Contoh kecil: Singapura sukses mengembangkan sistem pendidikan bukan karena sekadar coba-coba, tetapi karena para pemimpinnya rajin belajar dari berbagai literatur pendidikan dunia. Mereka membaca, berdiskusi, lalu mengadaptasi sesuai konteks lokal.
Sementara itu di Indonesia, banyak kebijakan lahir seolah seperti trial and error. Hari ini bikin aturan, besok dicabut. Hari ini janji, besok dilupakan. Kalau pejabatnya rajin membaca, mungkin pola "asal ide" semacam itu bisa berkurang.
Seandainya pejabat kita serius membangun budaya membaca, mungkin ruang rapat kementerian tidak hanya dipenuhi tumpukan map tebal, tapi juga rak buku yang hidup. Mungkin agenda kerja tidak hanya bicara tentang proyek dan anggaran, tapi juga diskusi buku setiap bulan.
Kedengarannya utopis, memang. Tapi bukankah bangsa ini butuh pemimpin yang punya imajinasi utopis?
Karena pada akhirnya, tanpa buku, pejabat hanya akan sibuk bergaya. Dengan buku, pejabat punya dasar untuk benar-benar bekerja.
Jadi, masihkah kita bisa berharap pada kebijakan publik yang berkualitas jika pejabatnya sendiri jarang membaca buku? Saya masih ingin optimis. Tetapi optimisme itu harus ditopang oleh perubahan nyata: dari gaya hidup pamer barang mewah, menuju kebiasaan sederhana yang jauh lebih berharga membaca buku.
Nah, giliran saya bertanya balik ke Anda, para Kompasianer: kalau boleh memilih, buku apa yang paling wajib dibaca pejabat kita? Buku tentang kepemimpinan biar tidak asal gaya, tentang komunikasi biar tidak asal bunyi, atau tentang kebijakan publik biar tidak asal ide?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI