Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pejabat dan Buku

26 September 2025   15:42 Diperbarui: 26 September 2025   15:59 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seberapa dekat pejabat kita dengan buku? | www.tirto.id

Pernahkah Anda melihat pejabat kita pamer buku di media sosial? Rasanya jarang sekali. Yang lebih sering justru pamer mobil, jam tangan, atau jalan-jalan ke luar negeri. Pertanyaan nakal pun muncul: seberapa dekat sebenarnya pejabat kita dengan buku?

Ironis memang. Padahal dari buku lahir gagasan besar yang bisa mengubah arah bangsa. Dari buku lahir strategi, visi, dan inspirasi. Tetapi, kalau kita lihat gaya sebagian pejabat hari ini, seakan-akan buku hanya benda mati yang disimpan di rak kantor agar ruangan terlihat sedikit intelek.

Mari kita tarik ke akar persoalan. Membaca bukan hanya soal hobi, melainkan fondasi cara berpikir. Pejabat yang terbiasa membaca akan lebih kritis, mampu melihat persoalan dengan jernih, dan tidak terjebak pada solusi instan. Sebaliknya, pejabat yang minim literasi cenderung melahirkan kebijakan reaktif, dangkal, dan jangka pendek.

Ambil contoh sederhana: saat ada harga pangan naik, respons pejabat seringkali hanya "gelontorkan bantuan". Begitu harga turun, ya sudah, dilupakan lagi. Tidak ada analisis mendalam, tidak ada perencanaan sistematis. Padahal kalau mau serius membaca entah buku tentang ekonomi pangan, sejarah pertanian, atau laporan riset mutakhir pasti ada strategi lebih berkelanjutan.

The Economist pernah menulis artikel menarik berjudul "Is the decline of reading making politics dumber?" Mereka menganalisis pidato para presiden Amerika dari masa George Washington hingga Donald Trump. Hasilnya mengejutkan: semakin ke sini, pidato semakin sederhana, dangkal, dan miskin kosakata. Artinya, menurunnya tradisi membaca berbanding lurus dengan menurunnya kualitas politik.

Kalau hal itu terjadi di negara dengan tradisi literasi sekuat Amerika, apalagi di negeri kita yang membaca saja masih dianggap "barang mewah"?

Yang lebih menyedihkan, minimnya bacaan di ruang pejabat memberi contoh buruk bagi masyarakat. Bagaimana publik bisa cinta membaca kalau pemimpinnya sendiri tak pernah tampak dekat dengan buku?

Bayangkan jika seorang bupati mengunggah foto sedang membaca The Innovator's Dilemma lalu mengaitkannya dengan strategi pembangunan daerah. Atau seorang menteri mengutip gagasan dari Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman untuk menjelaskan kenapa kebijakan harus mempertimbangkan bias psikologis masyarakat. Efek domino-nya luar biasa: masyarakat jadi penasaran, lalu ikut membaca.

Namun yang kita lihat hari ini, jangankan mengutip buku, banyak pejabat bahkan menganggap membaca sebagai aktivitas "tidak produktif". Padahal justru dari bacaan lahir kebijakan yang matang.

Kebijakan publik yang berkualitas lahir dari pertemuan tiga hal: pengalaman, riset, dan bacaan. Kalau hanya mengandalkan pengalaman, pejabat bisa jatuh pada bias pribadi. Kalau hanya mengandalkan riset, ia bisa terlalu kaku. Tapi kalau didukung bacaan, gagasan bisa diperkaya, diperluas, dan dihubungkan dengan pengalaman negara lain.

Contoh kecil: Singapura sukses mengembangkan sistem pendidikan bukan karena sekadar coba-coba, tetapi karena para pemimpinnya rajin belajar dari berbagai literatur pendidikan dunia. Mereka membaca, berdiskusi, lalu mengadaptasi sesuai konteks lokal.

Sementara itu di Indonesia, banyak kebijakan lahir seolah seperti trial and error. Hari ini bikin aturan, besok dicabut. Hari ini janji, besok dilupakan. Kalau pejabatnya rajin membaca, mungkin pola "asal ide" semacam itu bisa berkurang.

Seandainya pejabat kita serius membangun budaya membaca, mungkin ruang rapat kementerian tidak hanya dipenuhi tumpukan map tebal, tapi juga rak buku yang hidup. Mungkin agenda kerja tidak hanya bicara tentang proyek dan anggaran, tapi juga diskusi buku setiap bulan.

Kedengarannya utopis, memang. Tapi bukankah bangsa ini butuh pemimpin yang punya imajinasi utopis?

Karena pada akhirnya, tanpa buku, pejabat hanya akan sibuk bergaya. Dengan buku, pejabat punya dasar untuk benar-benar bekerja.

Jadi, masihkah kita bisa berharap pada kebijakan publik yang berkualitas jika pejabatnya sendiri jarang membaca buku? Saya masih ingin optimis. Tetapi optimisme itu harus ditopang oleh perubahan nyata: dari gaya hidup pamer barang mewah, menuju kebiasaan sederhana yang jauh lebih berharga membaca buku.

Nah, giliran saya bertanya balik ke Anda, para Kompasianer: kalau boleh memilih, buku apa yang paling wajib dibaca pejabat kita? Buku tentang kepemimpinan biar tidak asal gaya, tentang komunikasi biar tidak asal bunyi, atau tentang kebijakan publik biar tidak asal ide?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun