Mohon tunggu...
Chris Surinono
Chris Surinono Mohon Tunggu...

Pencari dan terus menjadi pencari....

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Indonesia Mencari Pemimpin, Apa Kata Paulo Coelho?

27 Maret 2019   18:14 Diperbarui: 27 Maret 2019   18:17 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Nama Paulo Coelho, mungkin belum dikenal orang kebanyakan. Tapi tidak bagi para pencinta sastra. Ia adalah seorang sastrawan dan novelis. Seluruh novel dari pria kelahiran Rio de Janeiro Brasil, dan sekarang tinggal di Swiss ini sudah terjual lebih 225 juta copy. 

Yang menarik dari pria yang sudah 40 membangun hidup rumah tangga bersama istrin-nya, Christina Oiticia ini, bukan saja membaca novel-novel-nya, tetapi juga mengenal perjalanan hidupnya dan filosofi-nya sangat menarik untuk dikenal. Tapi dalam tulisan kecil ini saya tidak akan mengulas dua aspek hidupnya ini yang tentunya butuh tidak sedikit halaman. 

Apa yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini adalah satu dua prinsip hidup-nya, kemudian dari princip hidup itu, kita coba menarik kesimpulan untuk mengenal ciri dan caracteristik seorang pemimpin yang baik dan benar.  

Paulo Coelho terlahir sebagai seorang anak dari keluarga sederhana, berpostur tidak tinggi, dan bahkan sakit-sakitan. Dari keluarga Katolik yang setia dan mengenyam pendidikan di bawa asuhan para pastor Jesuit. 

Diakuinya, bahwa pengaruh santo Ignatius, pendiri Ordo Serikat Yesus, cukup kuat dalam diri-nya. Namun, bukan berarti ia tidak mengritik metode pendidikan mereka. Demikian ia katakan: "Bagi saya, santo Ignatius itu menjadi rujukan utama, tapi para jesuit mengajarkan saya dengan metode yang sangat kategoris. 

Artinya, apa yang mereka tekankan sebenarnya apa yang  tidak seharusnya diterapkan dalam dunia pendidikan. Yang mereka terapkan malah adalah larangan dan larangan: kamu tidak buat boleh ini dan itu; tidak bisa makan ini dan itu, dll yang serupa, sehingga saya pernah melewati masa dimana saya sedikit anti dengan gereja karena para imam yang sangat menuntut ini dan itu, padahal saya bukan tipe orang yang mau diatur. Saya selalu menghargai kebebasan saya sendiri. Saya pilih mana yang baik dan benar. Dan saya orang yang bertanggung jawab atas pilihan saya".

Kritikannya ini kemudian meluas ke ranah pendidikan umum dalam mempersiapkan pemimpim, baik dalam lingkup kecil maupun bangsa. Menurutnya pemimpin haruslah bukan orang yang tidak yakin dengan dirinya sendiri. "Saya orang yang yakin dengan diri sendiri; orang yang yakin dengan dirinya tidak akan menuntut pada orang lain, tapi ia akan memberi teladan".

Pemikiran pria yang pada usia 17 tahun pernah masuk dalam pusat rehabilitasi karena gangguan mental ini, sangat relevan dengan bangsa Indoensia sekarang yang sedang mencari pemimpin bangsa. Mari kita lihat. 

Menurut-nya, pemimpin masyarakat harus orang yang sudah selesai dengan diri-nya sendiri; selesai dengan apa yang mengikat dirinya, entah itu materi, kebutuhan sosial dan kebutuhan afektif. Orang yang tidak lagi mencari materi atau uang akan selalu punya kemampuan berbagi dan memberi, sehingga tidak mungkin ia mau terlibat dalam lingkaran koruptif untuk memperkaya diri.

Demikian juga, mereka yang sudah bebas dengan kebutuhan sosial, tidak akan merasa terganggu bila dikritik. Karena kebutuhan sosialnya sudah sangat terpenuhi, mislanya, diakui, diterima, dipuji, disanjung, dll. 

Orang yang kebutuhan ini sudah terpenuhi akan kerja tulus tanpa intrik egoistis dan ingat diri; tidak ambisius dalam mengejar kekuasaan; ia akan kerja dan kerja untuk membahagiakan orang lain. Atinya, menjadi pemimpin bukan lagi menjadi tujuan untuk memenuhi kebutuahn sosial-nya, melainkan membahagiakan dan menyelamatkan orang lain.

Selain itu kebutuhan afektif yang terpenuhi tidak akan membuat pribadi ini cepat puas atau putus asa. Ia akan selalu merasa dicintai, diampuni, didengar, dimaafkan dan rasa empati yang tinggi dengan kondisi orang lain, sehingga kinerja kerja dan relasi sosialnya tidak akan pernah tersinggung, dendam, marah, mendiamkan yang berbeda, dll. Apakah ciri-ciri ini kita temukan dalam calon-calon pemimpin kita; calon-calon legislatif?  

Tapi, pertanyaannya, bagaimana seseorang bisa mencapai tingkat kepribadian yang demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita lihat pada pria yang punya 15 juta pengikut di media sosial katakan. Ia akui, sebagai orang yang terkenal, banyak uang, fasilitas hidup yang serbah wah ini akui, "Saya sudah mengarungi hidup perkawinan selama 40 tahun. Selama masa yang panjang ini, saya sudah menikah dengan lima atau enam perampuan, tapi tetap setia dengan orang yang sama, yakni: Christina Oticia. Saya tidak nikah dengan wanita yang sama; demikian juga dia tidak nikah dengan lelaki yang sama". 

Demikian ia memberi alasan: "Kalau saya nikah dengan wanita yang sama, maka dia akan terus pakai rok mini sampai sekrang. Tapi dia berubah kan. Demikian juga, dia adalah orang yang sangat tidak disiplin. Selama ini saya berusaha untuk membantu kekurangnnya ini; demikian juga saya. Saya adalah pria yang tak punya rasa empati pada orang lain, maka, dia selalu setia melatih aspek afektif saya ini. Sehingga, kami membangun rumah tangga dengan semangat untuk bisa menyelesaikan apa yang belum selesai dalam diri; kami, dengan rahmat Tuhan, bukan saja bisa saling mengisi kekurangan, tapi lebih saling membantu untuk setiap hari menjadi baik dan lebih baik".

Bagaimana agar bisa semakin hari semakin lebih baik? "Saling menjaga". Saya menjaga-nya (istrinya) bukan karena dia lemah, karena dia lebih kuat dari saya. Justru saya laki-laki yang sangat rapuh. Tapi saya punya kewajiban, sejak janji nikah untuk selalu melindungi, menjaga dan membuat bahagia orang yang sudah bersama saya selama 40 tahun, demikian juga sebaliknya, dia selalu berbuat hal yang sama untuk saya".

Wajah atau ciri seorang pemimpin bisa kita temukan dari apa yang dikatakan novelis ini. Orang yang sudah selesai dengan diri sendiri adalah bukan mereka yang punya banyak pengetahuan dan pintar bicara, tapi mereka yang sudah punya pengalaman. Pengalaman adalah ilmu terbaik yang bisa dimiliki seseorang. Pengalaman akan membuat seseorang itu bebas dan selesai dengan dirinya.

Paulo Coelho sangat yakin bahwa seorang pemimpin harus sudah punya pengalaman memimpin. Tidak bisa tidak. karena pengalaman selalu memurnikan diri. Orang yang sudah selesai dengan dirinya tidak akan menjadikan kekurangan diri sendiri dan kekurang orang lain sebagai celah untuk kritik dan menghina. 

Orang yang sudah selesai dengan dirinya akan selalu melihat titik positif yang bisa disumbangkan olehnya atau orang lain. Ada juga ciri lain yang penting, yakni mereka akan selalu bisa dengan bebas menerima kekurangan dirinya dan siap iklas dikatakan oleh orang lain tentang itu tanpa tersinggung atau marah.

Demikian juga, ia akan sanggup menerima dengan penuh pengertian kekurangan dan kesalahan orang lain. Orang yang sudah selesai dengan dirinya adalah mereka yang selalu berusaha dalam kondisi apa-pun membuat orang lain bahagia. Karena mereka ini yakin, kebahagian hanya akan bertambah dan berkembang ketika itu dibagikan dengan orang lain.  

Nah, dari analisa sederhna ini, semoga kita bisa melihat, mengenal dan dengan tenang hati memilih pemimpin kita, baik Presiden atau para wakil kita di Dewan. Selamat menentukan pemimpin dan wakil-mu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun