Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ganjaran dan Hukuman: Antara Motivasi dan Manipulasi

15 Juli 2025   19:44 Diperbarui: 15 Juli 2025   19:44 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menerapkan kembali reward dan punishment dalam pendidikan kita | www.guruinovatif.id

Pada suatu siang di ruang guru, seorang teman guru mengeluh, "Anak-anak sekarang tuh nggak mempan lagi dikasih hukuman. Dikasih tugas tambahan malah senang, disuruh berdiri malah jadi ajang pamer." Semua tertawa, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara: apakah sistem reward dan punishment (ganjaran dan hukuman) yang kita terapkan selama ini masih relevan?

Mari kita ajak pikiran kita jalan-jalan sejenak ke era B.F. Skinner, seorang tokoh besar dalam dunia psikologi perilaku. Skinner memperkenalkan konsep operant conditioning---cara belajar melalui konsekuensi, yakni reward (penguatan) dan punishment (hukuman). Menurut Skinner, jika suatu perilaku diberi reinforcement (penguatan positif seperti pujian, hadiah), maka kemungkinan besar perilaku itu akan terulang. Sebaliknya, jika diberi punishment, maka perilaku tersebut akan berkurang atau bahkan hilang.

Konsep ini dahulu sangat populer di ruang-ruang kelas. Anak yang rajin diberi bintang emas, anak yang ribut diminta berdiri di luar kelas. Sederhana. Tapi apakah sesederhana itu dalam praktik hari ini?

Dari Hadiah ke Ketergantungan

Kritik terhadap sistem reward sudah cukup lama bergema. Alfie Kohn, seorang pakar pendidikan progresif, menulis dalam bukunya Punished by Rewards (1993) bahwa memberi hadiah secara terus-menerus bisa membuat anak-anak tidak belajar karena nilai dari sebuah tindakan, tapi karena mengincar hadiahnya. Ini seperti murid yang hanya mau belajar kalau dijanjikan es krim.

Masalahnya, anak bisa kehilangan motivasi intrinsik---semangat dari dalam diri untuk belajar dan berkembang. Akhirnya, ketika reward berhenti, semangat itu ikut lenyap. Mirip seperti tanaman yang tumbuh bukan karena akar yang kuat, tapi karena pupuk kimia. Cepat besar, tapi rapuh.

Lalu bagaimana dengan punishment?

Hukuman yang Bikin Makin Bandel

Skinner sendiri sebenarnya tidak terlalu menganjurkan hukuman sebagai cara utama mengubah perilaku. Ia menekankan bahwa penguatan positif lebih efektif dan lebih tahan lama. Hukuman, kata Skinner, hanya membuat perilaku hilang sementara, tapi tidak membentuk perilaku baru yang diinginkan.

Bayangkan seorang guru yang marah karena murid menyontek. Ia menghukum si murid dengan berdiri di depan kelas. Apakah si murid akan belajar jujur? Bisa jadi tidak. Bisa jadi ia malah belajar menyembunyikan contekan lebih pintar lain kali. Hukuman tidak membentuk nilai, hanya menimbulkan rasa takut atau malu.

Jean Piaget dan Lev Vygotsky, dua raksasa teori perkembangan anak, juga mengingatkan bahwa anak-anak belajar dari interaksi sosial, bukan hanya dari hukuman dan hadiah. Vygotsky bahkan menyebut pentingnya scaffolding---bimbingan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Ini artinya, anak perlu didampingi, bukan dijatuhi hukuman semata.

Reward dan Punishment dalam Pendidikan Hari Ini

Kita hidup di zaman digital, zaman ketika anak-anak tidak hanya belajar dari guru di kelas, tapi juga dari YouTube, TikTok, dan dunia maya lain yang kadang lebih menarik dari papan tulis dan spidol. Maka, pendekatan satu arah seperti reward dan punishment klasik menjadi kurang efektif jika tidak dikontekstualisasikan.

Alih-alih hanya memberi reward, para pendidik seperti Carol Dweck menganjurkan untuk menanamkan growth mindset---bahwa usaha itu penting, kegagalan adalah bagian dari belajar, dan kemampuan bisa berkembang. Di sinilah reward bisa diformulasikan ulang: bukan untuk hasil, tapi untuk proses.

Misalnya, bukan "Wah, kamu dapat nilai 100, hebat!" tapi "Keren ya, kamu sudah usaha belajar dan konsisten, itu luar biasa." Reward semacam ini tidak membunuh motivasi, justru menyuburkannya.

Sementara itu, punishment juga harus dikaji ulang. Dalam pendekatan restoratif (restorative justice) yang kini mulai banyak diterapkan di sekolah, pelanggaran tidak langsung ditanggapi dengan hukuman, tapi dengan dialog. Anak yang melanggar aturan diajak memahami dampak perbuatannya terhadap orang lain, lalu didorong untuk memperbaiki. Hukuman diganti dengan tanggung jawab.

Mengembalikan, Bukan Mengulang

Jadi, apakah kita harus membuang konsep reward dan punishment? Tidak juga. Tapi kita perlu mengembalikan esensinya, bukan mengulang bentuk lamanya. Mengembalikan artinya memahami kembali maksud aslinya: membentuk perilaku yang baik, bukan sekadar mengatur agar kelas tertib.

Reward tidak harus berupa stiker, cokelat, atau nilai sempurna. Bisa jadi bentuknya adalah kepercayaan yang diberikan, tanggung jawab yang lebih besar, atau sekadar pengakuan bahwa anak sudah berkembang. Sementara punishment bukan tentang menakut-nakuti, tapi tentang menumbuhkan kesadaran dan empati.

Menutup Catatan dengan Pertanyaan

Di era sekarang, ketika anak-anak menghadapi dunia yang jauh lebih kompleks dari generasi sebelumnya, tugas kita bukan hanya membuat mereka patuh, tapi membantu mereka tumbuh dengan nilai dan pemahaman. Maka, kita perlu berpikir ulang: Apakah sistem reward dan punishment yang kita terapkan masih membuat anak belajar, atau justru menjadikan mereka aktor yang hanya main peran demi tepuk tangan?

Kalau jawabannya yang kedua, maka mungkin sudah saatnya kita ganti naskahnya. Bukan karena naskah lama salah, tapi karena panggung kehidupan anak-anak hari ini menuntut pendekatan yang lebih segar, lebih sadar, dan lebih mendidik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun