Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Buyar Sudah Mimpi Itu, Begitu Sulitnya Kita ke Piala Dunia

14 Oktober 2025   01:08 Diperbarui: 14 Oktober 2025   09:42 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Foto: Deretan pemain naturalisasi Indonesia (Bola.com/Adreanus Titus) 

Buyar sudah!, yah buyar sudah mimpi Indonesia tampil di Piala Dunia, saatnya kita tidur lagi untuk menyusun ataupun merangkai mimpi baru tampil di gelaran Piala Dunia di tahun sekian dan sekian.

Yah, di tengah gempitanya persepakbolaan tanah air ternyata kita hanya bisa disuguhkan mimpi dan terus bermimpi oleh mereka-mereka yang terlihat begitu mentereng duduk sebagai pengurus persepakbolaan tanah air.

Kegagalan kali ini sudah seharusnya membangunkan kita dari tidur panjang yang terus dipenuhi mimpi. Saatnya merangkai harapan positif, melalui proses perkembangan, dan pertumbuhan yang terukur dan tidak instan, bukan sekedar obsesi dengan ekspektasi berlebihan yang tidak realistis.

Perjalanan panjang timnas Indonesia merangkai mimpi ke Piala Dunia 2026 dimulai sejak kegagalan memalukan kita di kualifikasi Piala Dunia 2022. Dimana kita berada di posisi buncit grup G dengan hanya mengemas satu poin hasil imbang 2-2 melawan Thailand.

Meski telah mendatangkan Shin Tae-Yong, Timnas Indonesia saat itu tak mampu berbuat apa-apa, kalah dalam empat pertandingan di kandang sendiri. Lebih sedihnya lagi kita kebobolan 27 gol dan hanya membuat 5 gol dari 8 pertandingan.

Harapan sepertinya mulai merebak sejak Oktober 2023, saat dimulainya penyisihan Piala Dunia 2026. Publik sepakbola tanah air hanya punya satu keinginan terhadap Timnas, yaitu tampil di Piala Dunia 2026. Gayung pun bersambut dengan proses "naturalisasi" yang boleh dikata cukup jor-joran.

Publik sepakbola tanah air, tidak peduli lagi dengan berapa peringkat FIFA Indonesia. Publik tidak peduli lagi dengan gelar juara AFF ASEAN, dengan juara Sea Games yang sudah pernah kita rebut di tahun 1987, 1991 dan terakhir di 2023 lalu.

Publik juga tidak lagi mau peduli dengan catatan Timnas di Piala Asia yang paling mentok hanya sampai di babak 16 besar. Tidak juga menuntut prestasi di Asian Games yang hanya bisa mengemas perunggu hampir 70 tahun lalu lewat perjuangan Omo Suratmo dkk, serta perjuangan Ricky Yakob dkk yang menjejak semifinal hampir 40 tahun silam.

Sudah sebegitu kelamnya-kah dunia persepakbolaan Indonesia, sehingga untuk tampil di Piala Dunia saja kita hanya bisa bermimpi?. Padahal harapan kita sederhana, tampil di Piala Dunia saja itu sudah cukup, meski harus tersisih di babak awal.

Kita sadar bukan sebagai negara elit di persepakbolaan dunia, yang keikutsertaan mereka di Piala Dunia itu untuk mencapai juara. Kita juga sadar bukan seperti negara-negara yang persepakbolaannya telah maju, sehingga lolos ke Piala Dunia itu bukan hanya sekedar sebagai tim penggembira.

Nah, dengan keinginan yang sederhana itu, dengan negara yang sebesar Indonesia yang memiliki atmosfir persepakbolaan yang begitu bergairah dengan segala sumber dayanya. Kok susah amat sih untuk membangun sebuah tim nasional yang bisa diandalkan.

Publik sepakbola kita masih terbelenggu dengan obsesi memiliki Timnas hebat, ketika menang langsung dipuja-puji setinggi langit, begitu kalah dihujat bukan kepalang.

Padahal tugas kita sebagai penggemar, ikuti saja prosesnya sambil terus memberikan dukungan positif baik saat berprestasi maupun saat sedang anjlok.

Begitu juga dengan pengurus Asosiasi, tidak bisa dipungkiri bahwa sampai sejauh ini PSSI itu masih diurus oleh orang-orang yang entah masih punya kepentingan "apa".

Entah kapan PSSI itu bisa diurus dan dijalankan oleh para profesional bola yang bisa merasakan denyut nadi dan mengerti jiwa dari sepakbola bola itu sendiri yang berbalut kebanggaan dan nasionalisme jika menyangkut tim nasional.

Sepakbola memang sebuah industri, sepakbola itu memang bisnis tetapi ia bukan barang jualan, yang bisa diselesaikan dengan proses transaksi. Sepakbola itu bernafaskan "bangga" yang menjadi harga diri bagi penggemarnya.

Seperti yang kita lihat dari betapa bangga dan militannya Aremania pada Arema-nya, Bonek pada Persebaya-nya, Bobotoh pada Persib-nya atau Maczman pada PSM-nya, serta para pendukung lainnya pada tim kesayangannya.

Okelah, di era terakhir ini, program naturalisasi pemain begitu gencarnya, setelah dimulai dengan naturalisasi pemain-pemain asal Afrika seperti Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, Bio Paulin, Osas Saha, dan Amerika Latin seperti Christian Gonzales, Beto Gonsalves, Otavio Dutra dll.

Kemudian di kualifikasi Piala Dunia 2026 fokus naturalisasi kita beralih ke pemain-pemain keturunan yang terkesan jor-joran dan membuat beberapa pihak sepertinya tidak begitu sepakat dengan itu.

Tetapi it's okay, selagi itu untuk kepentingan Timnas yang bisa memberikan kebanggaan bahwa kita memiliki Timnas yang hebat yang bisa membawa kita ke Piala Dunia, publik sepakbola tanah air bisa menerima semuanya dengan bangga.

Begitu juga dengan pemain-pemain naturalisasi, mereka dengan bangganya berkostum Timnas dengan Garuda di dada. Mereka rela menukar kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia yang stabilitas ekonomi dan politiknya  tentu tidak lebih baik dari negara mereka sebelumnya.

Tapi sayang, suatu keajaiban yang sudah nyaris membawa kita ke awan menembus mimpi, harus gagal justru di saat-saat terakhir, yang maaf saja menurut hemat saya dan juga banyak penggemar sepakbola tanah air disebabkan oleh ketidakbecusan pengurus PSSI.

Mulai dari pemecatan Shin Tae-Yong yang terkesan tiba-tiba, dan bukan itu saja, pemecatan STY di momen krusial Timnas dengan pelatih yang notabene bertolak belakang karakter dengan STY. Tentu itu menjadi suatu kemunduran di saat karakter permainan tim sudah menyatu dengan karakter Shin Tae-Yong.

Pemilihan Patrick Kluivert sebagai pengganti STY tentu saja tidak tepat, bukan hanya dari momentumnya, tetapi kualitas dan kapasitas Kluivert sebagai pelatih kepala memang patut dipertanyakan.

Patrick Kluivert mungkin punya nama besar sebagai pemain Timnas Belanda yang pernah membela Ajax dan Barcelona. Tetapi sebagai pelatih, patut dipertanyakan apa prestasi Kluivert?

Maaf saja mengharapkan pelatih kualitas kw untuk membawa tim yang berisi pemain instan di level babak-babak akhir kualifikasi Piala Dunia Zona Asia, sejatinya itu adalah kecerobohan yang tidak termaafkan.

Apalagi jika mendengar selentingan tentang adanya pemain titipan, ini tentu menambah kekecewaan publik jika isu itu benar. Hari gini kok masih ada titip-titipan pemain, kita ini mau ke Piala Dunia woyyy...

Terlepas dari kegagalan Timnas, iklim persepakbolaan tanah air juga sepertinya berjalan stagnan. Bagaimana pemain-pemain lokal bisa berkembang ke level pemain internasional, jika kompetisi lokal yang berjalan masih awut-awutan.

Sistem kompetisi yang tidak pernah paten sering berubah-ubah, mulai dari format kompetisi penuh yang dibagi dua wilayah, kemudian disatukan. Kemudian ada format championship series yang kemudian diubah kembali ke format liga penuh.

Bagaimana bisa mengharapkan hasil terbaik dari liga yang tiba-tiba dihentikan di tengah jalan, sehingga tidak ada degradasi dan promosi di liga. Belum lagi persoalan klub yang terancam bangkrut sehingga menunggak gaji pemain.

Kita juga masih ingat tragedi Kanjuruhan, yang menjadi catatan kelam persepakbolaan Indonesia. Pembenahan kompetisi mulai dari stadion, klub, hingga jalannya kompetisi sudah harus mempunyai jadwal yang baku, tidak ada lagi penundaan-penundaan.

Bahwa pengalaman Indonesia menjalankan kompetisi sepakbola profesional bukanlah hal yang baru, ketika kompetisi awal kita adalah kompetisi Perserikatan, kemudian tahun 1970-an ada Kompetisi Galatama, yang merupakan kompetisi liga semi profesional.

Bahkan di tahun 1979, kita pernah kedatangan delegasi Jepang yang berkunjung untuk study perbandingan tentang Galatama yang menjadi rujukan tata pengelolaan sepak bola modern nasional.

Seharusnya dengan pengalaman panjang kompetisi yang telah kita jalankan, profesionalisme liga Indonesia tentu sudah matang. Bandingkan dengan Jepang yang memulai liga profesional mereka di tahun 1993, kini J-League sudah menjadi salah satu liga terbaik di Asia.

Produk terbaik tentu dihasilkan oleh pabrik yang baik. Nah, dalam industri sepakbola kompetisi adalah pabrik untuk menghasilkan pemain berkualitas, maka tentu pemain berkualitas akan dihasilkan oleh kompetisi yang berkualitas juga.

Fase kita pernah begitu dekat Piala Dunia, juga pernah kita rasakan di tahun 1985, di kualifikasi Piala Dunia 1986. Bermain di grup 3B bersama India, Bangladesh, dan Thailand, kita menjadi juara grup dengan 4 kemenangan dan sekali kalah dan seri.

Mengalahkan Thailand dua kali, menang dan bermain imbang melawan India, serta sekali menang dan kalah dari Bangladesh. Sayangnya di fase berikutnya kita bertemu Korea Selatan yang mengalahkan Indonesia dua kali.

Korea Selatan pada akhirnya lolos pertama kalinya ke Piala Dunia, setelah di babak berikutnya menyingkirkan Jepang. Saat itu, duet penyerang Indonesia yang diisi oleh Bambang Nurdiansyah dan Dede Sulaeman yang begitu gacor dengan mengemas masing-masing empat gol.

Satu gol lagi dicetak oleh libero andalan Indonesia Herry Kiswanto yang terkenal dengan kekuatan tendangan geledeknya, seperti yang ia tunjukkan saat menciptakan gol tunggal kemenangan Indonesia atas Thailand.

Problem Timnas sekarang sepertinya pada striker atau penyerang yang punya naluri gol tinggi. Selain Bambang Nurdiansyah dan Dede Sulaeman, kita juga punya Ricky Yakobi yang dijuluki Paul Breitner- nya Indonesia, Ricky Yakob pernah bermain di klub Jepang Matsushita Electric yang sekarang dikenal sebagai Gamba Osaka.

Kita juga punya Widodo C Putro yang terkenal dengan gol saltonya di Piala Asia 1996, yang menjadi gol terbaik Asia. Ada legenda masa lalu Andi Ramang yang pernah membuat Lev Yashin, kiper legendaris Uni Soviet jatuh bangun melakukan penyelamatan.

Beberapa dekade belakangan kita memang kekurangan striker atau penyerang "hebat" Nama-nama yang sekarang ini masih kualitas standar apalagi pemain lokal kita, dan ini menjadi problem utama Timnas, "penyerang".

Dan terakhir, titip satu pesan dengan nada suara sehalus dan seramah mungkin " tolong, ganti saja Patrick Kluivert " Carilah pelatih yang punya pengalaman manajerial di Piala Dunia,  Indonesia ini bangsa besar Piala Dunia sudah lama menunggu kita......

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun