berharap semoga usul yang usil ini tidak membuat siapa pun Buddhis jadi kebakaran jenggot. Niat saya jauh dari soal bakar membakar jenggot.

Berikut ini usul usil dari Buddhis untuk para Buddhis:

1. Penganut ajaran Buddha di Indonesia jumlahnya sangat minim, jika tak salah ingat hanya berkisar 2 juta-an jiwa dan raga. Sebagai akibat, banyak siswa penganut Buddha yang menjadi satu-satunya siswa beragama Buddha di sekolah mereka. Satu-satunya di antara 200-an atau lebih siswa satu sekolah. 

Dengan fakta ini, dapat dipahami mengapa pihak sekolah atau instansi terkait lainnya menjadi kesulitan menyediakan guru pembimbing mapel Agama Buddha di sekolah sepertri itu, tidak "ekonomis". 

Muridnya langka, gurunya juga langka karena umatnya sendiri langka. Daripada memaksakan menyediakan guru pembimbing, menurut saya lebih baik kita Buddhis mengupayakan agar mapel Agama Buddha dihapuskan saja dari kurikulum nasional. 

Sebagai gantinya, siswa beragama Buddha di seluruh Indonesia mengikuti mapel Budi Pekerti atau yang semacam itu, yang intinya mapel yang mengajarkan etika dan kebajikan universal tanpa bau-bau agama. 

Dengan begini, siswa beragama Buddha tetap mendapatkan pelajaran tentang kebajikan dan etika serta moralitas universal yang pasti tidak bertentangan dengan nilai-nilai Buddhistik.

Lalu bagaimana generasi penerus Buddhis bisa memupuk saddha dan mengembangkan kebijaksanaannya jika tidak ada bimbingan dalam pariyatti Buddha Sasana?

Kita bisa atasi hal ini dengan mengupayakan suatu kanal online khusus yang dibuat mudah diakses, murah bahkan gratis dan menarik, yang bermaterikan video-video pariyatti Dhamma serta aninasi-animasi dan tanya jawab interaktif realtime. Dan langkah ini ditunjang juga dengan upaya dari wihara-wihara yang menggiatkan kegiatan pelatihan Agama Buddha secara berkala bagi semua kalangan.

Lalu bagaimana nasib masa depan para sarjana Agama Buddha yang dihasilkan oleh STAB seluruh Indonesia, apa mereka dibiarkan nganggur? Ya tidaklah. Masa depan sebenarnya tanggungjawab sendiri-sendiri, pihak luar seperti komunitas dan pemerintah hanya menyediakan sarana penunjangnya saja.  

Para sarjana yang sudah terlanjur berprofesi guru Agama Buddha dan terancam nganggur gara-gara usul orang usil tadi (yang mengusulkan menghapus mapel Agama Buddha. 

Kurang ajar, ya, nih orang? Ckckckck....) bisa diarahkan untuk menjadi pembina sekolah minggu di wihara-wihara, menjadi pandita plus Dhammaduta profesional sebagai pelayan umat dalam hal-hal yang bersifat ritualistik dan formalitas serta administrasi kependudukan (yang mana hal-hal demikian tidaklah mungkin atau pantas dilakukan oleh seorang bhikkhu/ni). 

Atau bagi mereka yang bercita-cita lebih tinggi, para mantan guru mapel Agama Buddha itu bisa diarahkan untuk menjadi calon bhikkhu/ni dan lanjut menjadi bhikkhu/ni. 

Selanjutkan STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha) dirancang sebagai tempat pembekalan bagi calon bhikkhu atau pandita profesional Buddhis, jadi bukan lagi dengan tujuan mencetak guru-guru mapel Agama Buddha.    

Bila usul usil ini secara ajaib disepakati dan bim sala bim terwujud, saya yakin tidak akan ada lagi cerita siswa penganut Buddha yang cengar-cengir tidak pernah ikut pelajaran Agama Buddha tapi yakin lulus ujian mapel Agama Buddha karena soal yang diujikan selalu sama dari tahun ke tahun. 

Juga tak ada lagi kerepotan pihak sekolah atau instansi terkait mengupaya guru pembimbing mapel Buddha hanya untuk mengajari seorang siswa, atau siswa Buddha yang harus pergi ke sekolah lain setelah selesai jam pelajaran hanya supaya bisa mengikuti pelajaran agama Buddha bersama siswa-siswa lain. 

Atau guru mapel Agama Buddha yang bekerja 6 hari seminggu dengan berkeliling mengajar dari satu sekolah ke sekolah lainnya, yang pada hari minggu beliau terpaksa tidak bisa turut Ayah pergi ke kota naik delman istimewa...eh, yang pada hari minggu beliau masih harus mengajar pula di sekolah minggu di wihara setempat....kasihan, kan?

2. Penganut Buddha di Indonesia adalah kelompok yang minoritas dalam jumlah, tetapi yang pada satu bagian tertentu punya perilaku mirip dengan kelompok mayoritas: senang dan bersemangat membangun tempat ibadah di mana-mana. 

Bagi penganut ajaran lain yang jumlahnya lebih mayoritas, hal-hal demikian mungkin tidak menjadi masalah karena jumlah umatnya banyak dan ajarannya juga berbeda dalam hal penekanan praktik tertentu sehingga keberadaan tempat ibadah menjadi lebih relevan,

Sejauh yang saya ketahui dan yakini, di Buddhisme kita tidak mementingkan bentuk-bentuk luar seperti ritual kebaktian. Konon, di negara-negara Buddhis seperti Thailand dan Myanmar tidak ada kebaktian tiap hari minggu seperti di Indonesia.

Lalu, apa berarti ritual tidak penting? Kebaktian tiap minggu mau diusul-usilkan dihapus juga? Suka main hapus-hapusan saja nih orang, ya?

Ya, tidak begitu juga, sih, hehehehe.....

Ritual, pada tataran latihan tertentu, masih diperlukan. Kebaktian tiap minggu oke-oke saja, kok. Banyak juga manfaatnya kalau kebaktian dijalankan dengan baik dan benar. Bisa bersosialisasi sesama warga Buddhis, mendengarkan Dhamma, makan siang gratis atau ikut mendonorkan darah selesai kebaktian.

Tapi jika kondisi yang digambarkan oleh hasil riset organisasi pelajar Buddhis dan cerita dari seorang bhikkhu pada ceramah Dhamma-nya itu masih eksis hingga kini, keberadaan wihara-wihara yang berlebihan dan kekurangan umat hingga terbengkalai, dan sampai harus "mnengundang" umat daerah lain untuk berkunjung, bukankah itu suatu kesia-siaan dan kemubaziran yang bahkan oleh Buddha sendiri, saya yakin, akan dicela-Nya?

Jadi, usul usil saya begini: Para Buddhis, bagaimana kalau kita mengupayakan suatu gerakan nasional untuk memetakan keberadaan wihara-wihara (dalam hal ini saya ciutkan ke tradisi Theravada saja dulu, karena di tradisi inilah saya berada) di Indonesia berbanding dengan para umat pengisi wihara-wihara itu? Wihara-wihara yang sudah lama tidak aktif dan terbengkalai bisa kita tutup, aset-asetnya dijual dan dananya dipakai untuk membangun sekolah Buddhis atau wihara di daerah lain yang umatnya berlimpah. 

Dan sementara itu kita lakukan juga moratorium pembangunan wihara baru. Jika pada suatu daerah masyarakatnya ingin membangun wihara, ijin diberikan hanya ketika survei membuktikan bahwa keberadaan wihara di sana sudah tepat dan masyarakatnya mampu secara mandiri menyokong biaya operasional wihara, serta mungkin juga perlu ditambahkan harus ada bhikkhu/ni yang berdiam di sana. 

Tidak lucu, kan, wihara di suatu daerah meminta bantuan dana operasional ke umat daerah lainnya. Rumusnya harus: berani membangun wihara berarti berani merawat dan menjalanakan wihara secara mandiri.

Bagi penganut Buddha yang kebetulan berada di daerah yang gersang Buddhis-nya, mohon jangan ngotot membangun wihara. Kasihan dana umat jika hanya menjadi kesia-siaan karena wihara terbengkalai dan berat di ongkos operasional plus perawatan. Kita Buddhis punya cara latihan spiritual yang berbeda dengan umat ajaran lain. Kita tidak mementingkan ritual, tidak memerlukan sarana khusus. 

Cukup sediakan citra Buddha di sebuah altar kecil di ruang tengah rumah kita, sebatang lilin dan setangkup bunga indah lalu lakukan puja bakti sendiri atau bersama anggota keluarga, atau tetangga dan kerabat lain. 

Lantunkan paritta dengan sepenuh hati dan penuh kesadaran akan makna dari paritta tersebut, lalu bermeditasi dan bertekadlah untuk paling tidak menjalankan pancasila dan memupuk kedermawanan serta mengikis sifat-sifat buruk. Cukup itu saja, kok, untuk tataran paling dasar.
 

3. Penganut Buddha yang minoritas bisa dikatakan lebih kurang juga berarti memiliki sumber daya yang lebih terbatas. Demi mengefisienkan dan mengefektikan dana-dana umat yang telah dipakai membangun wihara, wihara-wihara di Indonesia seharusnya tidak sekadar menjadi tempat untuk kegiatan-kegiatan ritual formalistik belaka, tetapi lebih dari itu menjadi pusat kegiatan komunitas Buddhis setempat. 

Wihara menyediakan gedung-gedungnya sebagai tempat untuk kegiatan pelatihan parenting, misalnya, bagi calon-calon pengantin Buddhis maupun umum. Semacam kursus pranikah yang kalau bisa dijadikan prasyarat bagi setiap pasangan yang ingin menikah demi mengurangi terjadinya kasus-kasus rumah tangga dan anak salah asuhan. 

Karena berumah tangga itu tidak sederhana, kalau sederhana namanya rumah makan Padang. Selain itu juga bisa ditambahkan dengan pelatihan-pelatihan kewiharausahaan dan semacamnya, sebagai tempat pelaksanaan acara donor darah rutin, meditasi dan pariyatti+patipati Buddha sasana sebagai kegiatan utama.

Demikian tiga usul usil yang semoga bermanfaat dan tak sampai membakar jenggot siapa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun