Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Polemik Proyek Sodetan Ciliwung, Salahnya Yusril!

7 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 7 Juli 2023   06:53 18234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://asset.kompas.com/crops/Q4Z7bWJTuaZK5yvOmu7DKyVVleE=/0x0:1280x853/750x500/data/photo/2023/01/24/63cfc13d0ed04.jpeg

Setelah lama terbenam di dasar kali Ciliwung, tiba-tiba Proyek Sodetan Ciliwung ini mendadak viral.

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Presiden Jokowi bersama Menteri PUPR Basuki, Plt Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono dan beberapa pejabat lainnya meninjau Proyek Sodetan Ciliwung pada awal tahun ini. Pakde kemudian memuji paklik Heru atas progres yang sudah dicapai.

Warga kepo Kemudian bertanya, mengapa Pakde datangnya baru sekarang, bukan kemarin?

Hadeuh, "Sudah heru cendana pula."

Proyek Sodetan Ciliwung ini viral karena banyak media memberitakan kalau proyek ini mangkrak enam tahun selama rezim Anies berkuasa. Lalu setelah Heru menjabat Gubernur DKI Jakarta, maka wes ewes proyek ini pun segera rampung. Benarkah begitu?

Warga +62 memang terbiasa dengan dikotomi. Kampret/kadrun versus cebong. Rupanya hal ini pun terbawa juga ke Proyek Sodetan Ciliwung ini. Kampret kemudian bercokol di inlet (saluran masuk) sodetan di Kelurahan Bidara Cina, sementara cebong mangap di outlet (saluran keluar) sodetan di Kelurahan Cipinang Besar Selatan. Lalu para pemangku kebijakan mingkem di tunnel sodetan yang berada di bawah Jalan Otista III itu.

Namun penulis sama sekali tidak tertarik dengan dikotomi-dikotomi seperti ini. Penulis lebih tertarik kepada proyek sodetannya sendiri karena proyek ini menyangkut hajat hidup orang banyak.

Proyek Sodetan Ciliwung ini sendiri adalah milik Kementerian PUPR di bawah koordinasi BBWSCC (Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane) yang merupakan bagian dari Integrated flood control project, atau Rencana induk sistem pengendalian banjir Ibu Kota Jakarta dari hulu hingga hilir.


Kelebihan air dari hulu (Bog0r) akan ditampung dua buah dry dam (bendungan kering) yakni Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Setelah itu, kelebihan air dari daerah tengah (Depok) diatasi dengan normalisasi Kali Ciliwung sepanjang 33 Km plus sodetan Ciliwung ini.


Ketika sungai Ciliwung banjir, Sodetan ini berfungsi untuk mengalirkan kelebihan air dari sungai Ciliwung tadi ke BKT (Banjir Kanal Timur) dengan debit sebesar 33 M3/detik dalam kondisi siaga dua, dan 63 M3/detik dalam kondisi siaga satu (dengan memakai bantuan booster/extra fan)

Jadi proyek normalisasi dan sodetan Ciliwung ini bukanlah milik Pemprov DKI Jakarta, sehingga tidak tepat kalau ada dikotomi Ahok-Anies. Seluruh pembiayaan proyek ini pun (pembebasan lahan dan konstruksi) berasal dari APBN. Akan tetapi, karena proyek ini berada di wilayah DKI, maka Pemprov DKI juga terlibat dalam hal pendataan dan membantu pembebasan lahan. 

Nah celah ini lah yang kemudian dimanfaatkan Yusril, yang lalu kemudian diaminkan Anies! 

Normalisasi Kali Ciliwung sendiri terhenti semenjak Anies menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2017 lalu. Sebelumnya proyek normalisasi sungai sepanjang 33 Km itu sudah selesai dikerjakan sepanjang 16 Km, dan bersisa 17 km lagi ketika Ahok lengser keprabon. Pembagian tugas dalam proyek ini adalah sebagai berikut, DKI Jakarta membebaskan bantaran kali, lalu Kementerian PUPR melakukan pekerjaan normalisasi sungai.

Proyek normalisasi sungai terhenti karena Anies hendak menerapkan Naturalisasi. Ia pun tidak mau membebaskan bantaran sungai karena takut kualat. Kementerian PUPR lalu menunggu kehadiran Anies untuk menjelaskan implementasi dari Naturalisasi tersebut. Apalagi Spesifikasi Teknis Naturalisasi ini pun tidak dikenal dalam dunia Teknik Sipil. Namun Anies tidak pernah hadir. Bahkan hingga Anies purna tugas, belum ada satu pun sungai di Jakarta yang dinaturalisasinya! Hahaha...

Seperti kita ketahui sungai dan bantaran sungai adalah milik negara. Jadi ketika ada warga yang menginvasi sungai tersebut, maka itu kemudian menjadi tanggung jawab (sosial) dari Pemerintah Daerah dan perangkat di bawahnya untuk merelokasi warga yang menginvasi bantaran sungai tersebut.

Artinya tidak boleh ada ganti rugi terhadap tanah yang menjadi milik negara! Namun secara sosial, warga terutama fakir miskin adalah tanggung jawab negara (pemerintah daerah) Oleh sebab itu warga yang menginvasi bantaran sungai ini harus direlokasi, diberi tempat hunian yang layak atau diberi "uang kerohiman" untuk pindah.

Sebenarnya relokasi warga yang terkena proyek selama ini berjalan baik. Warga pemilik sertifikat kemudian diberi uang "ganti-untung." Bagi warga DKI "non-sertifikat," mereka ini direlokasi ke Rusunawa secara gratis (hanya dibebankan biaya pengelolaan lingkungan saja) Sedangkan bagi warga "Non-DKI yah, wassalam. Setelah diberi uang kerohiman, mereka kemudian dikembalikan ke tempat asal (Setelah uang kerohiman tadi habis, mereka ini kemudian "mudik" lagi ke Jakarta, hahaha)

Nah dalam kasus sodetan Ciliwung, sebenarnya pada 2015 lalu warga (pemegang sertifikat tanah) sudah mengajukan uang ganti rugi sebesar Rp 25 juta/m2 untuk tanah dan Rp 3 juta/m2 untuk bangunan.   

Namun entah bagaimana ceritanya, mereka ini kemudian bergabung dengan warga "pemegang sertifikat syurga," lalu mengajukan gugatan ke PTUN lewat Yusril Ihza Mahendra.

"Pucuk dicinta, kelambu tiba!" Yusril ini getol membela warga-warga korban penggusuran seperti warga Luar Batang, Penjaringan dan kini Bidara Cina. Yusril memang sengaja menentang kebijakan Ahok, apalagi ia ingin bertarung melawan Ahok di Pilgub DKI Jakarta 2017.

Apakah Yusril peduli dengan warga Bidara Cina? Wallahu a'lam. Namun untung tak dapat dipeluk, malang tak dapat ditolak. Yusril akhirnya "layu sebelum berkembang." Ia batal nyagub, karena kalah bersaing dengan Anies, hehehe.

Lalu bagaimana cara Heru membebaskan lahan proyek tersebut?

Gampang saja. Itu uang ganti untung dari APBN sudah lama tersedia. Heru tinggal bertanya kepada warga pemegang sertifikat, "siapa yang mau ganti untung?" Ternyata semua warga mau. Warga lainnya kemudian direlokasi ke Rusunawa. Beres! Lha kok cepet? Yah pasti cepet karena tidak ada provokatornya lagi. Lagi pula "pribumi mana berani melawan pejabat pribumi!"

Penulis kini mengerti perasaan warga itu. Coba kita bayangkan berapa nilai uang Rp 25 juta/m2 pada tahun 2015 jika dikonversikan ke tahun 2023 sekarang ini! Gara-gara ikut menggugat, mereka kemudian kehilangan added value (nilai tambah) dari uang ganti-untung yang mereka terima sekarang.

***

Dalam Putusan Nomor 59/G/2016/PTUN-JKT yang memenangkan warga Bidara Cina, yang menjadi objek gugatan adalah SK Gubernur Nomor 2779/2015 yang ditandatangani oleh Ahok (lahan yang akan dibebaskan seluas 10.357 meter persegi) untuk menggantikan SK Gubernur Nomor 81/2014 yang ditandatangani oleh Jokowi (lahan yang akan dibebaskan seluas 6.095,94 meter persegi) Dalam hal ini warga keberatan dengan perubahan tersebut.

Adapun pertimbangan majelis hakim dalam putusannya tersebut, tergugat dianggap berlaku sewenang-wenang dengan membuat SK Gubernur Nomor 2779/2015. "keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat TUN tersebut merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pejabat TUN itu sendiri. Jadi didalamnya tidak ada perjanjian, jadi hubungan hukum yang diatur oleh hukum publik hanya berasal dari satu pihak saja yakni pemerintah dengan cara menentukan kehendaknya sendiri."**

Menurut penulis majelis hakim kurang cermat dalam putusannya ini tersebab dua hal,

Pertama, pemilik proyek ini adalah Kementerian PUPR cq (Casu quo) BBWSCC (Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane) 

Hal mana dapat dilihat dari pembiayaan seluruh proyek ini berasal dari APBN, bukan dari APBD DKI Jakarta. Pelaksana proyek juga adalah PUPR sementara tugas Pemprov DKI adalah membantu pembebasan lahan. Proyek PUPR Ini adalah proyek nasional lintas provinsi untuk kepentingan hidup orang banyak.

Ketika terjadi perubahan desain inlet sodetan (otomatis perubahan luas lahan juga) maka Pemprov DKI juga otomatis akan membantu pembebasan lahan yang sesuai dengan kebutuhan desain baru tersebut.

Demikianlah kerja sama antara proyek Pemerintah Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini. Dalam hal ini perubahan desain inlet itu sepenuhnya dari PUPR, bukan dari Pemprov DKI Jakarta. Artinya SK Gubernur Nomor 2779/2015 terbit karena adanya perubahan desain inlet sodetan tersebut.

Jadi Gubernur DKI Jakarta sama sekali tidak ada kena-mengena dengan urusan inlet sodetan ini, sebab tugasnya adalah membantu proyek nasional yang berada wilayahnya, karena hirarki kekuasaan mengharuskannya begitu. Jadi kalau warga Bidaracina hendak menggugat, yang digugat adalah Kementerian PUPR. Atau setidaknya Kementerian PUPR turut serta menjadi pihak tergugat.

Ibarat kata, abang GoFood dimarahi customer karena pesanan tidak sesuai dengan selera. Rupanya tidak ditemukan udang dibalik kwetiau pesanan. Yang salah pastinya, kalau tidak customer yah pihak resto karena tugas abang GoFood kan tinggal antar bae. 

Jadi dalam proyek sodetan Ciliwung ini Ahok itu berlakon seperti abang GoFood tadi, hehehe...

Apakah Yusril tidak mengetahui hal ini? Tentu saja beliau tahu pakai banget!

Yusril tidak menggugat legalitas proyek (PUPR) ini melainkan "administatif" dari SK Gubernur itu saja ke PTUN. Tujuannya cuma satu, bagaimana caranya supaya Ahok terlihat kalah dan citra Yusril justru naik karena dianggap menjadi Robin Hood, sang pembela wong cilik. 

 

Kedua, perubahan desain adalah hal yang lazim dalam dunia proyek.

Sepanjang pengalaman penulis berkiprah dalam dunia konstruksi, terutama dalam earthworks (pengerjaan tanah) pada proyek jalan raya maupun irigasi/sungai, hampir tidak ada pekerjaan yang tidak mengalami revisi (perubahan desain)

Dunia konstruksi sendiri mengenal tiga gambar. Pertama, gambar bestek (dibuat oleh konsultan perencana) yang menjadi acuan untuk tender.

Kedua, shop drawing (gambar kerja) dibuat oleh kontraktor setelah terlebih dahulu melakukan pengukuran dan mutual check lapangan bersama konsultan pengawas. Gambar ini akan menjadi landasan atau dasar dari sebuah penyelenggaraan proyek konstruksi di lapangan.

Ketiga, as built drawing dibuat oleh kontraktor setelah proyek konstruksi selesai sebagai tujuan untuk membandingkan as built drawing dengan shop drawing. As built drawing menjadi rekaman terakhir dari perjalan sebuah proyek dalam evolusinya menuju wujud jadinya.

Dalam hal perubahan inlet sodetan di atas, patut diduga, setelah melakukan pengukuran dan mutual check teranyar di lapangan, kontraktor dan konsultan kemudian bersepakat untuk melakukan revisi desain inlet itu tersebab dari salah satu atau salah dua dari dua hal di bawah ini.

Pertama, Desain semula (letak inlet) ternyata tidak mumpuni untuk mendukung tugas berat pengalihan air (debit 33 m3/detik) dari Ciliwung ke BKT.

Kedua, untuk memaksimalkan pemakaian booster dalam kondisi siaga satu (debit 63 m3/detik) maka mulut (tangkapan air) inlet harus diperluas lagi, yang otomatis membutuhkan lahan baru yang lebih luas.

***

Ngemeng-ngemeng, penulis dulu pernah kena damprat sohib yang menjadi hakim di sebuah PN (Pengadilan Negeri) Awalnya penulis mengkritik beberapa hakim PN yang terkesan kurang cermat dalam mengeluarkan sebuah putusan.

Eh, sohib tadi balik marah. "Eh biar lu tau aja ya, tiap hari perkara masuk persis seperti antrian sembako. Kita cape-cape mikirin perkara, toh dalam setiap putusan PN pasti yang kalah akan banding juga ke PT dan MA. Trus ngapain lu cape-cape mikir kalau mereka toh banding juga. Sekarang lu protes, kenapa marah ke gue, lu kan masih bisa banding? Trus kalau semua perkara kelar di PN, trus itu hakim PT sama hakim MA kerjanya apa?"

Eh, penulis pikir bener juga ya. "Kalau ente kalah di PT, ente kan masih bisa banding? Gitu aja koq repot!"

Nah kalau Yusril tadi kan sudah jelas urusannya. Maksud hati memeluk gunung, apa daya gunungnya keburu meletus! Lalu Anies apa urusannya dalam proyek ini?

Di atas sudah dijelaskan kalau biaya ganti rugi tanah dan bangunan sepenuhnya bersumber dari APBN. Masalahnya kondisi itu adalah bagi tanah yang jelas usul-asalnya (dan ini tidak banyak)

Yang banyak itu justru warga ilegal, dan mereka ini mendiami sepanjang 17 km kali Ciliwung yang belum dinormalisasi itu. 

PUPR tentunya tidak mau memberi ganti rugi kepada mereka ini. Mosok negara memberi ganti rugi atas tanah negara? Urusannya kan bisa rame. Kalau gak KPK ya Kejaksaan, hehe

Nah ini kan menjadi tanggung jawab (sosial) Pemprov DKI, dan ini biayanya tidak murah. Apalagi dana APBD pun cekak karena sering kelebihan bayar.

Nah untuk mengelak dari tanggung jawab itu maka isu NATURALISASI pun dikumandangkan. 

Setelah beliau ini lengser keprabon, maka proyek normalisasi Ciliwung dikebut lagi. Proyek sodetan Ciliwung ini sendiri Insya Allah akan diresmikan pakde bulan Juli ini.

Akhirnya kita kehilangan waktu enam tahun secara sia-sia. Sementara itu kita sudah kehilangan materi dan korban jiwa dalam beberapa kali banjir, terutama pada awal Januari 2020 lalu.

Jika aku bisa, ku akan kembali

Ku akan merubah takdir kali Ciliwung ini

Meskipun tak mungkin, walaupun ku mau

Membawa kamu lewat mesin waktu...

Catatan,

**Hal 7 dari 155 hal Putusan Nomor : 59/G/2016/PTUN-JKT.

 

Referensi,

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/33ea6d2317748130f31311d3b057ece2.html

https://megapolitan.kompas.com/read/2023/01/27/14552741/melihat-kembali-mengapa-sodetan-ciliwung-dibutuhkan-warga-jakarta?page=all#page2

https://www.merdeka.com/jakarta/pukulan-1-0-yusril-ke-ahok-kalah-gugatan-warga-bidara-cina-di-ptun.html

https://news.detik.com/berita/d-3198883/pemprov-dki-kasus-bidara-cina-perkara-biasa-yusril-yang-bikin-ramai

https://news.detik.com/berita/d-6533447/cerita-warga-bidara-cina-relakan-rumahnya-digusur-untuk-sodetan-ciliwung?single=1


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun