Di sebuah hutan yang asri, Si Kancil berlari-lari kecil menuju tepi sungai. Hari itu, ia ingin mengumumkan sesuatu yang luar biasa kepada teman-temannya.
“Hai semua! Aku memutuskan untuk ikut puasa tahun ini!” seru Kancil penuh semangat.
Kura-kura yang sedang berjemur mengangkat kepalanya malas. “Wah, berita besar. Kancil puasa? Kamu yakin?”
“Tentu saja! Aku ingin belajar menahan diri, bukan cuma dari makan dan minum, tapi juga dari perbuatan buruk.”
Kelinci terkekeh sambil menggoyang-goyangkan telinganya. “Hmm, kalau soal lapar dan haus, aku masih percaya. Tapi soal menahan diri dari perbuatan buruk? Jangan-jangan nanti kamu tetap ngakal-ngakalin kami!”
Kancil menepuk dada. “Hei! Aku ingin berubah! Aku ingin jadi teladan kejujuran!”
Teman-temannya hanya tersenyum, setengah percaya, setengah ragu.
Hari pertama puasa, Kancil memulai dengan semangat. Ia menahan lapar, haus, dan—yang paling sulit—godaan untuk berbuat curang.
Siang itu, ia berjalan melewati gudang makanan yang dijaga oleh Si Beruang. Gudang itu penuh dengan buah-buahan segar hasil panen hutan. Sebuah apel ranum tergeletak di depan pintu.
“Wah, kalau cuma satu apel… tidak akan ada yang sadar, kan?” gumam Kancil. Ia hampir mengulurkan tangan, tapi kemudian berhenti. “Eh, tidak! Aku harus jujur!”