Memang, "kecocokan" kadang baru bisa diuji dalam enam bulan atau setahun ke depan. Tapi tanda-tanda awal biasanya sudah tampak dari gaya komunikasi, prioritas kebijakan, dan keberanian menghadapi masalah klasik.
Perubahan yang Terasa dan Kentara
Reshuffle seharusnya memberi efek kejut. Publik menunggu perubahan yang bisa dilihat dan dirasakan, bukan sekadar dirilis dalam konferensi pers. Perubahan kentara bisa berupa percepatan layanan publik, birokrasi yang lebih sederhana, atau kebijakan yang langsung menyentuh dapur rakyat.
Namun, seringkali publik justru merasakan perubahan di level simbolik saja---misalnya gaya pidato menteri baru atau jargon yang segar, tapi di lapangan tidak banyak berbeda. Di sinilah tantangan kabinet baru: membuktikan bahwa reshuffle bukan hanya soal wajah, tapi soal kerja nyata.
Harapan kepada Menteri Baru
Sebagai rakyat, kita tentu ingin menteri baru belajar dari pendahulunya. Tidak semua yang lama buruk, dan tidak semua yang baru pasti baik. Ada kebijakan bagus dari menteri lama yang perlu dilanjutkan, ada pula kesalahan yang harus diperbaiki.
Misalnya, jika menteri pendahulu dianggap terlalu lamban dalam merespons krisis, maka yang baru harus lebih gesit. Jika sebelumnya kebijakan terlalu elitis, maka yang baru harus lebih membumi. Kalau yang lama sibuk pencitraan, maka yang baru sebaiknya fokus eksekusi.
Harapan lainnya, tentu saja, transparansi dan akuntabilitas. Menteri baru seharusnya paham bahwa era media sosial membuat mereka tidak bisa bersembunyi. Setiap keputusan akan diawasi, dikritik, bahkan diparodikan. Maka cara terbaik adalah dengan jujur pada publik: akui tantangan, jelaskan strategi, dan jangan berlebihan berjanji.
Pelajaran dari Reshuffle
Reshuffle selalu memberi kita pelajaran politik: bahwa kekuasaan bersifat dinamis, tidak ada yang benar-benar permanen. Bagi para menteri, kursi yang mereka duduki hanyalah amanah, bukan hak milik. Bagi rakyat, reshuffle mengingatkan kita untuk tidak cepat puas dengan perubahan kosmetik, tapi terus menagih kinerja konkret.
Bagi menteri baru, pelajaran utamanya adalah pentingnya kontinuitas dan konsistensi. Jangan sibuk membongkar semua kebijakan pendahulu hanya demi tampil beda. Jangan pula mengulang kesalahan lama dengan jargon baru. Publik tidak butuh drama, yang dibutuhkan adalah stabilitas dengan inovasi.