Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wiwit: Menjaga Tradisi, Merawat Syukur

30 Juni 2025   08:25 Diperbarui: 30 Juni 2025   08:32 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Wiwit Menjelang Panen Padi | www.rri.co.id

Di sebuah pagi cerah di pelosok desa Jawa, suara gamelan kecil terdengar dari sudut sawah. Sejumlah orang---anak-anak, petani, ibu-ibu berselendang batik---berkumpul di tepi pematang, membawa tumpeng mini, hasil bumi, dan sesajen sederhana. Bukan pesta besar-besaran, bukan pula perayaan yang mengundang selebritas. Mereka sedang melaksanakan wiwit, tradisi tua nan sarat makna untuk menyambut panen padi. Tradisi ini sederhana, tapi mengandung falsafah hidup yang dalam: syukur, harmoni, dan penghormatan terhadap alam.

Apa Itu Wiwit?

Secara etimologis, "wiwit" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "memulai". Dalam konteks pertanian, wiwit adalah ritual yang menandai dimulainya panen padi. Masyarakat Jawa melakukannya dengan membawa aneka makanan seperti nasi tumpeng kecil, urap, tempe, ayam panggang, dan jajanan pasar. Semua itu disusun rapi dalam wadah dari daun pisang atau tampah, lalu diletakkan di sawah, diiringi doa dan harapan agar panen berjalan lancar dan membawa berkah.

Tradisi wiwit ini biasanya dilaksanakan pada pagi hari menjelang para petani mulai menuai padi. Tidak mewah, tapi khidmat. Kadang disertai kidung Jawa atau doa Islam ala desa, yang mencerminkan akulturasi budaya lokal dan religiusitas masyarakat.

Wiwit, Antara Sakralitas dan Sosialitas

Wiwit bukan sekadar ritual, ia adalah simbol keterhubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta. Dalam studi antropologi pertanian, seperti dicatat oleh Koentjaraningrat, tradisi seperti wiwit mencerminkan pola pikir masyarakat agraris yang hidup dalam siklus musim, bergantung pada tanah dan langit. Ketika padi menguning, bukan hanya hasil kerja keras yang dipanen, tapi juga kemurahan alam yang telah memberi kehidupan.

Di sisi lain, wiwit juga menjadi media penguat ikatan sosial. Ketika para tetangga datang membawa makanan dan berkumpul di sawah, ada semacam silaturahmi spiritual yang terbangun. Mereka berbagi makanan, cerita, dan doa. Anak-anak belajar menghargai kerja petani, mengenal rasa syukur, dan memaknai pangan bukan hanya sebagai barang konsumsi, tapi hasil dari proses panjang penuh nilai.

Tradisi yang Mulai Tergerus

Namun sayang, seiring berjalannya waktu, tradisi wiwit mulai ditinggalkan. Di banyak desa, terutama yang dekat dengan kota atau akses digital, generasi muda lebih sibuk dengan ponsel dan media sosial ketimbang ikut ke sawah. Mereka mengenal padi dari bungkus nasi kotak, bukan dari batangnya yang bergoyang ditiup angin.

Modernisasi pertanian juga membuat proses panen menjadi lebih cepat dan mekanis. Traktor menggantikan sabit, dan sistem borongan menggantikan kerja gotong royong. Efisiensi memang penting, tapi nilai-nilai kultural ikut hilang jika tak dilestarikan. Wiwit menjadi "kenangan", bukan praktik hidup.

Menjaga Tradisi, Merawat Jati Diri

Lalu, apa pentingnya mempertahankan wiwit?

Pertama, wiwit adalah warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) yang mencerminkan kearifan lokal. UNESCO telah menekankan pentingnya pelestarian budaya semacam ini karena ia membentuk identitas dan keberlanjutan komunitas. Dalam konteks Indonesia, budaya agraris adalah nadi utama peradaban sejak masa kerajaan Hindu-Buddha hingga zaman kemerdekaan. Mempertahankan wiwit berarti menjaga denyut sejarah itu tetap hidup.

Kedua, wiwit mengajarkan etika ekologis. Ia mengingatkan manusia untuk tidak serakah terhadap alam, untuk selalu bersyukur dan menjaga keseimbangan. Ketika kita menghormati padi sebagai simbol kehidupan, kita belajar bahwa alam bukan objek eksploitasi, tapi mitra hidup. Dalam era krisis iklim dan kerusakan ekologi, semangat wiwit menjadi sangat relevan.

Ketiga, wiwit memperkuat komunitas. Tradisi ini tidak bisa dilaksanakan sendiri-sendiri. Ia menuntut kebersamaan, gotong royong, dan rasa saling peduli. Nilai-nilai sosial ini menjadi modal penting dalam menghadapi disintegrasi sosial yang makin marak karena individualisme digital.

Adaptasi Bukan Berarti Meninggalkan

Tentu kita tak bisa menolak perubahan. Dunia terus bergerak. Namun, bukan berarti tradisi harus dikubur. Justru tradisi seperti wiwit bisa diadaptasi agar tetap relevan. Misalnya, wiwit bisa dijadikan momen edukatif bagi anak-anak sekolah tentang pentingnya pertanian dan budaya lokal. Atau digabung dengan gerakan pertanian organik, wisata edukasi desa, bahkan konten kreatif yang membumikan nilai-nilai budaya lewat media sosial.

Bayangkan, alih-alih konten prank atau challenge tak bermakna, anak-anak muda memviralkan #WiwitChallenge---merekam proses wiwit di desa masing-masing, mengenalkan pangan lokal, dan berbagi pesan syukur. Tradisi pun menjadi bagian dari masa depan, bukan hanya masa lalu.

Penutup: Menyambut Panen dengan Syukur

Wiwit adalah cermin dari masyarakat yang tidak hanya bekerja untuk hidup, tapi hidup dengan kesadaran penuh akan siklus alam dan karunia Ilahi. Ia adalah simbol kecil dari falsafah besar: hidup harus dimulai dengan rasa syukur, dihiasi kebersamaan, dan ditutup dengan keberkahan.

Di tengah gemuruh zaman yang serba cepat dan praktis, menjaga wiwit adalah upaya sederhana tapi penting. Bukan sekadar mempertahankan budaya, tapi juga menanamkan nilai yang lebih dalam: bahwa hidup yang baik adalah hidup yang tahu cara berterima kasih---kepada tanah, kepada sesama, dan kepada Yang Maha Memberi.

Maka, saat padi menguning di cakrawala, mari kembali ke pematang. Bukan hanya untuk memanen, tapi untuk merayakan---dalam tradisi, dalam syukur, dalam wiwit.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun