Beruang tampak gelagapan. “Eh… siapa bilang?”
“Aku melihatnya sendiri. Beruang, ini bulan suci. Kita semua belajar menahan diri, bukan cuma dari makan, tapi juga dari perbuatan buruk. Kalau kau menerima suap, bagaimana hutan ini bisa adil?”
Beruang terdiam. Ia menunduk, merasa malu. “Aku… aku khilaf, Cil. Aku hanya berpikir, toh mereka memberi sesuatu untukku juga.”
“Tapi itu tidak adil! Bagaimana dengan teman-teman lain yang juga butuh, tapi tidak bisa menyuap?”
Beruang menarik napas dalam-dalam. Ia menatap Kancil dengan sungguh-sungguh. “Kau benar, Cil. Aku akan berhenti menerima suap dan membagikan makanan secara adil.”
Kancil tersenyum puas. Ia merasa puasanya kali ini lebih bermakna, bukan hanya menahan lapar, tapi juga menahan diri dari godaan untuk diam melihat ketidakjujuran.
Sore itu, ketika azan magrib berkumandang dari desa di seberang hutan, Kancil berbuka dengan hati yang lebih ringan.
Kura-kura tersenyum padanya. “Bagaimana puasamu, Cil?”
Kancil mengunyah potongan semangka dan tersenyum. “Susah, Kur. Tapi aku belajar satu hal hari ini. Puasa bukan cuma soal menahan lapar, tapi juga menahan diri dari perbuatan curang. Dan aku akan terus berusaha!”
Teman-temannya bersorak, bangga pada Si Kancil.
Dan sejak hari itu, Kancil tidak hanya terkenal sebagai si cerdik, tapi juga si pemberani yang berani menegakkan kejujuran.