Ia pun berjalan pergi dengan bangga.
Namun, tak jauh dari situ, ia melihat Si Rubah dan Si Babi Hutan membawa sekeranjang buah dari gudang.
“Eh, kalian dapat dari mana itu?” tanya Kancil curiga.
Si Rubah menyeringai. “Dapat jatah dari Beruang, dong.”
“Tapi kenapa aku nggak pernah lihat Beruang kasih jatah ke siapa-siapa?”
Si Babi Hutan tertawa pelan. “Ya… kadang kalau kita kasih ‘sedikit hadiah’ buat penjaganya, kita bisa dapat lebih banyak. Namanya juga rezeki, Cil.”
Mata Kancil membelalak. “Lho! Itu namanya suap!”
Si Rubah hanya mengangkat bahu. “Ah, kamu ini polos sekali, Cil. Di mana-mana, kalau mau gampang, ya kasih pelicin dikit. Kalau nggak, susah dapet bagian.”
Kancil merasa marah. Ia teringat niatnya untuk berubah, dan sekarang ia menyadari bahwa bukan cuma menahan lapar yang penting, tapi juga menahan diri dari ketidakjujuran yang merajalela di sekitarnya.
Maka, dengan langkah tegap, ia pergi menemui Si Beruang.
“Beruang, aku mau bertanya. Benarkah kau menerima ‘hadiah’ dari Rubah dan Babi Hutan supaya mereka dapat jatah lebih banyak?”