Beberapa waktu lalu, media sosial kembali diramaikan dengan tagar unik: #KaburAjaDulu. Bukan sekadar tren asal-asalan, tagar ini mencerminkan luapan perasaan masyarakat yang sudah mulai jenuh, marah, dan frustrasi terhadap kebijakan pemerintah yang kerap tidak berpihak pada rakyat. Dalam cuitan-cuitan netizen, #KaburAjaDulu menjadi semacam respons satir atas kondisi yang semakin sulit: harga kebutuhan pokok meroket, layanan publik carut-marut, dan kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan segelintir elite ketimbang rakyat biasa.
Ketika Harapan Berubah Menjadi Keputusasaan
Tagar ini, jika ditelusuri lebih dalam, bukan sekadar lelucon atau keisengan belaka. Ia muncul dari sebuah keputusasaan yang perlahan berubah menjadi bentuk perlawanan digital. Awalnya, #KaburAjaDulu banyak digunakan oleh anak muda yang merasa masa depan di negeri ini semakin tidak menentu. Kesulitan mencari pekerjaan, upah yang stagnan, pajak yang mencekik, hingga kebijakan kontroversial yang lebih berpihak pada investor asing dibanding rakyat sendiri, menjadi pemicu munculnya tagar ini.
Fenomena ini mengingatkan kita pada ungkapan "escape mentality"---suatu keadaan di mana individu merasa tidak punya pilihan selain meninggalkan tempatnya karena ketidakmampuan lingkungan dalam memberikan kehidupan yang lebih baik. Dalam konteks ini, lingkungan yang dimaksud adalah negara sendiri.
Pemerintah: Tidak Peka atau Memang Tidak Peduli?
Munculnya #KaburAjaDulu menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Ironisnya, bukannya berbenah, beberapa pihak justru merespons dengan sikap yang terkesan menganggap remeh. Ada yang menyindir bahwa generasi muda terlalu manja, ada pula yang mengatakan bahwa ini hanyalah tren sesaat. Padahal, kalau ditilik lebih jauh, tagar ini adalah simbol dari persoalan yang lebih dalam: ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Kepercayaan publik adalah modal utama dalam mengelola sebuah negara. Namun, ketika kebijakan yang dibuat lebih sering berpihak pada kepentingan pengusaha besar, sementara rakyat harus berjuang sendiri, wajar jika masyarakat mulai mempertanyakan keberpihakan pemerintah. Ketika bahan bakar naik dengan dalih "subsidi membebani APBN," tetapi di saat yang sama pemerintah menggelontorkan dana besar untuk proyek mercusuar yang tidak jelas urgensinya, bagaimana rakyat tidak merasa dikhianati?
Dari Keluhan Menjadi Gerakan
Satu hal yang menarik dari fenomena tagar ini adalah bagaimana media sosial menjadi ruang alternatif bagi rakyat untuk bersuara. Jika dahulu kritik hanya bisa disampaikan melalui aksi demonstrasi di jalanan, kini internet telah membuka ruang bagi diskusi yang lebih luas dan lebih cepat viral.
#KaburAjaDulu adalah bagian dari bentuk kritik, tetapi jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan berubah menjadi aksi nyata. Sejarah sudah menunjukkan bahwa gerakan sosial sering kali berawal dari keluhan kecil yang kemudian membesar. Arab Spring, misalnya, dimulai dari ketidakpuasan rakyat yang kemudian membesar menjadi revolusi.