Â
Aku bisa merasakan kalau Rini terlalu mengalah padaku. Aku sering mengabaikan janji ketemu dengannya karena sibuk main dengan teman-temanku atau dengan urusanku sendiri. Aku merasa, Rini yang lebih keras berusaha menjaga hubungan kami agar tetap berjalan dengan baik. Ia selalu berusaha membantu aku dalam segala situasi yang sesulit apapun bahkan dengan mengabaikan perasaanya sendiri.
Ketika aku sakit, ia akan berusaha merawatku dengan sebaik baiknya. Menyuapin makan dan menjagain aku. Sebenarnya aku merasa agak malu dengan orang-orang di rumah terutama mama, karena biasanya mamalah yang selalu mengurusku kalau aku lagi sakit. Â Â Â Â Â Â Â Â
Akan tetapi mama senang-senang saja, karena Rini tipikalnya mirip dengan mama. Mama dan seluruh keluargaku menyukai Rini, karena ia pintar membawa diri dan mereka juga tahu, Rini selalu berusaha memberikan yang terbaik padaku.
Sebenarnya perhatian yang baik dari Rini ini sering juga membuat aku merasa terganggu, karena merasa diperlakukan seperti anak kecil yang harus selalu diurusin. Â Â Â Â
Rini sering merapikan lemari pakaianku, meja belajar, pokoknya seisi kamarku yang sedikit berantakan. Hal ini sering membuat perdebatan karena aku merasa privacyku terganggu. Jadinya aku terpaksa harus menyimpan koleksi majalah Playboyku di bawah kasur.
Aku sesekali "mencari masalah" dengan berpura-pura merasa kehilangan buku atau catatan penting yang memang tidak ada, agar ia tidak usah mengacak-acak kamarku. Terkadang aku susah menahan geli melihat muka lugunya mencoba mengingat-ingat segala sesuatu yang sudah dirapikannya, yah pasti gak nemu, wong memang gak ada.
Dulu Mama sering memperlakukan aku begitu, sekarang Rini juga memperlakukan aku seperti begitu, Ya ampyuuun. Aku yakin, seyakin-yakinnya bahwa Rini itu adalah pacar yang baik dan juga bakal istri yang sangat baik, idaman semua laki-laki yang mencari seorang istri. Tetapi ada sedikit "ganjalan" dihatiku. Aku tidak terlalu yakin, apakah aku benar-benar mencintainya dan akan bahagia hidup bersamanya.
Aku jarang merindukannya, bahkan terkadang ketika "self-service"pun aku tidak pernah membayangkan wajahnya. Tapi, apakah dia juga melakukan hal yang sama padaku? Who knows...
Ketika berliburan dengan teman-temanku dalam waktu yang lama, aku juga tidak merindukannya, terkadang dengan sedikit terpaksalah baru aku menelfonnya dan dia tetap antusias mendengar ocehanku. Membayangkan matanya yang bulat dan ekspresi wajahnya mendengar "bualanku-lah" yang memperpanjang durasi percakapan kami..
Duh Tuhan, aku merasa berdosa kepadanya, tentu kepada Tuhan juga karena tidak bisa dan tidak mau berusaha juga untuk benar-benar mencintainya. Ia terlalu baik buat aku. Upss klise banget, bukankah semua laki laki yang tidak suka lagi pada pacarnya mengatakan,"sayang, kita putus aja ya, soalnya kamu terlalu baik buat aku, dan aku merasa, aku bukan yang terbaik buat kamu."