A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi digital telah secara drastis mengubah cara manusia berinteraksi, mengekspresikan diri, dan membangun relasi sosial. Media sosial seperti TikTok, Instagram, X (sebelumnya Twitter), dan YouTube kini menjadi ruang publik yang sangat personal, bahkan intim. Di balik gemerlap kehidupan yang ditampilkan, kita juga menyaksikan kemunculan fenomena anxiety culture, yaitu budaya berbagi kecemasan, tekanan batin, trauma, dan pengalaman psikologis lainnya secara terbuka di ruang digital. Dalam konteks ini, media sosial tidak lagi sekadar sarana komunikasi, tetapi telah menjadi panggung bagi ekspresi emosional yang mendalam.
Fenomena ini berkembang bersamaan dengan meningkatnya kesadaran kolektif mengenai pentingnya kesehatan mental. Apa yang dahulu dianggap tabu kini menjadi percakapan sehari-hari. Ruang yang dulunya sunyi kini riuh dengan suara-suara yang mengungkapkan luka batin, kecemasan akan masa depan, pengalaman ditinggalkan, hingga trauma masa kecil. Di satu sisi, keterbukaan ini bisa menjadi bentuk kemajuan sosial: kita menjadi lebih terbuka, peduli, dan mampu memahami penderitaan orang lain. Namun, di sisi lain, ekspresi emosional ini terkadang berubah menjadi praktik over-sharing yang di mana individu secara berlebihan membagikan aspek paling pribadi dari kehidupannya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi diri sendiri maupun orang lain.
Praktik over-sharing ini sering kali disertai dengan kemasan naratif yang kuat: video menangis, musik latar yang sedih, dan caption panjang yang mengisahkan luka terdalam. Tidak jarang konten semacam ini menjadi viral dan dikonsumsi layaknya hiburan. Ada pula yang membangun persona digital sebagai "penyintas trauma" dan secara reguler mengunggah konten terkait pengalaman pahitnya. Dalam masyarakat yang digerakkan oleh algoritma, semakin emosional suatu konten, semakin tinggi pula peluangnya untuk mendapatkan atensi dan validasi.
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah ekspresi ini benar-benar lahir dari kejujuran? Ataukah sudah menjadi bagian dari budaya performatif yang menjadikan trauma sebagai komoditas digital? Apakah media sosial memang menjadi tempat yang sehat untuk menyembuhkan luka, atau justru memperpanjang penderitaan dengan menjadikannya konsumsi publik?
Artikel ini berupaya memahami fenomena anxiety culture dan over-sharing dari perspektif sosiologis, psikologis, dan kependidikan, dengan harapan dapat merumuskan pendekatan yang kritis, empatik, dan solutif.
B. Analisis Sosiologis
1. Anxiety Culture dan Masyarakat Risiko
Ulrich Beck dalam bukunya Risk Society menyebut bahwa masyarakat modern dibentuk oleh risiko-risiko yang diciptakan manusia sendiri, seperti perubahan iklim, ancaman teknologi, krisis ekonomi, dan instabilitas sosial. Dalam situasi seperti itu, kecemasan menjadi pengalaman kolektif. Generasi muda tumbuh dalam ketidakpastian: masa depan tidak bisa diprediksi, pekerjaan tidak menjamin keamanan, dan perubahan terlalu cepat untuk dikendalikan. Dalam masyarakat seperti ini, ekspresi kecemasan bukanlah kelemahan, tetapi reaksi logis terhadap realitas.
Anxiety culture muncul sebagai upaya untuk mencari makna dan solidaritas dalam dunia yang membingungkan. Media sosial menjadi tempat untuk mengekspresikan kekhawatiran yang tidak bisa disampaikan di ruang-ruang formal. Dalam banyak kasus, ekspresi ini justru membentuk komunitas dukungan, semacam solidaritas virtual yang dapat memperkuat ketahanan individu.
Namun, masalah muncul ketika kecemasan dijadikan identitas. Ketika seseorang merasa hanya bisa diterima jika ia memiliki "cerita sedih" yang cukup kuat, maka ekspresi emosional berubah menjadi performa. Kecemasan bukan lagi gejala, tetapi tiket masuk ke dalam komunitas yang juga sedang mengalami hal serupa.