Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ateisme Praktis di Balik Pembuangan Makanan

24 September 2025   01:08 Diperbarui: 24 September 2025   01:08 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makanan sebagai Cermin Relasi Manusia dengan Kehidupan

Makanan selalu lebih dari sekadar zat pengisi perut. Ia adalah simbol keberlangsungan hidup, buah kerja kolektif petani, buruh, dan alam, sekaligus tanda keterhubungan manusia dengan sesamanya.

Setiap butir padi, setiap tetes susu, setiap potong roti menyimpan jejak tangan-tangan yang tak terlihat. Namun, dalam kehidupan modern, kesadaran ini perlahan memudar. Makanan kian dianggap biasa, serupa barang atau objek konsumsi cepat yang bisa datang dan pergi tanpa makna.

Ketika manusia membuang makanan, sebenarnya yang hilang bukan hanya substansi materi, melainkan juga ikatan dengan rantai kehidupan yang panjang. Di balik yang terbuang, ada air, tanah, energi, bahkan peluh pekerja yang terhapus seolah tak bernilai.

Membuang makanan menjadi tindakan yang kelihatannya sepele tapi menyiratkan keterputusan: manusia menempatkan diri seakan di luar lingkaran saling bergantung.

Fenomena ini tidak bisa dilihat semata sebagai soal kebiasaan buruk atau etika rumah tangga. Tapi merupakan refleksi dari cara hidup yang menempatkan manusia sebagai pusat tunggal, berhak menentukan apa yang layak disimpan dan apa yang pantas disingkirkan. Pola ini menciptakan jarak antara manusia dan sumber kehidupannya.

Di titik ini, pemborosan atau pembuangan makanan dapat dipahami sebagai bentuk "ateisme praktis": dalam hidup seakan-akan tidak ada sesuatu yang lebih besar dan patut dihormati. Tidak ada kesadaran bahwa makanan adalah anugerah, bukan sekadar komoditas.

Ateisme praktis di sini bukan klaim teologis, melainkan istilah kritis untuk menamai sikap pengingkaran terhadap hidup dan nilai kehidupan itu sendiri.

Tindakan membuang makanan mencerminkan nihilisme keseharian. Memperlihatkan bagaimana manusia bisa dengan mudah menafikan makna keberadaan dan keberlangsungan demi kenyamanan sesaat. 

Jika nilai hidup dapat dikesampingkan dengan ringan, hubungan sosial dan ekologis pun lebih mudah direduksi menjadi relasi pakai-buang.

Maka, sejak awal kita perlu menyadari bahwa makanan bukanlah barang remeh. Ia adalah simpul nilai yang menghubungkan manusia dengan keberadaan, alam, sejarah, dan sesamanya. Mengabaikannya berarti mengabaikan keseluruhan jaring kehidupan.

Refleksi ini membuka jalan bagi analisis lebih jauh: mengapa makanan bisa tereduksi menjadi sekadar objek yang mudah dibuang? Jawabannya terletak pada logika pembarangan dalam neoliberalisme.

Komodifikasi Makanan: Dari Anugerah Menjadi Barang

Komodifikasi berarti menjadikan sesuatu yang semula bernilai intrinsik menjadi barang dagangan dengan nilai tukar. Makanan adalah contoh paling nyata dari proses ini. Di bawah neoliberalisme, makanan kehilangan makna sakralnya dan diperlakukan semata-mata sebagai komoditas di pasar global.

Proses produksi makanan tidak lagi berpusat pada pemenuhan kebutuhan, melainkan pada optimalisasi keuntungan. Pertanian monokultur, rekayasa genetik, dan industri pangan global bergerak dengan logika akumulasi kapital. Makanan diproduksi berlebih bukan untuk memastikan semua orang makan, melainkan untuk menguasai pasar dan menjaga sirkulasi profit.

Konsekuensinya, makanan mengalami fetishisasi: tampil di rak-rak supermarket atau iklan televisi bukan sebagai hasil kerja dan alam, melainkan sebagai simbol status, gaya hidup, bahkan identitas diri. Konsumen membeli bukan karena lapar, tetapi karena dorongan untuk menampilkan siapa dirinya.

Logika komodifikasi ini pula yang melahirkan surplus semu. Banyak makanan sengaja diproduksi dalam jumlah berlebih, meski sebagian besar akan terbuang, karena lebih menguntungkan daripada menyesuaikan produksi dengan kebutuhan nyata. Sistem lebih memilih membuang daripada menurunkan harga yang bisa mengganggu mekanisme akumulasi.

Dalam kerangka ini, membuang makanan bukan lagi soal pilihan personal, melainkan konsekuensi struktural dari kapitalisme neoliberal. Ketika kita melihat tumpukan makanan busuk di tempat sampah restoran, sesungguhnya yang tampak adalah wajah telanjang sistem ekonomi global yang bekerja melawan hakikat hidup dan kehidupan.

Dengan demikian, ateisme praktis tidak hanya terwujud dalam tindakan individu, tetapi juga terinstitusionalisasi dalam mekanisme pasar. Kehidupan disubordinasikan oleh logika pertukaran, dan makanan diputus dari akar kemanusiaan, apalagi dari keilahiannya.

Kritik terhadap pemborosan makanan menuntut kita untuk tidak berhenti pada moralitas personal, melainkan menelisik akar sistemik yang membuat pemborosan itu niscaya.

Surplus Semu dan Pemborosan Struktural

Surplus semu adalah kondisi di mana ketersediaan makanan tampak melimpah, tetapi distribusinya timpang. Produksi pangan dunia sebenarnya cukup untuk memberi makan seluruh populasi, namun jutaan orang tetap lapar. Ironisnya, di sisi lain, miliaran ton makanan terbuang setiap tahun.

Pemborosan ini tidak bisa dipahami sekadar sebagai akibat kelalaian konsumen. Ia adalah hasil dari sistem produksi yang sengaja menciptakan kelebihan pasokan demi menjaga harga dan keuntungan.

Restoran membuang makanan untuk menjaga citra kesegaran, supermarket menyingkirkan produk yang cacat sedikit, dan perusahaan agribisnis memusnahkan hasil panen yang berpotensi menurunkan nilai jual.

Dalam logika ini, kelaparan bukan akibat kekurangan, melainkan akibat kelimpahan yang dikelola secara eksklusif. Kehidupan manusia tunduk pada kalkulasi keuntungan, bukan pada kebutuhan dasar. Makanan dibuang bukan karena tidak bisa dimakan, tetapi karena dianggap tidak cukup bernilai dalam logika pasar.

Inilah bentuk nyata ateisme praktis sistemik: nilai kehidupan tidak lagi sakral. Yang dipertahankan adalah nilai tukar, sementara tubuh-tubuh manusia yang lapar dikesampingkan. Sistem beroperasi seolah-olah tidak ada prinsip yang lebih tinggi selain profit.

Bagi konsumen, surplus semu juga melahirkan mentalitas konsumsi berlebih. Makanan dianggap selalu ada, selalu bisa dibeli, sehingga tidak ada urgensi untuk menghargainya. Ketidakpedulian ini adalah hasil internalisasi nilai pasar ke dalam keseharian.

Akibatnya, tindakan membuang makanan yang tampak sederhana sebenarnya merupakan ujung dari rantai panjang struktur pemborosan global. Kita berhadapan bukan hanya dengan "sampah dapur," melainkan dengan simbol keterputusan sistemik antara produksi dan kehidupan.

Kondisi ini menuntut pergeseran perspektif: dari menyalahkan individu ke menyoal logika pasar yang membuat pemborosan menjadi tak terhindarkan.

Kolonisasi Kehidupan Sehari-hari oleh Neoliberalisme

Neoliberalisme tidak hanya mengatur mekanisme ekonomi, tetapi juga menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari. Pola pikir efisiensi, kompetisi, dan konsumsi ditanamkan hingga ke ruang makan. Kita tidak hanya membeli makanan, tetapi juga menginternalisasi cara berpikir pasar dalam memperlakukannya.

Contohnya jelas: makanan cepat saji yang menawarkan kecepatan dan kepraktisan dianggap lebih bernilai ketimbang makanan yang membutuhkan waktu dan tenaga memasak. Waktu dan kenyamanan diberi harga, dan makanan dijadikan media pertukaran nilai-nilai itu.

Lebih jauh, makanan dipakai sebagai tanda status. Hidangan tertentu dipromosikan sebagai simbol kelas, dan orang membeli bukan karena kebutuhan biologis, tetapi untuk meneguhkan identitas sosial. Di sinilah makanan benar-benar kehilangan dimensi sakralnya. Ia menjadi sekadar alat untuk tampil, bukan lagi sarana untuk hidup.

Kolonisasi ini memperkuat kecenderungan membuang makanan. Jika makanan hanya alat status, maka begitu nilainya jatuh (misalnya karena sisa atau tidak estetik), ia bisa segera dibuang tanpa rasa bersalah. Yang dihormati bukan makanannya, melainkan citra yang ditampilkan.

Pada titik ini, ateisme praktis menjadi bagian dari habitus. Manusia hidup seolah-olah tidak ada yang perlu dihormati di balik makanan, selain kepuasan dan citra diri. Neoliberalisme berhasil menginternalisasi pengingkaran nilai kehidupan ke dalam pola konsumsi sehari-hari.

Krisis bukan lagi hanya ada di tingkat struktur ekonomi, tetapi juga di tingkat mentalitas sosial. Kebiasaan membuang makanan diterima sebagai hal biasa, meski secara diam-diam ia adalah pengabaian terhadap kehidupan itu sendiri.

Dengan demikian, kolonisasi neoliberalisme menunjukkan bagaimana pemborosan makanan bukan insiden, melainkan strategi hegemonik yang mengatur cara kita berpikir dan bertindak.

Dimensi Ekologis: Membuang Kehidupan Alam

Membuang makanan berarti membuang sumber daya alam yang telah dipakai untuk memproduksinya. Setiap butir nasi yang terbuang adalah air irigasi yang hilang, pupuk kimia yang terbuang dan mencemari, energi transportasi yang sia-sia, dan lahan pertanian yang tereksploitasi.

Produksi makanan adalah salah satu penyumbang terbesar emisi karbon global. Ketika makanan berakhir di tempat pembuangan, ia menghasilkan gas metana yang lebih berbahaya daripada karbon dioksida. Maka, membuang makanan tidak hanya soal etika sosial, tetapi juga ancaman ekologis.

Ironisnya, kerusakan ekologi ini sering tidak tampak langsung. Konsumen hanya melihat makanan yang basi atau tidak termakan, tanpa menyadari jejak ekologis yang menyertainya. Ketidakpedulian ini memperdalam jurang antara manusia dan alam.

Dalam logika neoliberalisme, alam direduksi menjadi sumber daya tak terbatas yang harus dikuasai. Air, tanah, dan energi diperlakukan sebagai input produksi yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Padahal, kerusakan ekologis kini membuktikan bahwa logika itu adalah ilusi.

Membuang makanan dalam konteks ini berarti mempercepat siklus kerusakan lingkungan. Manusia hidup seolah-olah tidak ada keterbatasan ekologis, seolah-olah bumi bisa terus memberi tanpa henti. 

Inilah bentuk lain dari ateisme praktis: menolak mengakui keterhubungan dengan alam sebagai bagian dari kehidupan.

Jika alam terus dieksploitasi dengan logika komodifikasi, maka generasi mendatang akan mewarisi krisis yang lebih parah. Pemborosan makanan hari ini adalah hutang ekologis yang akan ditagih besok.

Kesadaran ekologis harus menjadi bagian dari refleksi kita tentang makanan. Tanpa itu, kritik terhadap pemborosan hanya akan berhenti pada moralitas sempit.

Dimensi Sosial: Antara Kelaparan dan Kelimpahan

Di satu sisi dunia, jutaan orang masih kelaparan setiap hari. Di sisi lain, jutaan ton makanan dibuang setiap tahun di negara-negara kaya. Kesenjangan ini adalah paradoks terbesar dari sistem pangan global.

Ketika makanan diperlakukan sebagai komoditas, akses ditentukan oleh daya beli, bukan kebutuhan. Orang yang miskin tetap lapar meski rak-rak supermarket penuh. Makanan ada, tetapi tidak dapat dijangkau karena nilainya ditetapkan oleh pasar.

Dalam kondisi ini, membuang makanan menjadi simbol ketidakadilan sosial yang telanjang. Ia memperlihatkan bahwa ada kehidupan yang tidak diakui sebagai layak diperhitungkan. Sistem pangan global secara diam-diam memisahkan siapa yang berhak makan dan siapa yang dibiarkan lapar.

Pemborosan makanan di negara kaya berbanding lurus dengan kelaparan di negara miskin. Ini bukan kebetulan, melainkan konsekuensi dari struktur distribusi yang tidak adil. Makanan bergerak mengikuti alur kapital, bukan alur kebutuhan manusia.

Maka, membuang makanan juga berarti mempertegas relasi kuasa global. Ia meneguhkan bahwa ada kelas manusia yang bisa hidup berlebihan, sementara kelas lain harus berjuang hanya untuk bertahan hidup.

Ketidakadilan ini adalah bentuk ateisme praktis yang paling konkret: pengabaian terhadap martabat manusia lain. Hidup seolah-olah tidak ada kewajiban untuk mengakui kesetaraan sesama.

Itu berarti bahwa kritik terhadap pemborosan makanan harus dilihat sebagai kritik terhadap sistem sosial global yang memproduksi kelaparan di tengah kelimpahan.

Menafsir Ulang: Hijrah dari Ateisme Praktis ke Etika Kehidupan

Jika membuang makanan adalah bentuk ateisme praktis, maka tantangan kita adalah menemukan jalan untuk mengembalikan makna kehidupan ke dalam praktik sehari-hari.

Pertanyaannya bukan sekadar "bagaimana agar tidak membuang makanan," tetapi "bagaimana kita membangun relasi baru dengan makanan sebagai sumber kehidupan."

Langkah pertama adalah menolak logika komodifikasi. Makanan harus dipahami kembali sebagai hak dasar, bukan barang dagangan semata. Ini berarti menuntut sistem pangan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada kebutuhan, bukan profit.

Langkah kedua adalah menghidupkan kesadaran ekologis. Setiap makanan yang kita makan atau buang membawa jejak bumi. Menyadari hal ini berarti menempatkan diri sebagai bagian dari ekosistem, bukan penguasa tunggal.

Langkah ketiga adalah menghidupkan solidaritas sosial. Makanan yang berlebih harus dipandang sebagai kesempatan untuk berbagi, bukan sekadar surplus yang bisa dibuang. Solidaritas ini menolak logika pasar yang membatasi distribusi berdasarkan daya beli.

Langkah keempat adalah membangun habitus baru dalam keseharian. Menghargai makanan berarti menghargai keberadaan, alam, kerja, dan kehidupan. Kebiasaan kecil seperti menghabiskan makanan atau mengolah sisa dengan kreatif bisa menjadi praktik resistensi terhadap logika pasar.

Langkah kelima adalah menyadari dimensi politis dari makanan. Konsumsi bukan hanya tindakan pribadi, tetapi juga bagian dari sistem global. Memilih produk lokal, mendukung pertanian berkelanjutan, atau menolak pemborosan adalah tindakan politik kecil yang bermakna.

Dengan semua ini, kita bisa bergerak dari ateisme praktis menuju etika kehidupan. Sebuah etika yang menempatkan makanan bukan sebagai objek pakai-buang, melainkan sebagai simbol keterhubungan manusia dengan seluruh keberadaan, alam, sejarah, dan sesama.

Pada akhirnya, membuang makanan berarti membuang hidup dan kehidupan. Menolak membuang makanan berarti menolak ateisme praktis yang disusupkan oleh neoliberalisme, dan menegaskan kembali keberpihakan pada sang hidup itu sendiri.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun