Mohon tunggu...
Luthfi Hakim
Luthfi Hakim Mohon Tunggu... Pengajar Pesantren -

Belajar di Labuda dan Bilanida

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Diskotik Sufi; Nafsu dalam Bertuhan

30 Januari 2012   08:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:17 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Khotib datang malam ini ke rumahku dengan setelan andalannya, jeans plus kaos oblong putih dipadu rambut gondrong. Bedanya, kini mencangklek tas kecil mirip tukang kredit yang hobi mondar-mandir menagih orang.

"Gimana, Kawan?" sapanya saat masuk slonong boy karena memang ia sudah teu asa-asa dirumah ini, bagai rumahnya sendiri.

"Apanya yang gimana?" aku balik tanya sambil menutup buku Psikologi Sufi yang sedang kubaca.

"Ya, keadaanmu tentunya," timpal ia sambil duduk disampingku mengusap-usap pundak.

Aku diam sejenak sebelum berucap jujur, "aku ingin jadi orang baik, Tib."

"Semua orang ingin begitu, Kawan."


"Ya, tapi rasanya dosa-dosaku terlalu banyak."

"Ssst," ia mengambil buku psikologi sufi yang tadi kubaca, "kamu sudah khatam baca buku ini?"

Aku menggeleng.

"Sebaiknya jangan dulu mendalami ini."

Dahiku mengernyit. Aneh, bukankah buku ini yang ia berikan padaku saat mula aku bisa ia seret dari kubangan hitam.

"Bukan tidak boleh. Tapi sesuaikan dulu dengan keadaanmu."

"Maksudmu apa, Tib?"

"Kamu pelajari dulu tentang akidah, mengenal Tuhanmu secara benar. Kepada siapa kita beribadah harus jelas dan terarah alias betul-betul paham tentang ketauhidan. Kemudian belajar pula tata cara ibadah-ibadah lahiriyyah. Tata cara bersuci dari hadats kecil, hadats besar, tata cara shalat san sebagainya, alias belajar fikih. Kemudian setelah itu baru kamu mendalami dunia ini," ujarnya sambil mengangkat buku yang tadi diambilnya, "dunia sufi, dunia hati," lanjutnya.

"Memangnya bahaya jika aku langsung mendalami ini?" tanyaku pelan.

"Tidak bahaya sebetulnya jika cuma sekedar membaca," ia nyumet rokoknya sebelum melanjutkan, "Jika mendalami ini langsung tanpa pendalaman tauhid dan fikih, maka itulah cerminan nafsu dalam belajar, nafsu dalam bertuhan."

Aku diam.

"Kamu ingin jadi baik bukan?"

"Ya," aku mengangguk.

"Kamu tahu orang baik itu seperti apa? Bagaimana?"

Aku tak menjawab meski ada yang ingin kuungkapkan sebagai jawaban. Takut salah.

"Kalau kita mengaku islam, bahkan diluar islam pun mengakui, bahwa orang terbaik adalah Nabi kita Muhammad. Maka, orang baik adalah orang yang segalanya bercermin kepada beliau."

Aku diam berusaha mencerna.

"Tapi dalam arti yang luas," lanjutnya.

"Maksudmu?"

"Sudahlah, nanti saja," ia menghisap rokoknya dalam-dalam lalu melanjutkan, "mencontoh Nabi untuk saat sekarang jelas tidak mungkin sebab beliau telah tiada. Tapi beliau meninggalkan warisan, quran dan sunnah. Jika mampu mengupasnya maka kita boleh mengambil segala hukum dan hikmah darinya. Jika tidak mampu, dan kita memang tidak mampu, maka kewajiban kita adalah belajar pada mereka yang telah mampu mengupasnya. Ulama zaman kuno telah sangat berjasa atas ini. Mereka menguraikan hukum hikmah dari quran dan sunnah dalam kitab-kitab mereka. Lalu turun temurun, dari generasi ke generasi hingga tiba ke ulama-ulama zaman kita."

"Jadi?"

"Untuk mencontoh nabi, teladanilah ulama yang betul-betul pewaris para nabi."

Aku diam merayapi malam.

"Jadi orang baik ternyata sama rumitnya dengan jadi orang buruk," keluhku.

"Tidak rumit," Khotib menimpal, "jadi orang baik itu murah meriah, mau belajar agama, mengamalkannya dengan tulus, itu saja."

Kami saling diam sebelum ia mengeluarkan buku dari tas cangkleknya.

"Ini yang harus kamu baca agar tidak bertuhan dengan nafsu," ujarnya sambil menyerahkan bukunya, "tapi jangan dulu dibaca," lanjutnya, "kita keluar dulu."

"Kemana?"

"Disko dulu atuh, dugem sampai pagi."

Aku tak bisa mengelak apalagi menolak.

Dan, irama Laa ilaaha illallah pun menyambut kami saat tiba di Diskotik Sufi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun