Maka, sejak awal kita perlu menyadari bahwa makanan bukanlah barang remeh. Ia adalah simpul nilai yang menghubungkan manusia dengan keberadaan, alam, sejarah, dan sesamanya. Mengabaikannya berarti mengabaikan keseluruhan jaring kehidupan.
Refleksi ini membuka jalan bagi analisis lebih jauh: mengapa makanan bisa tereduksi menjadi sekadar objek yang mudah dibuang? Jawabannya terletak pada logika pembarangan dalam neoliberalisme.
Komodifikasi Makanan: Dari Anugerah Menjadi Barang
Komodifikasi berarti menjadikan sesuatu yang semula bernilai intrinsik menjadi barang dagangan dengan nilai tukar. Makanan adalah contoh paling nyata dari proses ini. Di bawah neoliberalisme, makanan kehilangan makna sakralnya dan diperlakukan semata-mata sebagai komoditas di pasar global.
Proses produksi makanan tidak lagi berpusat pada pemenuhan kebutuhan, melainkan pada optimalisasi keuntungan. Pertanian monokultur, rekayasa genetik, dan industri pangan global bergerak dengan logika akumulasi kapital. Makanan diproduksi berlebih bukan untuk memastikan semua orang makan, melainkan untuk menguasai pasar dan menjaga sirkulasi profit.
Konsekuensinya, makanan mengalami fetishisasi: tampil di rak-rak supermarket atau iklan televisi bukan sebagai hasil kerja dan alam, melainkan sebagai simbol status, gaya hidup, bahkan identitas diri. Konsumen membeli bukan karena lapar, tetapi karena dorongan untuk menampilkan siapa dirinya.
Logika komodifikasi ini pula yang melahirkan surplus semu. Banyak makanan sengaja diproduksi dalam jumlah berlebih, meski sebagian besar akan terbuang, karena lebih menguntungkan daripada menyesuaikan produksi dengan kebutuhan nyata. Sistem lebih memilih membuang daripada menurunkan harga yang bisa mengganggu mekanisme akumulasi.
Dalam kerangka ini, membuang makanan bukan lagi soal pilihan personal, melainkan konsekuensi struktural dari kapitalisme neoliberal. Ketika kita melihat tumpukan makanan busuk di tempat sampah restoran, sesungguhnya yang tampak adalah wajah telanjang sistem ekonomi global yang bekerja melawan hakikat hidup dan kehidupan.
Dengan demikian, ateisme praktis tidak hanya terwujud dalam tindakan individu, tetapi juga terinstitusionalisasi dalam mekanisme pasar. Kehidupan disubordinasikan oleh logika pertukaran, dan makanan diputus dari akar kemanusiaan, apalagi dari keilahiannya.
Kritik terhadap pemborosan makanan menuntut kita untuk tidak berhenti pada moralitas personal, melainkan menelisik akar sistemik yang membuat pemborosan itu niscaya.
Surplus Semu dan Pemborosan Struktural