Inilah bentuk lain dari ateisme praktis: menolak mengakui keterhubungan dengan alam sebagai bagian dari kehidupan.
Jika alam terus dieksploitasi dengan logika komodifikasi, maka generasi mendatang akan mewarisi krisis yang lebih parah. Pemborosan makanan hari ini adalah hutang ekologis yang akan ditagih besok.
Kesadaran ekologis harus menjadi bagian dari refleksi kita tentang makanan. Tanpa itu, kritik terhadap pemborosan hanya akan berhenti pada moralitas sempit.
Dimensi Sosial: Antara Kelaparan dan Kelimpahan
Di satu sisi dunia, jutaan orang masih kelaparan setiap hari. Di sisi lain, jutaan ton makanan dibuang setiap tahun di negara-negara kaya. Kesenjangan ini adalah paradoks terbesar dari sistem pangan global.
Ketika makanan diperlakukan sebagai komoditas, akses ditentukan oleh daya beli, bukan kebutuhan. Orang yang miskin tetap lapar meski rak-rak supermarket penuh. Makanan ada, tetapi tidak dapat dijangkau karena nilainya ditetapkan oleh pasar.
Dalam kondisi ini, membuang makanan menjadi simbol ketidakadilan sosial yang telanjang. Ia memperlihatkan bahwa ada kehidupan yang tidak diakui sebagai layak diperhitungkan. Sistem pangan global secara diam-diam memisahkan siapa yang berhak makan dan siapa yang dibiarkan lapar.
Pemborosan makanan di negara kaya berbanding lurus dengan kelaparan di negara miskin. Ini bukan kebetulan, melainkan konsekuensi dari struktur distribusi yang tidak adil. Makanan bergerak mengikuti alur kapital, bukan alur kebutuhan manusia.
Maka, membuang makanan juga berarti mempertegas relasi kuasa global. Ia meneguhkan bahwa ada kelas manusia yang bisa hidup berlebihan, sementara kelas lain harus berjuang hanya untuk bertahan hidup.
Ketidakadilan ini adalah bentuk ateisme praktis yang paling konkret: pengabaian terhadap martabat manusia lain. Hidup seolah-olah tidak ada kewajiban untuk mengakui kesetaraan sesama.
Itu berarti bahwa kritik terhadap pemborosan makanan harus dilihat sebagai kritik terhadap sistem sosial global yang memproduksi kelaparan di tengah kelimpahan.