"Sabar bro, elo harus survey dulu. Ruko beda dengan rumah. Biarpun dalam gang, masih ada rumah berharga dua miliar. Lha kalo ruko dalam gang, ya kagak laku bro. Rumus ruko itu, lokasi, lokasi, lokasi. Lokasinya harus strategis biar harganya bisa mahal, namanya juga buat dagang."
Gara-gara proyek ruko di Pamulang itu, Rico kini semakin dekat denganku. Aku lalu bertanya tipis-tipis, apakah Martha sering bercerita tentang aku padanya. Tepat dugaanku ketika Rico kemudian tersenyum tipis-tipis juga. Ah, aku tak mau memaksanya sekarang. Apalagi yang mesan ruko itu baru dua orang saja.
Nanti kalau ruko itu dipesan lima orang, apalagi kalau sampai ludes, pasti Rico menjerit kegirangan. Ia pasti akan menceritakan semuanya tanpa kuminta. Jadi aku harus bersabar dulu.
***
Aku baru saja dari Rempoa hendak pulang ke rumah, tapi aku kemudian memutuskan singgah sebentar ke rumah Jenny. Tadi siang aku, Jessica dan Rico makan siang bareng di Pamulang. Kami kemudian berpisah karena aku ingin singgah sebentar ke Rempoa. Aku pikir mereka ini sudah pulang, eh ternyata masih di Pamulang. Biasalah karena masih baru, pada semangat di proyek.
Ketika hendak masuk lewat garasi, aku kemudian terkejut ketika melihat Jenny dan Stanley berdua keluar dari garasi. Mereka berdua tampak gelagapan. Ngapain Stanley ke mari, kan dia tahu kalau Jessica dan Rico ada di Pamulang, kenapa ia tidak ke sana saja kalau urusan bisnis?
"Jalan dulu ya bro," kata Stanley padaku. Aku hanya mengangguk saja. Iapun berlalu menuju mobilnya.
Duh Gusti, suasananya awkward banget. Untunglah hapeku berbunyi. Ternyata Udin tukang besi. Obrolanku dengan Udin hanya 15 detik, lalu hape mati. Namun aku pura-pura ngobrol lagi, "Aduh kamu gimana sih, ya udah saya ke sana deh!"
"Jen, aku jalan dulu ya, ada urusan proyek sebentar, takutnya ntar salah lagi.
"Lho, koq cepet banget, trus ke mari mau ngapain?"
"Ini, mau ambil charger. Tiga hari lalu aku ngecas di pos satpam, trus ketinggalan. Aku pakai charger satunya lagi tapi lambat banget ngecasnya. Aku jalan ya sayang." Akupun berlalu.
"Rick..." suara Jenny perlahan memanggilku, tapi iapun tak tahu harus ngomong apa, apalagi akupun sudah berlalu.
Di dalam mobil akupun berteriak, "Jan-uk! Ja-cuk! Janc-k!" kepalaku pusing tidak karuan. Aku lalu masuk ke McD. Mending aku beli kopi dulu lewat Drive Thru, lalu nangis di parkiran.
Ah, seandainya aku terlambat sepuluh menit, atau lima menit saja. Aku tak akan melihat mereka berduaan. Jadi aku bisa berpura-pura tidak ada masalah.
Tiga bulan terakhir ini hubunganku dengan Jenny ini terasa garing, padahal love language kami berdua itu adalah physical touch. Terkadang ketika aku menyentuh jari tangannya, ia tidak bereaksi. Akupun merasa gengsi. Aku akhirnya mengaruk-garuk jari tanganku sendiri.