"Elok, kamu pindah di sebelah Elang." Suara bu Weni yang halus bagai guntur di siang bolong.
Aku? Masa sih aku harus partneran dengan Elang. Aku melirik Elang yang sama sekali tidak menunjukkan muka terkejut. Apa hanya aku yang tidak ikhlas kalau harus duduk dengannya.
"Elok!" Teguran dari bu Weni membuatku tersadar.Â
"Partner Elang kan Elani, Bu." Aku berusaha membatalkan keputusan beliau.
"Elani pindah kuliah. Dia merasa kalau tujuan hidupnya bukan menjadi seorang analis kesehatan." Jawaban itu membuatku mau tak mau memindahkan semua perlengkapan menuju meja sebelah, dengan hati yang berat.
"Jangan dikira aku mau menjadi partnermu." Bisikan Elang membuat jantungku berdebar. Ini pertama kalinya Elang bicara setelah peristiwa beberapa tahun lalu.
"Jangan menyusahkan aku." Peringatan kedua membuatku jengkel.Â
"Siapa juga yang mau berpartner dengan cowok sepertimu."
Kata-kata itu sukses mengalihkan dunia Elang karena saat ini cowok itu memandangku dengan tatapan membunuh. Aku hanya bisa membalas dengan cibiran saja.
Selama ini kami tidak saling bertegur sapa. Aku tahu pasti kalau Elang masih kesal dengan kebodohan yang kulakukan saat kami masih SD. Ina mendorongku dan refleks mencari pegangan. Apesnya, celana merah putih Elanglah yang aku cengkeram hingga melorot. Semua murid tertawa karena melihat celana dalam Elang yang berwarna pink dengan gambar bunga-bunga kecil. Sejak saat itu Elang dibilang cowok kemayu oleh teman-teman.
Pretest sudah usai, waktunya membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar Bu Weni memangggil nama kami. Kalau sampai namaku tidak dipanggil saat praktikum dimulai itu tandanya aku tidak boleh ikut dan harus keluar dari laboratium.