Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"ETG" (E-tol Tanpa Gardu) Solusi Jitu Mengurangi Kemacetan!

31 Desember 2017   17:43 Diperbarui: 31 Desember 2017   17:51 1440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : globalradio.co.id

Pemakaian kartu e-tol pada seluruh ruas jalan tol diseluruh Indonesia sudah berlangsung dua bulan lebih namun kemacetan yang terjadi di pintu tol masih saja tetap terjadi. Kemacetan itu disebabkan oleh lamanya "prosesi" yang dimulai dengan perlambatan kenderaan menuju jalur gardu yang lalu diikuti prosedur "ngetap" pada pintu masuk dan keluar tol. Padahal tadinya e-tol diharapkan dapat mempersingkat waktu, terutama dalam proses pengembalian uang pada gardu tol tunai.

Ketika terjadi masalah pada kartu (kartu rusak atau saldo tidak mencukupi) maka antrian kenderaan di pintu masuk/keluar tol akan semakin parah. Kalau sudah begini, terpaksalah "si biang kerok tadi" harus meminjam kartu dari kenderaan yang ada dibelakangnya agar bisa lolos dari "hadangan" portal tol itu. Ini seharusnya menjadi perhatian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) 

Ketika terjadi masalah pada kartu di GTO, maka portal tol tidak akan terbuka. Akibatnya antrian kenderaan dibelakang pemilik kartu bermasalah tadi akan memanjang. Dalam hal ini konsumen pengguna jasa tol jelas dirugikan. Itulah sebabnya GTT (Gardu Tol Tunai) selain daripada GTO (Gardu Tol Otomatis) yang sudah baku sekarang ini, tetap diperlukan untuk mengantisipasi persoalan pada kartu yang bermasalah tadi. Atau setidaknya GTO berfungsi juga sebagai GTT.

Tetapi operator sepertinya tidak perduli akan kepentingan konsumen! Berkat GTO, penghematan biaya operasional dan pendapatan "in advance" sudah tersaji di depan mata! Bagi operator, penggunaaan tenaga kerja untuk petugas di gardu jelas bisa dihemat. Kalau ada seribu gardu dikali tiga shift, berarti tiga ribu petugas dikali gaji rata-rata Rp 60 juta per tahun, maka operator dapat menghemat gaji petugas gardu tol sebesar Rp 180 Milyar per tahun!!!

Kartu e-tol yang merupakan kartu prabayar ini sangat menguntungkan operator, karena sebelum dipergunakan konsumen harus membayar terlebih dahulu. Tentu saja sangat besar potensinya, "apa yang sudah dibayar itu belum tentu dipakai!" Misalnya saja kartu e-tol itu rusak, atau hilang tanpa pernah terpakai. Padahal sebelumnya konsumen hanya membayar atas jasa yang sudah dipakainya.

Bagi operator, GTT juga kerap menyimpan masalah. Mulai dari uang sobek, uang palsu hingga butuh ekstra tenaga untuk mengumpulkan, menghitung dan menyetor uang receh tersebut ke bank. Selain itu uang cash juga rawan dijarah oleh "orang dalam sendiri!"


Walaupun terkesan subjektif, konsumen juga terkadang mengeluhkan wajah petugas yang dianggap cemberut atau kurang ramah. Untunglah kini tidak ada yang menggodain GTO itu dengan berkata, ""Xon-cenya mannnna...? Sariawan ya, koq diem ajjjaaa...?"

***

Setelah seluruh tol di Indonesia memakai GTO, maka sudah selayaknya kita mengevaluasi kinerja e-tol ini. Bagi operator keuntungannya sudah jelas seperti pada uraian diatas. Lalu bagaimana bagi konsumen? Dalam situasi normal GTO memang lebih cepat dan menguntungkan bagi konsumen. Akan tetapi ketika jumlah kenderaan sangat banyak, dan terjadi masalah pada kartu, GTO malah menjadi biang kemacetan! Artinya konsumen tidak terlalu mendapat manfaat (dari segi waktu) dengan kartu e-tol ini.

Sumber persoalannya adalah, kartu e-toll ini butuh proses waktu untuk "prosesi" di GTO. Mulai dari proses menghentikan kenderaan untuk "ngetap" lalu melajukan kenderaan kembali. Dalam kondisi normal, dan tidak ada kenderaan di depan, setidaknya butuh waktu 10 detik untuk proses "Stop and Go" ini. Kalau ada beberapa kenderaan di depan, maka proses waktunya akan lebih lama lagi.

Artinya walaupun sudah automatized kartu e-toll ini bukanlah solusi terbaik untuk mengurangi kemacetan di GTO! Contohnya seperti pada tol Bandara. Pada saat keluar dari bandara dimana ada ratusan kenderaan yang akan memasuki tol secara bersamaan, GTO tidak terlalu memberikan penghematan waktu yang berarti bagi pengguna jalan tol tersebut!

Untuk itu dipakailah sistim "ETG" (E-tol Tanpa Gardu) memakai transponder OBU (On Board Unit) yang dipasang pada kenderaan. Atau bisa juga memakai "aplikasi online" pada ponsel konsumen yang sudah terintegrasi dengan komputer operator tol.

Cara kerjanya begini. OBU atau aplikasi pada ponsel sudah online dengan komputer operator yang terdapat pada pintu masuk/keluar tol. Sebelumnya tentu saja konsumen sudah memiliki voucher/e-tol atau rekening khusus untuk auto-debet biaya tol.

Ketika kenderaan hendak memasuki pintu masuk tol, maka komputer operator akan meminta verifikasi pada OBU yang terdapat pada kenderaan atau aplikasi pada ponsel konsumen. Ketika "yes" maka komputer akan mencatat data transaksi yang meliputi waktu dan lokasi pintu masuk. Ketika kenderaan kemudian keluar, maka komputer akan mencatat waktu, lokasi pintu keluar dan biaya tol yang secara otomatis dibebankan pada OBU/aplikasi ponsel.

Jadi dengan ETG ini, proses menghentikan kenderaan untuk "ngetap" lalu melajukan kenderaan kembali tidak perlu lagi. Ketika verifikasi sudah "yes," maka kenderaan tetap saja melaju seperti biasa. Alhasil kemacetan pada pintu masuk/keluar tol tidak akan terjadi lagi.

Lalu akan timbul dua pertanyaan besar. Yang pertama adalah, bagaimana kalau sekiranya konsumen tidak mau memakai OBU/aplikasi ponsel. Dalam hal ini memang operator tetap wajib harus menyediakan GTO/GTT. Kita ambil contoh, misalnya pada pintu masuk tol semula ada 8 unit GTT/GTO. Operator tetap menyediakan 2 unit GTT dan 2 unit GTO. Sisa 4 unit eks GTT bisa dipakai untuk 6 jalur kenderaan ETG untuk lewat sekaligus!

"Hidup adalah pilihan, dan Ada banyak jalan menuju Roma!" Jadi dengan demikian konsumen terwakili pilihannya untuk mempergunakan jalan tol. Apakah melalui GTT, GTO ataupun ETG...

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kalau ada sekiranya "konsumen nakal" masuk melalui ETG tanpa memiliki OBU/aplikasi ponsel! Tentu saja hal ini akan sangat mudah diketahui. Pintu masuk/keluar tol dilengkapi dengan CCTV dan sensor komputer. Kenderaan yang masuk tanpa verifikasi tentu saja akan mengaktifkan alarm "tanda rezeki nomplok!" CCTV otomatis akan mencatat nomor polisi kenderaan, gambar kenderaan, waktu kejadian dan "tekape"

Komputer akan segera menayangkan display "kenderaan nakal" yang terlihat jelas pada setiap pintu tol keluar setelah pintu tol "tekape" tadi. Jadi selain "kenderaan nakal" tadi, pengendara lain juga dapat melihat daftar "kenderaan nakal" yang melintasi jalan tol tersebut. Biaya denda yang wajar untuk setiap kenakalan tadi adalah 10X dari tarif tol yang berlaku. Jadi kalau misalnya tarif tol Rp 5.000 maka biaya yang harus dibayar adalah Rp 50.000! Itulah sebabnya disebut "mode rezeki nomplok, ON..."

Bagaimana misalnya kalau "kenderaan nakal" tadi tetap saja kabur tanpa membayar denda pada kantor operator tol. Kalau sudah begitu urusannya tentu saja harus kepada pihak yang berwajib. Foto kenderaan, nomor polisi, waktu dan tekape akan diserahkan kepada polisi. Pelanggaran serius seperti itu sama saja seperti makan nasi gulai ayam plus rendang ciek di rumah makan Padang, tetapi kemudian kabur lewat jendela kamar madi tanpa membayar sesenpun.....

   

Salam hangat

Reinhard Hutabarat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun