Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Anies Memang Tidak Punya Solusi untuk Banjir Jakarta

4 Maret 2020   18:00 Diperbarui: 4 Maret 2020   18:04 2924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar underpass Kemayoran kebanjiran, sumber: idntimes.com

Kebenaran itu seperti air, ia pasti akan menemukan jalannya sendiri.

Dua hari kemarin ini udara Jakarta terasa terik, kontras sekali dengan kondisi dua bulan sebelumnya yang selalu hujan berkepanjangan sehingga menimbulkan banjir.

Sepanjang awal tahun ini saja, setidaknya enam kali banjir menyerbu warga yang tinggal di daerah rendah.

Celakanya, tidak ada seorang pun pawang hujan "ber-pelat B" berani memberi garansi untuk "menggeser" hujan tersebut, agar Jakarta terhindar dari banjir.

Kini warga sudah lelah berhadapan dengan banjir yang memporakporandakan kehidupan mereka itu.

Aneka perabotan, alat-alat elektronik bahkan kolor kering tersisapun nyaris tidak mereka miliki lagi. Semuanya habis direnggut oleh banjir sialan tadi.

Warga juga sudah bosan berteriak atau marah-marah kepada gubernurnya. Sebagai gantinya warga lebih memilih untuk berenang di ruang tamu rumah mereka yang kebanjiran sambil "ber-tiktok ria..."

Bila sebelumnya banjir datang pada "hari libur" agar tidak menyusahkan warga untuk bekerja, maka kini banjir pun sudah mulai merambah pada hari-hari kerja.

Tidak tertutup kemungkinan kalau banjir nantinya akan berlangsung juga pada hari raya Idul Fitri, maupun pada "Hari Patah Hati se-Indonesia" yakni ketika Chelsea Islan mengumumkan hari pernikahannya...

Banjir ternyata memberi dampak besar juga pada laju pertumbuhan penduduk. Akhir tahun ini hingga awal tahun depan diprediksi akan banyak bayi yang lahir lewat media banjir tersebut.

Walaupun bayi-bayi tersebut terlahir dari ras yang berbeda-beda, namun bisa dipastikan kalau warna kulit mereka akan sama, yaitu coklat seperti warna lumpur banjir!

***

Dalam beberapa tulisan sebelumnya, penulis sudah menguraikan beberapa penyebab dan solusi untuk penanganan banjir Jakarta ini.

Selain itu tak terhitung juga banyaknya tulisan dari para "ahli per-airan" maupun "ahli perbanjiran" yang memberi solusi untuk menangani masalah banjir ini. Apalagi banjir adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Jakarta.

Artinya, curah hujan akan tetap tinggi. Rob (pasang naik air laut) di utara Jakarta akan terus berlangsung sebagai bagian dari proses alam. Dan tentu saja air dari bendung katulampa Bogor pun tidak akan kabur ke Bandung, karena pastinya akan tetap menyerbu Jakarta juga.

Maka yang sebenarnya diperlukan adalah "manajemen untuk mengendalikannya" agar banjir ini tidak menyusahkan warga.

Banjir kemarin itu (24/2/2020) murni berasal dari hujan lokal yang turun sejak malam hingga pagi hari. "Untunglah" tidak ada banjir kiriman dari selatan Jakarta ataupun badai dari Laut Jawa yang menghantam pesisir Jakarta.

Jakarta memang beruntung tidak seperti kota-kota lain di dunia yang sering mengalami ancaman badai, tornado, gelombang panas menyengat, serbuan udara dingin yang membeku ataupun gempa bumi berskala di atas 7 skala Richter misalnya.

Banyak warga menggerutu karena justru ketika sudah bercucu, barulah rumahnya mengalami kebanjiran untuk pertama kalinya.

Tapi warga yang tinggal di Riverside View Residence (bantaran kali) berujar, banjir kali ini sebagai perwujudan sila kelima, "keadilan sosial bagi seluruh warga Jakarta." Sebab Kini seluruh warga Jakarta memang sudah resmi mengecap "pahit manisnya banjir ala Gubernur Jakarta ini!"

Dalam artikel sebelumnya penulis menyebut ada tiga faktor penyebab banjir besar awal Januari lalu, yakni Rob dari utara (laut Jakarta) Banjir kiriman dari Selatan Jakarta dan hujan lokal dengan intensitas tinggi yang menerpa seluruh wilayah Jakarta.

Dalam pernyataan sebelumnya, Anies mengatakan bahwa percuma saja melanjutkan normalisasi kali Ciliwung (yang terhenti sejak Anies menjabat Gubernur DKI Jakarta) jika Pemerintah Pusat tidak menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan pembangunan waduk Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebab menurut Anies banjir Jakarta disebabkan oleh banjir kiriman dari hulu.

Namun kali ini Anies terpaksa harus menjilat ludahnya sendiri. Jakarta ternyata "kelelep" juga sekalipun tidak mendapat hadiah banjir kiriman dari Bogor.

Air yang tergenang cukup lama pada beberapa wilayah Jakarta adalah bukti sahih tidak bekerjanya drainase kota Jakarta seperti yang seharusnya.

Dan satu hal penting lainnya, sebagaimana halnya kota-kota besar di Belanda yang elevasinya sedikit di atas bahkan ada yang di bawah permukaan air, drainase Jakarta pastinya tidak akan cukup dengan hanya mengandalkan sungai/kanal banjir saja, tetapi harus dibantu juga dengan pompa air.

Pompa-pompa tersebut harus selalu dalam keadaan standby. Beroperasi secara otomatis dan simultan ketika ketinggian air masuk ke level yang sudah ditentukan.

Kenyataannya pompa-pompa di Jakarta itu baru dioperasikan (secara manual) justru ketika banjir sudah menggenangi, padahal wilayah tersebut jelas-jelas adalah daerah langganan banjir.

Tak lama kemudian pompa tersebut kelelep, korslet dan tewas akibat atap rumahnya ditelan banjir!

Contohnya seperti underpass Senen yang kelelep pada hari Selasa dini hari minggu lalu. Sore harinya, setelah air di jalanan surut barulah pekerjaan pemompaan air dari dalam underpass itu dilakukan.

Logika sederhana "pejabat per-airan" itu begini, "Kalau air di jalan belum surut maka percuma saja air dari dalam underpass disedot, karena air dari jalan itu pasti akan turun kembali ke underpass lewat ramp (jalan menurun) menuju underpass"

Seharusnya nalarnya di balik, "Bagaimana caranya agar air tidak masuk/menggenangi underpass ketika hujan turun. Atau setidaknya ketika terjadi banjir, air di dalam underpass itu bisa dikeluarkan secepatnya agar utilitas publik ini bisa dimanfaatkan secepatnya."

"Nalar" (anugerah dari Tuhan) itu seharusnya dipakai, karena level underpass itu berkisar 6 (enam) meter di bawah permukaan jalan. Padahal sesuai "sunnatullah," air dari jalan itu pastinya akan turun ke underpass!

Seperti diketahui, underpass itu didesain untuk melancarkan lalu lintas kenderaan di perempatan jalan (ketika cuaca cerah).

Namun sebaliknya, ketika terjadi hujan lebat, apalagi dengan intensitas tinggi, maka underpass itu akan berubah fungsi menjadi "swimming pool tak berbayar..."

Artinya underpass itu rentan terhadap gejolak air karena pastinya akan menimbulkan genangan dan kenangan...

Anak-anak bermain di kolam renang dadakan, sumber: detik
Anak-anak bermain di kolam renang dadakan, sumber: detik
Jadi solusi utama dari underpass ini adalah pompa, terutama yang berjenis submersible pump. Pompa ini harus bisa bekerja otomatis ketika air mulai menggenangi underpass. Selain itu kapasitas pompa tersebut tentunya harus disesuaikan dengan dimensi dari underpass.

Misalnya dimensi underpass dengan panjang 100 m, lebar 10 m dan tinggi 6 m, kemudian kelelep oleh air sebanyak 2.000 m3 atau setara dengan 200 truk tangki BBM berisi 10.000 liter.

Jika kapasitas pompa di underpass itu dalam satu jam hanya bisa mengisi satu truk tangki BBM berisi 10.000 liter tersebut, maka kita sudah bisa menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan underpass tersebut. Atau berapa jumlah dan kapasitas pompa yang dibutuhkan agar underpass tersebut bisa dikeringkan secepatnya.

Ketika mendengar keterangan dari Sekda DKI Jakarta lewat acara ILC minggu lalu bahwa underpass Senen dijamin akan bisa beroperasi dalam waktu 21 jam, kita akhirnya jadi tahu berapa kapasitas sebenarnya dari pompa underpass Senen itu.

Padahal penyedotan air dari underpass Senen itu sudah dibantu oleh pompa mobile tambahan, termasuk dari mobil Damkar (Pemadam Kebakaran)

Jadi masalah di underpass itu sebenarnya sangat sederhana, yakni "kapasitas pompa tidak sesuai dengan volume underpass!"

Nasib underpass yang paling tragis itu adalah underpass Kemayoran yang acap kali "berganti profesi" menjadi danau Kemayoran ketika terjadi hujan lebat.

"Mantan bandara" yang awalnya juga sebagai ruang terbuka hijau ini, sejak semula memang tidak di-desain untuk menjadi area pemukiman padat. Artinya, sejak perubahan peruntukan/fungsi dari bandara tadi, kawasan Kemayoran ini jelas menjadi rawan banjir.

"Asiknya" lagi, tidak ada seorang insinyiur pun yang tahu akan kemana air dari dalam underpass ini dibuang ketika terjadi hujan lebat yang pastinya kemudian akan menggenangi underpass tersebut.

Desain underpass Kemayoran ini memang mirip benar dengan desain "underpass Gurun Sahara" yang tidak pernah tersentuh hujan itu..."

Artinya underpass Kemayoran ini memang melawan "sunnatullah" karena perencananya hakul yakin kalau air dari jalan (tempat tinggi) pasti tidak akan turun ke lantai underpass (tempat rendah).

***

Curah hujan yang tinggi plus Jakarta itu selalu kebanjiran siapa pun gubernurnya adalah "jurus ngeles tingkat dewa" yang sering dipakai oleh orang-orang "lemah jiwa" yang ogah memakai nalarnya.

Dalam hal mengatasi banjir, masalah utama Jakarta saat ini adalah pompa (termasuk dalam hal ini adalah kapasitas/jumlah dan type dari pompa tersebut)

Jangan dulu cerita tentang Naturalisasi atau Normalisasi, karena hal itu masih sebatas retorika saja. Wong sampai sekarang lahannya saja belum dibebaskan!

Ilustrasi sederhananya begini.  Luas wilayah Jakarta itu adalah 661,5 km2. Lalu turun hujan dengan curah rata-rata 150 mm/hari. Artinya Jakarta ketiban air sebanyak 661.500.000 m2 x 0,15 m = 99.225.000 m3 atau setara dengan 9.922.500 truk tangki BBM isi 10.000 liter.

Kalau Ruang Terbuka Hijau Jakarta ada 10%, artinya 9.922.500 m3 air hujan tadi ngacir ke dalam tanah Jakarta, sedangkan sisanya sebanyak 89. 302.500 m3 akan menyerbu sungai dan kanal.

Air banjir yang tidak mendapat tempat pada sungai dan kanal mampet tersebut, lalu maen ke rumah warga. Awalnya singgah di ruang tamu. Tetapi akhirnya banjir tersebut malah menjarah daleman yang digantung di jemuran hingga ke celengan ayam yang sengaja diumpetin diatas plafon rumah!

Sesuai "sunnatullah," volume air yang mengalir dari hulu ke hilir itu dipengaruhi oleh dimensi dan kemiringan saluran.

Pemprov cq Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta tentunya punya data penampang/volume real (sesuai dengan kondisi sebenarnya) seluruh saluran termasuk situ/waduk yang ada.

Dengan demikian Dinas SDA DKI Jakarta bisa menghitung berapa volume air yang bisa melewati saluran-saluran tersebut dalam jangka waktu tertentu. Sisa air yang tidak bisa melewati saluran-saluran tersebut tentu saja harus dibuang lewat bantuan pompa (kecuali kalau mereka memang tega melihat warganya kelelep)

Volume air yang tersisa, dan "berapa lama waktu dan tinggi air yang diizinkan bagi warga untuk kelelep sementara" tentu menjadi rujukan untuk menghitung jumlah dan kapasitas pompa yang dibutuhkan.

Jadi kalau saya ditanya, "bisakah Jakarta bebas banjir?"

Saya akan jawab, "Bisa" pakai bingits! Beli saja pompa, dan sesuaikan dengan curah hujan maksimal!

Tapi kalau ditanya, "bisakah Tarutung bebas banjir?"

Saya akan mingkem, sebab Tarutung itu kere bila dibandingkan dengan Jakarta.

Jakarta itu kaya, banyak duit dan tentu saja tidak akan pusing kalau hanya untuk membeli pompa saja. Wong beli lem sama balpoin saja bisa sampai miliaran rupiah...?

Salam bebas banjir...

Reinhard Hutabarat

Referensi,
tribunnews.com
detik.com
kompasiana.com/chokky
kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun