Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Penurunan Daya Beli dan Koreksi Pasar

2 Agustus 2017   11:22 Diperbarui: 3 Agustus 2017   12:22 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : rumahdijual.com

Kamis lalu, saya menonton acara CEO Forum pada Metro TV yang dibawakan oleh Profesor Rhenald Kasali, seorang Guru Besar dari Universitas Indonesia. Acara yang berlangsung hangat dan mencerahkan tersebut juga mengundang beberapa pengusaha properti sebagai nara sumber untuk menceritakan kondisi terkini dalam bisnis properti tanah air.

Esoknya Rhenald Kasali menyatakan tidak setuju dengan pandangan beberapa ekonom yang menyatakan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan turunnya daya beli masyarakat. Menurutnya yang terjadi adalah shifting dari ekonomi konvensional menjadi online. "Ada shifting dari kalangan menengah ke atas karena disruptive economy dari konvensional ke serba online. Perubahan ini bukan mengakibatkan tumbuhnya infrastruktur baru, tetapi pemerataan ekonomi masyarakat" (Kontan, Jumat 28/7)

Sungguh amat menarik pernyataan sang profesor ini, apalagi kalau menariknya ke sektor properti seperti yang baru saja dibahasnya pada malam sebelumnya. Di properti tidak pernah ada shifting karena yang terjadi adalah koreksi pasar terhadap penjualan artifisial pada produk properti tertentu! Artifisial maksudnya adalah penjualan semu tersebut (yang terjadi selama ini) tidaklah mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, dimana terjadi harmonisasi antara permintaan (kebutuhan konsumen) dengan penawaran.

Sangatlah "tidak sopan" membahas sektor properti kalau tidak "mengulitinya" dengan benar hingga ke intinya. Di kelas bawah, permintaan riil selalu jauh di atas penawaran. Tetapi developer apalagi developer kelas atas tidak akan tertarik bermain di sini karena keuntungannya terlalu tipis. Harga tanah yang semakin tinggi juga membuat developer kesulitan mendesain rumah murah, terkait dengan harga jual maksimal yang masih mampu dibeli konsumen kelas bawah.

Hebatnya lagi, walaupun berada pada strata terbawah, penjualan rumah murah ini hampir selalu memakai metode KPR bank yang merepotkan. Ini menyangkut "performance" calon debitur, terkait cicilan kartu kredit, motor/mobil, KTA, dan cicilan lainnya yang sering mengganggu proses KPR konsumen tersebut. Kalau proses KPR ini sampai deadlock, maka developer terpaksa harus mencari konsumen yang lain lagi! Dan satu lagi yang tidak diketahui orang banyak, proses KPR di bank untuk menjual 1 unit rumah sederhana berharga Rp 150 juta, sama saja dengan Proses KPR untuk menjual 1 unit rumah mewah berharga Rp 5 miliar!

Artinya pada sektor bawah ini, "hasrat konsumen tidak linier dengan performance-nya!" Di sektor atas, permintaan dan penawaran cenderung stabil karena para pemain (pembeli dan penjual) memang sudah "jelas orangnya!"

Pada sektor menengah (Landed house, apartemen dan ruko) yang sering "digoreng" oleh spekulan dan kini babak belur terkoreksi pasar, berapakah pasar sesungguhnya untuk sektor kelas menengah ini? Tidak ada yang tahu pasti! Tetapi saya pribadi menilai tidak akan sampai 30% dari pasar yang sesungguhnya. Bahkan pada ruko, kebutuhan yang sesungguhnya tidak akan sampai pada angka 20% dari suply yang ada! Pada ruko, walaupun tidak selalu, terkadang pasarnya memang sengaja diciptakan! Artinya ruko dibangun dulu baru dipasarkan (Untuk hal ini pemainnya memang khusus, karena dana pembangunan proyek tidak memakai dana perbankan, melainkan "Dana Khusus," kelak akan ditulis secara terpisah)

Konsep ini berbanding terbalik dengan apartemen, dimana yang dijual adalah "kertas!" (brosur) Beberapa developer menawarkan "pahe" (paket hemat) enam puluh kali bayar tanpa bunga dengan DP-rendah. Kalau beruntung, biasanya pada cicilan ke-37 konsumen sudah bisa melihat wujud apartemen yang sebenarnya. Disparitas harga pada apartemen ini akan selalu menarik para spekulan untuk bermain di sektor ini.

Misalnya ketika pertama kali di-launching, harga apartemen dengan luas bangunan 60 M2 tersebut adalah Rp 600 juta. Tiga tahun kemudian ketika apartemen tersebut diserahterimakan kepada konsumen, harganya mungkin sudah mencapai Rp 1 miliar. Dua tahun kemudian, ketika daerah tersebut berubah menjadi daerah premium, harga apartemen tersebut tak akan kurang dari Rp 2 miliar!

Pertanyaanya adalah, berapa persenkah konsumen yang benar-benar membutuhkan apartemen tersebut untuk dihuni? (membayar tunai/cicilan dulu selama, misalnya 3 tahun, baru dapat menghuninya) Ternyata memang hanya sedikit konsumen yang membutuhkan apartemen tersebut untuk dihuni dan sekaligus mampu membayarnya! Yang lebih banyak adalah spekulan dan investor yang mengharapkan gain dari kenaikan harga apartemen, justru pada saat apartemen tersebut belum selesai dibangun! Cilakanya sebagian dari spekulan tersebut adalah "orang dalam" yang juga adalah dari developer sendiri.

Developer yang greedy tersebut dengan rakusnya lalu membangun apartemen lagi di tempat lain atau bahkan di sebelah apartemen yang sudah dibangunnya, lalu "membeli sendiri" unit apartemen tersebut untuk mengharapkan gain! Dulu mereka menyebut gain ini windfall profit alias durian runtuh untuk "membohongi" dirinya sendiri! Akan tetapi, "ada gula ada semut" kini semua developer berlomba untuk membangun apartemen, bukan untuk menjualnya, tetapi untuk mengharapkan durian runtuh tadi. Dan akhirnya terjadilah over-supply pada unit apartemen yang sejenis, dan merekapun "benar-benar ketiban durian...."

Kondisi ini mirip-mirip dengan era krisis yang melanda "bank-bank keluarga" pada 1997 dulu. Ketika nasabah debitur adalah pemilik bank sendiri, maka bencana sudah menanti di depan mata! Akhirnya debitur merangkap bankir tersebut kabur ke luar negeri! Developer nakal sering menahan pembayaran untuk kontraktor dan suplier hanya karena untuk membayar cicilan KPR unit apartemen yang sedang dibangunnya sendiri. Akibatnya penyelesaian bangunan menjadi molor. Ketika gain yang diharapkan pada masa pembangunan tidak terjadi, maka cash-flow proyek pasti akan terganggu!

Di sektor menengah inilah (terutama ruko) yg membuat harga properti menjadi liar tidak terkendali, dan tidak masuk di akal! Sialnya para spekulan itu bermain di banyak tempat dengan memakai kredit perbankan dan "uang panas." Ketika terjadi perlambatan atau gejolak, maka bencana sudah mengintai yang kemudian akan mengkoreksi harga, lalu membawa efek bola salju yang akan menyeret industri bahan bangunan, kontraktor dan tentu saja industri perbankan.

Kredit macet properti yg paling besar memang tetaplah di sektor ruko! Ruko memang paling enak untuk "digoreng!" Biaya membangun ruko itu nyaris sama saja. Di properti harga tanah memang jadi pembeda. Akan tetapi komponen utama harga ruko itu adalah "faktor psikologis" Harga dua unit ruko yang terletak pada jalan yg sama bisa berbeda terkait faktor "fengshui." Sama seperti "garis tangan," fengshui justru sering diciptakan oleh "para suhu" suruhan developer...

Kini zaman sudah berubah, membuat orang semakin realistis. Sektor properti sekarang dalam ancaman karena di sektor menengah permintaan mulai "menyesuaikan diri" dengan kebutuhan yang sebenarnya! Kini ada puluhan ribu ruko kosong melompong. Sebagian dari ruko itu bahkan keburu "basi sebelum sempat digoreng" mangkrak terlantar tanpa jendela, karena kusennya digotong para tukang yang gajinya belum dibayar kontraktor yang sudah keburu "lari malam..." Dulu, sewa ruko menjadi andalan investor untuk menambal cicilan kredit. Kini, di tengah lesunya sektor retail, dikasih ruko gratis pun, pedagang belum tentu juga tertarik.

Ketika warga semakin selektif membelanjakan duitnya, lalu sewa 1 unit ruko itu mencapai Rp 150 juta/tahun, kira-kira dagang apa ya supaya bisa membayar gaji pegawai, sewa ruko, operasional ruko, trus biaya jalan-jalan ke Maldives...?

Salam hangat,

Reinhard Freddy Hutabarat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun