Sebagai landasan berpikir dalam mencermati PBI (Penerima Bantuan Iuran) JKN, bagi orang miskin, tidak mampu dan penderita cacat total tetap, kita merujuk ke Konstitusi Pasal 34 ayat 1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.(3) Negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 34 ayat 1,2,3 ini harus terus diingat betul bagi setiap penyelenggara negara dalam membuat kebijakan untuk kepentingan publik.  Pasal 34 itu  bersifat mandatori yang harus dikerjakan negara melalui pemerintah yang ditetapkan negara.
Untuk implementasinya, maka ayat (4) dari Pasal 34 itu, ada perintah Konstitusi untuk diatur dengan undang-undang. Pada tahun 2004, lahirlah Undang-Undang yang mengatur tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( UU Nomor 40 Tahun 2004), yang salah satu  dari substansinya adalah memberikan bantuan iuran JKN bagi mereka orang miskin,tidak mampu dan penyandang cacat total tetap.
Pasal 14 dalam UU SJSN, ada 3 ayat yang terkait yakni: (1) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. (2) Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Disamping itu, terkait perintah Pasal 34 ayat (1) dan (4), maka pada tahun 2011, lahirlah UU Tentang Penanganan Fakir Miskin  ( UU 13 Tahun 2011). Dalam UU FM tersebut, di Ketentuan Umum disebutkan.
UU Nomor 13 Tahun 2011 adalah Undang-Undang tentang Penanganan Fakir Miskin. Undang-undang ini mengatur upaya pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menangani kemiskinan melalui kebijakan, program, dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin.
Pada Pasal 1 ayat 6, ditegaskan Menteri yang dimaksud sebagai pejabat negara  yang diamanahkan adalah  menteri  yang  menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial, alias Mensos.
Dengan rujukan UU 13/2011, maka Pemerintah menetapkan Kemensos sebagai pihak/lembaga yang diberikan tanggungjawab dan wewenang untuk penyusunan Peraturan Pemerintah tentang PBI JKN sebagaimana diamanatkan pada Pasal 14 ayat (3).
Dalam PP tersebut, Kemensos dan sektor terkait, serta Bupati dan Walikota, duduk bersama terkait data PBI, bagaimana verifikasi dan validasinya. Mekanisme pelaporan dan up dating data secara berjenjang dan periode tertentu, dengan melibatkan semua lembaga sosial masyarakat, perangkat desa, pekerja sosial, relawan sosial, dengan sentranya pada unit penyelenggara pemerintah terkecil dusun, desa, kelurahan, kecamatan, Dinas Sosial Kab/Kota, dieksekusi oleh Bupati/Walikota dan diteruskan ke Gubernur dan Kementerian Sosial. dalam UU 13/2011, sudah menguraikan tahapan-tahapan itu yang didetailkan dengan PP dan Keputusan Menteri Sosial.
Dengan mandat PP dan diimplementasikan dengan Peraturan Mensos, maka sejak Mensos Risma telah mengeluarkan 5 juta PBI menjadi non aktif ( non eligible) beberapa tahun lalu yang membuat heboh masyarakat.
Mensos Gus Ipul meneruskan kebijakan Mensos Risma dengan menggunakan DTKS, dilanjutkan dengan menggunakan DTSEN, dimana semua DTKS dimigrasikan kedalam DTSEN (Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional). Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 80 Tahun 2025 serta Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang DTSEN. Kepmensos inilah mengeliminasi 7,39 juta PBI dari total 96,4 juta PBI.