"Pengumuman kepada seluruh pemancing ikan di Konoha, apabila selama tiga bulan berturut-turut tidak pernah memancing ikan, maka joranmu akan dibekukan negara."
Langkah Presiden RI Prabowo Subianto memberikan abolisi terhadap Tom Lembong dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto menuai polemik di masyarakat.
Bagi kaum "salawi" (Salah Jokowi) kebijakan Prabowo ini dianggap tepat dan bijaksana. "Sudah terlalu lama hukum dipakai sebagai alat kekuasaan. Akhirnya keadilan pun menemukan jalannya sendiri." demikianlah menurut mereka.
Lain padang lain belalangnya. Lain selangkangan lain pula cara jalannya. "Memang 02 ini gak jelas, omon-omon bae. Dulu katanya sikat koruptor dan mafia, tapi sekarang pengadilan pun diintervensi. Para maling akan berpestapora #Indonesiagelap. Gas, gas ok gas. Demikianlah menurut abang-abang dari pakter tuak di pinggiran kota Medan.
Lalu bagaimana menurut pandangan ahli hukum?
Nah kalau pendapat ahli hukum itu kan tergantung "di mana letak duduknya." Kalau duduknya di kiri, maka pendapatnya akan ke kiri. Sebaliknya kalau duduknya di kanan, maka pendapatnya akan ke kanan. Tentunya pendapat itu akan ditopang pula dengan data-data pendukung termasuk keterangan ahli, yurisprudensi dan pasal-pasal KUHP supaya terlihat "sedap."
PH (Penasehat Hukum) Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tentunya tidak ingin berpolemik soal pemberian abolisi dan amnesti ini. Mereka ini lebih suka merendah dengan mensyukuri kebijakan bapak presiden ini. Kebetulan kedua kasus ini masih dalam tahap banding. Pemberian abolisi dan amnesti otomatis menghentikan semua proses hukum. Alhamdulillah, case closed!
Selain Tom Lembong, dalam kasus impor gula ini penyidik juga menjerat Direktur Pengembangan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan sembilan pengusaha gula swasta.
Kalau pendapat PH mereka ini tentunya lain lagi. "It takes two to tango" (dibutuhkan dua orang untuk menari tango) Hubungan Tom dengan klien mereka adalah hubungan kausalitas (sebab akibat) seperti gula dengan semut. Tak ada gula tak ada semut. Kalau Tom Lembong tidak memberi perintah, tentunya klien mereka ini tidak akan pernah mengimpor gula!
Dalam hal abolisi, proses hukum terhadap Tom dihentikan sepenuhnya. Artinya tidak ada kasus, dan Tom pun lepas dari tahanan. Idealnya klien mereka ini juga berhak mendapat abolisi dari presiden.
Karena "penyebab" sudah hilang, tentunya "akibat" tidak bisa lagi ditimpakan kepada klien mereka. Kalau Tom Lembong dianggap tidak menari tango, lantas klien ini menari tango dengan siapa?
(Ini argumentasi penulis seandainya menjadi PH dari importir gula tersebut hehehe)
Lalu bagaimana pendapat penulis kalau duduk di tengah (tanpa ada kepentingan)
Jadi begini. Ini memang kasus hukum. Akan tetapi abolisi dan amnesti adalah produk politik, di mana presiden sebelumnya meminta pertimbangan/rekomendari dari DPR. Jadi produknya bersifat politis bukan produk hukum. Jangan lupa, hukum itu adalah produk politik. Lagi pula Pemberian abolisi dan amnesti bukan berarti meniadakan pelanggaran hukum oleh pelaku, tetapi lebih bersifat pengampunan dari presiden.
Selain itu abolisi, grasi, rehabilitasi dan amnesti adalah hak prerogatif presiden yang diberikan oleh negara. Mungkin kalau grasi dan rehabilitasi bisa sedikit diperdebatkan karena presiden sebelumnya akan meminta pertimbangan/rekomendasi dari Mahkamah Agung, yang jelas-jelas adalah lembaga yudikatif.
Orang bijak berkata, "malu bertanya sesat di jalan." Akan tetapi, kalau bertanya kepada seorang ahli hukum yang punya stok beberapa pendapat, maka anda dijamin akan tersesat pula di jalan, hehehe.
(Makanya jangan terlalu serius apalagi sampai baperan ketika menonton acara debat politik/hukum di televisi, hehehe)
Â
"Kalau kau susah menundukkan lawanmu, maka jadikan dia temanmu"
Abolisi Tom Lembong terasa lebih mudah dipahami karena yang diuji adalah kebijakan (politis) dari seorang Menteri Perdagangan terkait kelangkaan gula pasir.
Penulis tidak mengenal Tom, tetapi penulis yakin kalau beliau ini adalah sosok yang mempunyai integritas kuat. Jujur, tidak korupsi, pinter dan baik budi.
Lantas salahnya di mana?
Ini menurut pandangan subjektif penulis, "Tom bergaul di tempat dan dengan cara yang salah pula."
Catat, tidak ada seorang pun rakyat negeri ini yang meragukan integritas dari seorang Tom Lembong. Bahkan vonis kemarin itu justru membuat namanya semakin dikagumi.
Integritas adalah sesuatu yang sangat langka di negeri ini, dan hal ini jugalah yang selalu mengganggu pikiran Tom. Diberhentikan sebagai Menteri Perdagangan di era Jokowi kemarin itu sangat mengganggunya, karena ia "merasa dirinya dianggap tidak layak oleh sang bos."
Padahal menteri adalah pembantu presiden, dan presiden mempunyai hak prerogatif untuk memilih dan memberhentikan seorang menteri.
Pemilihan seorang menteri tentunya tidak semata berdasarkan kapasitas/kemampuan dari sosok menteri tersebut (zaken kabinet) tetapi juga kepada "strategi politik," terutama menyangkut kepentingan koalisi parpol pendukung. Setelah direshuffle Tom sebenarnya menempati posisi bergengsi juga, yaitu sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sejak 27 Juli 2016 hingga 23 Oktober 2019.
Di negeri Konoha, bukan hanya rakyat jelata saja yang baperan, tetapi juga hingga ketua ormas dan ketua parpol. Pemilu yang katanya "pesta demokrasi rakyat" juga menjadi ajang kepentingan pemburu rente, koruptor, makelar dan tentunya politikus dan parpol.
Rakyat memang berpesta, terutama bagi penerima "serangan fajar," tukang spanduk, tukang sablon maupun "tukang hore-hore" (termasuk buzzer)
Setahun pemerintahan Jokowi (2015-2016) adalah masa transisi politik "paling mencekam" di Indonesia. "PDIP bisa dibaca kartunya, tapi orang kuat Solo ini tidak jelas usul-asalnya sehingga sulit membaca kartunya."
Jokowi didukung oleh KIH (Koalisi Indonesia Hebat) terdiri dari PDI-P, PKB, NasDem, dan Hanura. Sementara itu KMP (Koalisi Merah Putih) yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN, PBB, PPP, dan Golkar menjadi oposisi, dan menguasai parlemen.
Hari berganti musim pun berlalu. Di Konoha tidak ada teman abadi ataupun musuh abadi, sebab yang abadi hanyalah KEPENTINGAN.
Awalnya PPP merapat ke KIH. Setahun kemudian PAN menyusul, lalu diikuti Golkar, membuat kekuatan KMP di parlemen melayu seperti ilalang diterpa terik sore. Akhirmya KMP bubar.
Ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Sahabat lama kemudian datang membawa sirih di atas piring.
Alam telah mengatur segala sesuatunya dengan hukum keseimbangan alam. Kalau ada yang datang, maka harus ada yang pergi agar ada tempat bagi si pendatang.
Atas nama reshuffle, komposisi kabinet dan lembaga negara lainnya itu dikocok ulang agar tampak harmonis. Ada yang datang, ada yang pergi, tapi ada juga yang pergi untuk kemudian datang lagi.
Kalau yang pergi berlatar belakang politik, maka ia akan santuy saja sebab ini adalah hal yang biasa dalam pemerintahan manapun juga.
Sebaliknya kalau yang pergi itu berlatar belakang teknokrat atau orang pinter, maka urusannya jadi panjang. Sebagian dari mereka ini jadi baperan, lalu berubah menjadi JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang menuntut orang pakai KUHMS (Kitab Undang-undang Hukum Milik Sendiri) bukan KUHP.
Ada satu catatan minus penulis pada saat Tom menjabat sebagai Co Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam Pilpres 2024 kemarin.
Ketika itu ada kesan kalau Tom ini "sering memberikan contekan" kepada presiden pada saat beliau ini akan berpidato. Kebetulan Tom menjadi salah satu dari penulis teks pidato Presiden Jokowi.
Dalam konteks kampanye Pilpres, "contekan" ini tentunya akan dimaknai kaum "SDM rendah nirliterasi" sebagai petunjuk kurangnya kemampuan intelektual dari capres/cawapres tertentu yang dianggap kurang umur pula.
Dalam pandangan penulis, Tom jelas keblinger.
Pertama, menteri adalah pembantu presiden, dan sudah pasti presiden akan meminta contekan yang relevan dan valid dari pejabat kementerian/lembaga terkait ketika ia akan berpidato atau memberikan keterangan kepada publik terkait isu yang terjadi. Jadi Tom jangan geer dulu kalau merasa sebagai satu-satunya penulis terbaik untuk teks pidato presiden.
Apalagi kalau presiden mau berpidato tentang Kesehatan reproduksi wanita di depan mama-mama di pasar Sentani, Jayapura. Itu presiden pasti akan minta contekan dari Menkes, Menteri perawan (peranan wanita) deng Gubernur Papua.
Kedua, hubungan Jokowi-Tom berada di ranah privat. Mereka bertemu, lalu menyamakan persepsi dalam sebuah kerjasama, dan kemudian berakhir sampai periode pertama Jokowi di 2019.
Hubungan ini mirip-mirip dengan orang pacaran atau rumah tangga. Manis-pahitnya hubungan itu tentunya berada di ranah privat dan tidak pantas diumbar ke publik.
Ketiga, etika politik. Â
Black campaign adalah hal yang lumrah dalam dunia politik. Akan tetapi sebagai seorang gentleman, rasanya kurang etis kalau Tom harus "menggadaikan" hubungan khususnya selama periode pertama Jokowi dulu untuk kepentingan politiknya sebagai Co Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Ketika Tom kemudian memainkan isu harga nikel yang sempat merosot yang diduga akibat eksploitasi habis-habisan, menurut penulis itu ide jitu. Padahal nikel seperti halnya komoditas lainnya itu sebelas dua belas dengan berahi. Kalau lagi bad mood, harganya turun. Kalau lagi sa-ge, harganya pasti naik.
Ketika itu LBP sampai kebakaran jenggot dan mengundang Tom datang ke Morowali, tempat smelter nikel. Apakah Tom berangkat ke sana?
Tentu saja tidak! Ia cuma pengen LBP gusar, dan isu nikel yang digadang-gadang pemerintah itu mendapat perhatian warga dari sudut pandang lain. Syukur-sukur kalau ada yang menganggap nikel ini cuma pepesan kosong belaka, hehehe
Apa pun itu tidak ada gading yang tak retak dan tak ada pula gundul yang tak botak. Sudah kodrat manusia untuk tidak sempurna. Sama halnya seperti nasib baik, nasib apes pun tidak bisa diprediksi.
Apakah Tom diapeskan karena sikapnya terhadap Jokowi tersebut?
Wallahu a'lam. Penulis bukanlah ahli nujum, ahli tafsir ataupun ahli filsafat. Jadi penulis tidak bisa membuat sebuah premis terkait hal ini.
Aristoteles berkata, "Everything happens for a reason." Segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Pengalaman hidup (jatuh-bangun; bahagia-kecewa) adalah suatu perjalanan/proses pematangan yang dirancang untuk membentuk karakter seseorang agar bertumbuh menuju versi terhebat dari dirinya sendiri.
Tom Lembong adalah salah satu dari sedikit orang pinter yang mempunyai integritas kuat di negeri ini. Semoga kasus ini membuatnya semakin "wise" agar bisa berkontribusi demi membangun negeri ini.
Salam Kemerdekaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI