Satu demi satu maju untuk mengumpulkan buku tapi aku masih belum menemukan satu pun sel. Keringat dingin mulai muncul. Tanganku gemetar saat menggeser bilik hitung untuk mencari sel eosinofil yang berbentuk seperti kacamata.
"Lima menit lagi. Segera bersihkan peralatan!"Â
Elang sudah selesai membereskan meja. Dia malah terus menerus memandangiku tanpa mau membantu merapikan perlengkapan yang sudah tidak terpakai. Kalau Fahmi pasti sudah membantuku.
"Bu," panggil Fahmi.Â
Sekarang hanya tinggal aku saja. Bagaimana ini. "Bu, saya tidak menemukan sel eosinofil."
"Fahmi, pinjamkan bilik hitungmu," kata bu Weni setelah memeriksa bilik hitungku.
"Kamu pasti benar-benar cacingan sampai aku dapat banyak eosinofil. Minum obat cacingan biar gemukan sedikit," ejek Elang.
Aku melotot tapi dia malah tertawa. "Atau jangan-jangan kamu punya asma. Ngik ... ngik ... ngik...." Elang memegang dada lalu berpura-pura menarik napas dengan kepayahan.
"Nggak lucu," gerutuku.
"Kalau begitu pasti alergi." Wajahnya berubah serius. Aku fokus membereskan alat praktikum agar tidak perlu melihat wajahnya.
"Alergi kan?" tanya Elang sambil menyikutku.Â