Di tengah riuhnya perbincangan soal degradasi moral generasi muda, ada satu kata kunci yang sering luput kita bicarakan: cinta. Cinta di sini bukan sekadar urusan hati ala drama Korea, melainkan sebuah nilai fundamental yang, jika ditanamkan sejak dini, mampu melahirkan generasi yang berkarakter kuat, berjiwa nasionalis, sekaligus berakhlak mulia. Nah, inilah yang menjadi roh dari Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang bisa diimplementasikan secara holistik oleh Kementerian Agama melalui madrasah --- mulai dari RA, MI, MTs, hingga MA.
Mengapa Harus "Berbasis Cinta"?
Kalau kita telaah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebenarnya sudah memberi mandat jelas bahwa pendidikan harus mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, sekaligus berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Nah, KBC adalah pendekatan yang memadukan mandat tersebut dengan nilai-nilai kasih sayang, empati, dan kepedulian sebagai fondasi utama.
Psikolog pendidikan seperti Nel Noddings (1984) menekankan pentingnya ethic of care dalam proses belajar mengajar. Siswa yang dibimbing dengan rasa peduli dan cinta akan lebih mudah menyerap nilai moral, memiliki rasa hormat kepada guru, dan termotivasi untuk berkontribusi pada masyarakat. Artinya, cinta bukan hanya perasaan, tetapi strategi pendidikan yang efektif.
Madrasah: Rumah Kedua yang Istimewa
Keunggulan madrasah dibanding sekolah umum adalah posisinya yang mengintegrasikan ilmu umum dengan pendidikan agama. Dari RA (Raudhatul Athfal) hingga MA (Madrasah Aliyah), madrasah punya ruang luas untuk menanamkan karakter kebangsaan yang berlandaskan cinta. Bayangkan, anak-anak di RA bisa belajar salam, senyum, dan sapa; siswa MI terbiasa membaca doa untuk bangsa; santri MTs diajak diskusi sejarah pahlawan nasional; dan siswa MA dilatih berdialog tentang toleransi antarumat beragama. Semua ini bisa dibungkus dengan pendekatan KBC.
Kurikulum berbasis cinta di madrasah tidak hanya mengajarkan hafalan, tetapi mengasah rasa memiliki terhadap tanah air dan kemanusiaan. Kalau di RA cinta ditanamkan lewat permainan berbagi, di MI lewat cerita tokoh, di MTs lewat proyek sosial, dan di MA lewat kajian kritis, maka nilai itu akan mengakar sepanjang hidup.
Implementasi Holistik: Dari Kelas Hingga Kegiatan Lapangan
Pendekatan holistik berarti KBC harus hidup di semua aspek pendidikan, bukan hanya di ruang kelas. Berikut beberapa implementasi yang bisa dijalankan Kementerian Agama melalui madrasah:
Integrasi dalam Mata Pelajaran
Pelajaran PPKn, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Indonesia, bahkan Matematika, bisa diwarnai dengan nilai cinta tanah air. Misalnya, soal matematika bisa dikaitkan dengan data produksi padi di daerah sendiri, atau teks Bahasa Indonesia mengangkat kisah persatuan di tengah perbedaan.Kegiatan Ekstrakurikuler yang Menghidupkan Cinta
Pramuka, Palang Merah Remaja, seni hadrah, hingga klub literasi bisa diarahkan untuk menginternalisasi nilai kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas. Misalnya, kegiatan bakti sosial bukan sekadar seremonial, tapi dirancang agar siswa benar-benar berinteraksi dan mendengar cerita warga.Pembiasaan Harian
Mulai dari mengibarkan bendera setiap pagi, mengucapkan salam kepada semua guru tanpa pandang bulu, hingga membiasakan "terima kasih" dan "tolong" dalam setiap interaksi.Kolaborasi dengan Orang Tua dan Masyarakat
Cinta yang diajarkan di sekolah harus nyambung dengan rumah. Kementerian Agama bisa mendorong madrasah membuat parenting class bertema kebangsaan dan toleransi, agar nilai yang sama hidup di rumah dan masyarakat.
Cinta Sebagai Penangkal Radikalisme dan Individualisme
Salah satu tantangan pendidikan saat ini adalah dua kutub ekstrem: radikalisme yang memusuhi perbedaan, dan individualisme yang abai pada kebersamaan. KBC berpotensi menjadi "vaksin" untuk keduanya.
Dengan menanamkan cinta, siswa akan memahami bahwa mencintai bangsa berarti menjaga keberagaman, memelihara persatuan, dan menghindari sikap merugikan orang lain. Seorang siswa madrasah yang paham ini tidak akan mudah terprovokasi ajakan yang memecah belah.
Data dari UNESCO Global Citizenship Education juga menunjukkan, pendidikan yang menekankan empati dan tanggung jawab sosial terbukti efektif meningkatkan partisipasi warga muda dalam kegiatan positif di masyarakat. KBC adalah bentuk lokal dari gagasan global ini, dengan cita rasa khas madrasah.
Bukan Cuma Slogan
Tentu, tantangan terbesarnya adalah memastikan KBC tidak hanya jadi jargon di spanduk. Guru harus dilatih untuk menghidupkan nilai cinta dalam metode mengajar, bukan sekadar menyuruh hafalan atau memberi ceramah. Evaluasi juga perlu menilai aspek sikap dan perilaku, bukan hanya nilai ujian. Misalnya, siswa yang membantu teman tanpa diminta, atau yang mau memimpin doa dengan penuh hormat, perlu diapresiasi setara dengan nilai akademiknya.
Kementerian Agama bisa membuat modul panduan KBC untuk tiap jenjang, sehingga implementasinya terstruktur. Di RA, fokusnya pada cinta diri, keluarga, dan lingkungan terdekat. Di MI, cinta diperluas pada sekolah dan desa. Di MTs, masuk ke sejarah bangsa dan toleransi antarbudaya. Di MA, diperkuat dengan diskusi kebijakan publik dan kontribusi nyata di masyarakat.
Penutup
Kalau kita mau jujur, krisis karakter kebangsaan tidak bisa diselesaikan dengan kurikulum yang hanya mengejar angka ujian. Kita butuh kurikulum yang menumbuhkan hati dan pikiran sekaligus. KBC di madrasah adalah salah satu jalan strategis. Cinta yang ditanamkan sejak RA hingga MA akan tumbuh menjadi rasa hormat, empati, dan tanggung jawab yang kokoh.
Pada akhirnya, pendidikan berbasis cinta bukan sekadar membuat siswa pintar dan baik, tapi juga membuat mereka mau dan mampu menjaga Indonesia dengan hati. Sebab, seperti kata Buya Hamka, cinta adalah kekuatan yang membuat kita rela berkorban demi sesuatu yang kita anggap mulia. Dan di madrasah, "sesuatu" itu adalah iman, ilmu, dan tanah air.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI