Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ateisme Praktis di Balik Pembuangan Makanan

24 September 2025   01:08 Diperbarui: 24 September 2025   01:08 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah bentuk lain dari ateisme praktis: menolak mengakui keterhubungan dengan alam sebagai bagian dari kehidupan.

Jika alam terus dieksploitasi dengan logika komodifikasi, maka generasi mendatang akan mewarisi krisis yang lebih parah. Pemborosan makanan hari ini adalah hutang ekologis yang akan ditagih besok.

Kesadaran ekologis harus menjadi bagian dari refleksi kita tentang makanan. Tanpa itu, kritik terhadap pemborosan hanya akan berhenti pada moralitas sempit.

Dimensi Sosial: Antara Kelaparan dan Kelimpahan

Di satu sisi dunia, jutaan orang masih kelaparan setiap hari. Di sisi lain, jutaan ton makanan dibuang setiap tahun di negara-negara kaya. Kesenjangan ini adalah paradoks terbesar dari sistem pangan global.

Ketika makanan diperlakukan sebagai komoditas, akses ditentukan oleh daya beli, bukan kebutuhan. Orang yang miskin tetap lapar meski rak-rak supermarket penuh. Makanan ada, tetapi tidak dapat dijangkau karena nilainya ditetapkan oleh pasar.

Dalam kondisi ini, membuang makanan menjadi simbol ketidakadilan sosial yang telanjang. Ia memperlihatkan bahwa ada kehidupan yang tidak diakui sebagai layak diperhitungkan. Sistem pangan global secara diam-diam memisahkan siapa yang berhak makan dan siapa yang dibiarkan lapar.

Pemborosan makanan di negara kaya berbanding lurus dengan kelaparan di negara miskin. Ini bukan kebetulan, melainkan konsekuensi dari struktur distribusi yang tidak adil. Makanan bergerak mengikuti alur kapital, bukan alur kebutuhan manusia.

Maka, membuang makanan juga berarti mempertegas relasi kuasa global. Ia meneguhkan bahwa ada kelas manusia yang bisa hidup berlebihan, sementara kelas lain harus berjuang hanya untuk bertahan hidup.

Ketidakadilan ini adalah bentuk ateisme praktis yang paling konkret: pengabaian terhadap martabat manusia lain. Hidup seolah-olah tidak ada kewajiban untuk mengakui kesetaraan sesama.

Itu berarti bahwa kritik terhadap pemborosan makanan harus dilihat sebagai kritik terhadap sistem sosial global yang memproduksi kelaparan di tengah kelimpahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun