Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ateisme Praktis di Balik Pembuangan Makanan

24 September 2025   01:08 Diperbarui: 24 September 2025   01:08 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembuangan makanan. (Kompas.com/Freepik)

Lebih jauh, makanan dipakai sebagai tanda status. Hidangan tertentu dipromosikan sebagai simbol kelas, dan orang membeli bukan karena kebutuhan biologis, tetapi untuk meneguhkan identitas sosial. Di sinilah makanan benar-benar kehilangan dimensi sakralnya. Ia menjadi sekadar alat untuk tampil, bukan lagi sarana untuk hidup.

Kolonisasi ini memperkuat kecenderungan membuang makanan. Jika makanan hanya alat status, maka begitu nilainya jatuh (misalnya karena sisa atau tidak estetik), ia bisa segera dibuang tanpa rasa bersalah. Yang dihormati bukan makanannya, melainkan citra yang ditampilkan.

Pada titik ini, ateisme praktis menjadi bagian dari habitus. Manusia hidup seolah-olah tidak ada yang perlu dihormati di balik makanan, selain kepuasan dan citra diri. Neoliberalisme berhasil menginternalisasi pengingkaran nilai kehidupan ke dalam pola konsumsi sehari-hari.

Krisis bukan lagi hanya ada di tingkat struktur ekonomi, tetapi juga di tingkat mentalitas sosial. Kebiasaan membuang makanan diterima sebagai hal biasa, meski secara diam-diam ia adalah pengabaian terhadap kehidupan itu sendiri.

Dengan demikian, kolonisasi neoliberalisme menunjukkan bagaimana pemborosan makanan bukan insiden, melainkan strategi hegemonik yang mengatur cara kita berpikir dan bertindak.

Dimensi Ekologis: Membuang Kehidupan Alam

Membuang makanan berarti membuang sumber daya alam yang telah dipakai untuk memproduksinya. Setiap butir nasi yang terbuang adalah air irigasi yang hilang, pupuk kimia yang terbuang dan mencemari, energi transportasi yang sia-sia, dan lahan pertanian yang tereksploitasi.

Produksi makanan adalah salah satu penyumbang terbesar emisi karbon global. Ketika makanan berakhir di tempat pembuangan, ia menghasilkan gas metana yang lebih berbahaya daripada karbon dioksida. Maka, membuang makanan tidak hanya soal etika sosial, tetapi juga ancaman ekologis.

Ironisnya, kerusakan ekologi ini sering tidak tampak langsung. Konsumen hanya melihat makanan yang basi atau tidak termakan, tanpa menyadari jejak ekologis yang menyertainya. Ketidakpedulian ini memperdalam jurang antara manusia dan alam.

Dalam logika neoliberalisme, alam direduksi menjadi sumber daya tak terbatas yang harus dikuasai. Air, tanah, dan energi diperlakukan sebagai input produksi yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Padahal, kerusakan ekologis kini membuktikan bahwa logika itu adalah ilusi.

Membuang makanan dalam konteks ini berarti mempercepat siklus kerusakan lingkungan. Manusia hidup seolah-olah tidak ada keterbatasan ekologis, seolah-olah bumi bisa terus memberi tanpa henti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun