Pasan mandeh, usah takuik nak diombak gadang
Riak nan tanang oi nak kanduang, mambaok karam..
Pagi hari itu Pelabuhan Teluk bayur penuh sesak dengan Penghantar dan Penumpang yang hendak pergi ke Pelabuhan Tanjung-Priok, Jakarta. Malin Kundang telah bersiap-siap hendak menaiki kapal. Dia kemudian terdiam, lalu memeluk ibunya dan menangis. Ibunya segera mengusap-usap kepalanya lalu berkata, “Pergilah nak, carilah hidupmu, “Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang” jangan pulang kalau belum berhasil, tapi jangan lupakan ibu ya, doa ibu menyertaimu selalu”
Doa ibunya selalu menyertainya, membuat nasib baik selalu menyertai Malin Kundang. Hanya dalam sepuluh tahun dia sudah kaya raya! Ketika pertama kali datang ke Jakarta, dia menumpang tidur disebuah toko percetakan kecil, sambil membantu beres-beres di toko itu. Siang hari sampai malam dia bekerja di “Nasi kapau”
Malin Kundang anak yang baik, sehingga “tauke”nya sayang kepadanya. Karena takut dikejar “Pajak” Toko percetakan dan nasi kapau tersebut dibuat atas nama Malin Kundang.
Dua tahun kemudian, entah mengapa, mobil tauke percetakan tersebut bertabrakan dengan mobil tauke nasi kapau di Cipanas. Kedua tauke tersebut “berpamitan” pergi kealam fana. Toko percetakan dan nasi kapau tersebut menjadi milik Malin Kundang.
Doa ibu memang sangat mujarab! Tigo tahun sejak Malin Kundang mengelola nasi kapau tersebut, dia sudah mempunyai “sapuluah” gerai dan akan segera membuka “ampek” gerai lagi!
Demam pilkada, pileg dan “demam-demam” lainnya membuat percetakannya kebanjiran order spanduk, kartu-nama, kaos, poster dan lain-lain. Kini dia mempunyai sapuluah toko percetakan!
Dia teringat akan “Mandeh dikampuang nan jauah dimato” tapi dia merasa belum berhasil. Kalau tokonya sudah “saratuih” barulah dia merasa berhasil, dia akan pulang kampuang menjemput ibunya.
Waktu berlalu tanpa terasa. Siang itu Malin Kundang berada di Singapura, dan dia sedang memilih “setelan suite” yang pas baginya. Kelihatannya, Hugo Boss terlalu mainstream, jadi dia memilih Feragamo. Tak disangko tak didugo, dia berkenalan dengan seorang cewe cantik, putiah dan sexy sekali. Ondeh mandeh... rupanyo cewe tu orang awak jugo, pucuak dicinto ulom tibo! Malin Kundang segera menikahinya dan merekapun tinggal disebuah kondominium mewah di kawasan River-valley Singapura.
Ampek tahun tinggal di Singapura, datang kabar mengejutkan! Fahrizal, koki kepala nasi kapau memberitahukan kepada Malin Kundang bahwa ibunya telah meninggal setahun yang lalu.
Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un! Malin Kundang menangis, talambek sudoh salamonyo!
Malin Kundang “duduak tamanuang”, sudah tujuah baleh tahun dia tidak pulang kampung, ternyata perpisahan di Teluk bayur itu adalah perpisahan selamanya dengan ibunya. Sekarang dia menyesal karena tidak berkesempatan lagi menunjukkan kepada ibunya bahwa dia kini telah berhasil “menjadi orang”
Waktu berlalu, Malin Kundang sudah lupa akan ibunya. Kini dia sudah semakin kaya. Dia baru pulang berlibur dari Australia dengan keluarganya. Disana dia mencoba yacht yang bagus, dan dia kemudian membelinya untuk menggantikan kapal lama yang diparkirkannya di Marina.
Malin Kundang teringat akan kampuang halamannya. Dia akan pulang kampuang dengan yacht barunya, dia akan mengajak seluruh keluarganya kesana. Banyak sekali urang awak yang mendukung dia agar mau menjadi Gubernur Sumatera Barat, dan dia akan sekalian melihat-lihat dulu suasana disana.
Hari minggu yang cerah, yacht mewah itu baru saja berlabuh di pelabuhan Teluk bayur. Para penduduk berkerumun hendak melihat orang kaya yang juga balon Gubernur itu.
Malin Kundang merasa sedikit terganggu oleh “bau” penduduk itu. Dia juga masih merasa sakit hati karena dulu ketika dia masih miskin, orang-orang itu suka menghina dan mengusirnya. Seketika dia merasa tidak suka dan benci!
Dia ingin segera pergi dari situ, apalagi banyak ibu-ibu tua berusaha memeganginya karena terkagum-kagum kepadanya.
Tiba-tiba seorang ibu tua menyeruak dari kerumunan orang itu dan meraih tangannya, “Ya Allah, anakku Malin Kundang, ini ibu nak..”
“Hah, siapa kamu? Ibuku sudah lama mati!” kata Malin Kundang sambil mengibaskan tangan ibu tua itu. “Siapa dia sayang?” isteri Malin bertanya.
“Ini dia kalau orang kampung! Kalau lihat orang kaya suka ngaku-ngaku jadi ibulah, saudaralah!” kata Malin Kundang sambil mengajak isterinya pergi.
“Ya Allah, aku ibu yang melahirkanmu anakku! Dipantat kirimu ada tato mawar, dipantat kananmu ada tato duri! Aku tidak mungkin salah mengenalimu!” kata ibu itu lagi.
Isteri Malin Kundang terperanjat! Ternyata bukan cuma dia seorang yang “mengelus” tato itu, ada wanita lain, sudah tua pula! Lalu dia berkata kepada suaminya, “Darling, jangan-jangan betul dia ibumu?”
“Hah, tidak! Dia seorang penipu! Teriak Malin Kundang, lalu dia mendorong ibu tua itu sehingga terjatuh dan berteriak, “Pergi engkau nenek tua busuk penipu!”
Kemudian orang-orang itu mendorong ibu tua itu dan mengusirnya pergi.
Nenek tua itu kemudian pergi dengan hati yang pilu, lalu mengutuk Malin Kundang menjadi batu. Bukan batu bacan, tetapi batu beneran segede orang!
***
Diatas yacht tak jauh dari pantai, Malin Kundang termenung, “benar dia ibuku, kurang ajar si Fahrizal bilang ibuku sudah mati!”
Dia lalu bertelepon, “Tangkap si Fahrizal itu, jadikan dia rendang atau dendeng balado!” teriaknya dengan garang...
Tidak lama kemudian, terjadi badai yang hebat. Mesin kapal rusak dan terbakar. Kapten kapal sudah memindahkan semua penumpang ke-sekoci, mereka tinggal menunggu Malin Kundang. Malin Kundang tidak mau pergi dari kapal. Kapal itu belum di-asuransikan dan dia akan berusaha menyelamatkannya.
Akan tetapi badai semakin ganas dan menghempaskan kapal itu ke pantai. Malin Kundang terhempas, dan seketika berubah menjadi batu. Bukan batu bacan, tetapi batu beneran segede orang!
Reinhard Freddy
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI