Menjaga Tradisi, Merawat Jati Diri
Lalu, apa pentingnya mempertahankan wiwit?
Pertama, wiwit adalah warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) yang mencerminkan kearifan lokal. UNESCO telah menekankan pentingnya pelestarian budaya semacam ini karena ia membentuk identitas dan keberlanjutan komunitas. Dalam konteks Indonesia, budaya agraris adalah nadi utama peradaban sejak masa kerajaan Hindu-Buddha hingga zaman kemerdekaan. Mempertahankan wiwit berarti menjaga denyut sejarah itu tetap hidup.
Kedua, wiwit mengajarkan etika ekologis. Ia mengingatkan manusia untuk tidak serakah terhadap alam, untuk selalu bersyukur dan menjaga keseimbangan. Ketika kita menghormati padi sebagai simbol kehidupan, kita belajar bahwa alam bukan objek eksploitasi, tapi mitra hidup. Dalam era krisis iklim dan kerusakan ekologi, semangat wiwit menjadi sangat relevan.
Ketiga, wiwit memperkuat komunitas. Tradisi ini tidak bisa dilaksanakan sendiri-sendiri. Ia menuntut kebersamaan, gotong royong, dan rasa saling peduli. Nilai-nilai sosial ini menjadi modal penting dalam menghadapi disintegrasi sosial yang makin marak karena individualisme digital.
Adaptasi Bukan Berarti Meninggalkan
Tentu kita tak bisa menolak perubahan. Dunia terus bergerak. Namun, bukan berarti tradisi harus dikubur. Justru tradisi seperti wiwit bisa diadaptasi agar tetap relevan. Misalnya, wiwit bisa dijadikan momen edukatif bagi anak-anak sekolah tentang pentingnya pertanian dan budaya lokal. Atau digabung dengan gerakan pertanian organik, wisata edukasi desa, bahkan konten kreatif yang membumikan nilai-nilai budaya lewat media sosial.
Bayangkan, alih-alih konten prank atau challenge tak bermakna, anak-anak muda memviralkan #WiwitChallenge---merekam proses wiwit di desa masing-masing, mengenalkan pangan lokal, dan berbagi pesan syukur. Tradisi pun menjadi bagian dari masa depan, bukan hanya masa lalu.
Penutup: Menyambut Panen dengan Syukur
Wiwit adalah cermin dari masyarakat yang tidak hanya bekerja untuk hidup, tapi hidup dengan kesadaran penuh akan siklus alam dan karunia Ilahi. Ia adalah simbol kecil dari falsafah besar: hidup harus dimulai dengan rasa syukur, dihiasi kebersamaan, dan ditutup dengan keberkahan.
Di tengah gemuruh zaman yang serba cepat dan praktis, menjaga wiwit adalah upaya sederhana tapi penting. Bukan sekadar mempertahankan budaya, tapi juga menanamkan nilai yang lebih dalam: bahwa hidup yang baik adalah hidup yang tahu cara berterima kasih---kepada tanah, kepada sesama, dan kepada Yang Maha Memberi.