Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Rapid Test Covid-19 dan Potensi Moral Hazard

9 Juli 2020   22:58 Diperbarui: 9 Juli 2020   22:58 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kita bicara soal Rapid Test Covid-19 yang dilaksanakan secara masif, dan cakupannya diperbesar. Dari hasil Rapid Test ini menjadi pintu masuk dilanjutkannya pemeriksaan spesimen Covid-19.  Presiden Joko Widodo menargetkan pihak Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 harus bisa menguji sebanyak 20.000 spesimen per hari dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

Untuk kepentingan penanganan Covid-19,  termasuk Rapid Test dan PCR, pemerintah menggelontorkan dana sekitar Rp. 75 triliun lebih. Sayangnya, Kemenkes sebagai sektor yang bertanggung jawab mengelola APBN sektor kesehatan itu, hanya merealisasikannya 1,56%.

Akibatnya sudah sama kita ketahui Presiden marah besar, pada Rapat Kabinet 18 Juni 2020 yang lalu, tetapi videonya baru diedarkan 10 hari kemudian.

Pertanyaannya adalah begitu gencarnya Rapid Test yang dilakukan oleh Gugas Covid-19 Pusat dan Daerah, serta pihak-pihak lainnya, dengan cakupan sudah ratusan ribu yang melakukan Rapid Test, dari mana uangnya?. Realisasi APBN 2020 hanya 1,56% untuk semua jenis pelayanan kesehatan wabah Covid-19. Betapa kecilnya jika dihitung khusus untuk keperluan Rapid Test.

Pada awalnya memang Tim Gugas Covid-19 Pusat dengan Pemda melaksanakan gerakan massal mencari cluster penduduk tertentu untuk dilakukan Rapid Test tanpa kita dengar adanya kutipan biaya. Bahkan ada kelompok masyarakat yang enggan untuk Rapid Test karena diterpa isu  yang menyesatkan.

Tujuan utama Rapid Test adalah untuk deteksi dini kasus covid-19 sehingga pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan yang tepat untuk mencegah penyebaran virus.

Perlu diketahui Rapid Test  hanya untuk orang berisiko, yaitu yang pernah berkontak erat dengan orang sakit Covid-19 atau pernah berada di negara/wilayah yang dengan penularan lokal dan memiliki gejala seperti demam atau gangguan sistem pernapasan (pilek/sakit tenggorokan/batuk).

Jadi, tak perlu Rapid Test  jika kita  sehat dan tak pernah kontak orang sakit Covid-19 atau berada di negara/ wilayah dengan penularan lokal covid19.

Yang mengikuti tes ada 3 kategori, yaitu OTG (Orang Tanpa Gejala), ODP (Orang Dalam Pemantauan) dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan). Petugas Kesehatan yang menentukan statusnya.  Jadi intinya ditujukan kepada orang atau komunitas yang berpotensi resiko  terinfeksi covid-19 dengan 3 kategori dan indikasi medis tertentu.

OTG (Orang Tanpa Gejala) -- yaitu mereka yang tidak menunjukkan gejala tetapi pernah melakukan kontak erat dengan orang positif COVID-19.

Sedangkan ODP (Orang Dalam Pemantauan)  adalah:

  • Orang demam (38oC), riwayat demam atau pilek/ sakit tenggorokan/ batuk; dan
  • dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala pernah berada di negara/wilayah dengan penularan lokal atau melakukan kontak erat dengan orang sakit covid-19 (terkonfirmasi ataupun probabel).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun