Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pertanian Holistik dan Terintegrasi: Kunci Ketahanan Pangan di Masa Depan

19 Agustus 2025   11:07 Diperbarui: 19 Agustus 2025   11:07 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinau Bareng Pertanian bersama Dekan Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta| dok.pri.

Kemarin, (18/8/2025) Penulis selaku Ketua BUMA PC GP Ansor Bojonegoro berkesempatan mengikuti sinau bareng pertanian bersama rombongan Pengurus PCNU Bojonegoro dan PC GP Ansor Bojonegoro yang di fasilitasi oleh Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan GIGA Show Yogyakarta, berikut catatan singkat yang dapat kami ceritakan.

Bayangkan sebuah desa di mana sawah, kebun, kolam ikan, peternakan, hingga biogas saling terhubung seperti satu ekosistem hidup. Limbah ternak tidak terbuang, tapi jadi pupuk organik. Jerami padi tidak dibakar, tapi dipakai untuk pakan sapi. Air dari kolam ikan dipakai menyuburkan tanaman, sementara dedaunan dari kebun kembali jadi pakan ikan. Semuanya menyatu, saling menghidupi, saling menopang. Inilah yang disebut pertanian holistik dan terintegrasi---sebuah konsep lama yang kini makin relevan sebagai kunci ketahanan pangan masa depan.

Dari Pangan ke Ketahanan Pangan

Indonesia sering disebut negeri agraris. Sayangnya, fakta di lapangan kadang bikin kita geleng-geleng kepala. Produksi pangan memang besar, tapi distribusinya kacau. Petani panen raya, harga anjlok. Di sisi lain, masyarakat kota harus bayar mahal untuk bahan makanan.

Ketahanan pangan bukan sekadar soal tersedianya beras atau jagung, tapi bagaimana sistem pertanian bisa menjamin akses, keterjangkauan, keberlanjutan, dan kualitas gizi. Nah, pertanian holistik dan terintegrasi hadir sebagai jawaban: bukan hanya menanam, tapi mengelola seluruh ekosistem pangan dengan cara yang cerdas.

Holistik: Melihat Pertanian sebagai Ekosistem

Pertanian holistik berarti memandang pertanian bukan sekadar "menanam padi dan memanen gabah", melainkan melihat keseluruhan sistem: tanah, air, udara, manusia, pasar, hingga lingkungan sosial. Dalam pendekatan ini, tanah dianggap organisme hidup yang harus dijaga kesuburannya, bukan sekadar media tanam yang bisa dieksploitasi.

Contohnya, praktik agroekologi yang menggabungkan tanaman, ternak, dan hutan kecil (agroforestri) bukan hanya menghasilkan pangan, tapi juga menjaga iklim mikro, mengurangi erosi, dan memperbaiki kualitas tanah. Jadi, petani bukan hanya "produsen pangan", tapi juga "penjaga ekosistem".

Sinau Bareng Dekan Fakultas Pertanian UGM Ir. Jaka Widada | dok.pri.
Sinau Bareng Dekan Fakultas Pertanian UGM Ir. Jaka Widada | dok.pri.

Terintegrasi: Menghubungkan Sumber Daya

Kata kuncinya adalah integrasi. Dalam pertanian terintegrasi, satu komoditas tidak berdiri sendiri. Padi terhubung dengan sapi, sapi terhubung dengan biogas, biogas menghasilkan energi untuk rumah tangga, sementara limbahnya kembali ke sawah. Inilah prinsip circular economy dalam dunia pertanian.

Model ini sebenarnya bukan barang baru. Di banyak desa Jawa dulu, ada konsep tani ternak. Sawah menghasilkan jerami untuk sapi, kotoran sapi jadi pupuk kandang, lalu pupuk itu menyuburkan padi kembali. Namun, dengan sentuhan teknologi, model lama ini bisa ditingkatkan: limbah sapi diolah menjadi biogas, pupuk organik dikombinasikan dengan biofertilizer, dan semua hasil pertanian bisa dipasarkan lewat aplikasi digital.

Kunci Ketahanan Pangan

Mengapa pertanian holistik dan terintegrasi disebut kunci ketahanan pangan? Ada beberapa alasan:

  1. Diversifikasi Produksi
    Dengan sistem terintegrasi, petani tidak hanya bergantung pada satu komoditas. Jika harga beras turun, ada sapi atau ikan yang bisa dijual. Jika panen gagal, kebun sayur masih menyelamatkan dapur. Diversifikasi ini membuat pangan lebih terjamin.

  2. Efisiensi Sumber Daya
    Air, tanah, dan energi digunakan berulang kali dalam satu ekosistem. Limbah jadi input, bukan beban. Akhirnya biaya produksi turun, produktivitas naik.

  3. Ramah Lingkungan
    Pertanian yang terlalu bergantung pada pupuk kimia dan pestisida telah terbukti merusak tanah dan air. Sistem holistik dan organik justru memperbaiki kualitas tanah, menjaga keanekaragaman hayati, dan mengurangi emisi karbon.

  4. Kemandirian Petani
    Petani tidak lagi sekadar "tukang tanam" yang nasibnya ditentukan harga pasar global. Dengan sistem terintegrasi, mereka punya kendali lebih besar atas siklus produksi, konsumsi, hingga distribusi.

  5. Ketahanan Sosial
    Ketahanan pangan sejatinya juga ketahanan sosial. Desa yang mandiri pangan lebih kuat menghadapi krisis---entah pandemi, inflasi, atau konflik global.

Teknologi dan Digitalisasi

Tentu saja, pertanian holistik masa kini tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Bayangkan sensor tanah yang memberi tahu kapan pupuk organik harus ditambah. Atau aplikasi mobile yang menghubungkan petani dengan konsumen kota tanpa perantara. Bahkan konsep blockchain bisa dipakai untuk menjamin transparansi rantai pasok pangan: beras dari sawah siapa, diolah di mana, dijual ke siapa---semua jelas.

Digitalisasi ini juga bisa memperkuat koperasi tani modern. Alih-alih menjual gabah ke tengkulak, petani bisa mengelola gudang penyimpanan bersama, menjual lewat platform daring, bahkan mengatur harga secara kolektif.

Sinau Bareng Pertanian bersama PCNU Sleman Yogyakarta, Magelang dan Klaten | dok.pri.
Sinau Bareng Pertanian bersama PCNU Sleman Yogyakarta, Magelang dan Klaten | dok.pri.

Regenerasi Petani

Tantangan besar kita adalah regenerasi petani. Usia petani Indonesia makin menua, sementara anak muda lebih suka merantau ke kota. Pertanian holistik dan terintegrasi bisa jadi daya tarik baru. Kalau bertani tak lagi sekadar mencangkul, tapi juga mengelola aplikasi, merancang sistem hidroponik, atau mengatur distribusi lewat startup, siapa bilang jadi petani tidak keren?

Bahkan, peluang bisnis terbuka luas: agrowisata, produk organik premium, hingga ekspor sayuran tropis ke negara-negara yang lahannya terbatas. Petani muda bisa jadi agropreneur, bukan sekadar buruh tani.

Penutup

Ketahanan pangan tidak lahir dari slogan, tapi dari sistem yang nyata: bagaimana tanah, air, ternak, tanaman, energi, dan manusia bisa saling menopang. Pertanian holistik dan terintegrasi adalah kunci yang menyatukan semua itu.

Mungkin terdengar idealis, tapi bukankah masa depan memang harus direncanakan dengan idealisme? Kalau tidak, kita hanya akan jadi penonton di negeri sendiri, bergantung pada impor pangan, dan mudah rapuh menghadapi krisis global.

Sudah saatnya kita beralih dari pola "bertani sendiri-sendiri" ke pola "bertani bersama dalam ekosistem". Karena sejatinya, ketahanan pangan bukan hanya soal perut kenyang hari ini, tapi soal keberlanjutan hidup generasi yang akan datang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun