Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Asabri Jebol, Ini Dampaknya bagi BPJS Ketenagakerjaan

16 Januari 2020   02:38 Diperbarui: 16 Januari 2020   17:45 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. sumber: kompas.com

Masyarakat terkejut ketika Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa Asabri ada potensi kerugian sebesar Rp 10 triliun. Suatu angka yang tidak sedikit. Mahfud prihatin karena itu uang jaminan sosial untuk prajurit. Tentu beliau geram dengan kejadian tersebut, dan memanggil Menteri Keuangan dan Menteri BUMN untuk membahasnya.

Nasib Asabri mirip dengan Jiwasraya, membeli saham gorengan, lantas nilai saham anjelok. Akibatnya, Asabri kesulitan liquiditas untuk membayar klaim asuransi jiwa yang sudah jatuh tempo.

Kasus Asabri menjadi sensitif, karena umumnya yang jadi korban para prajurit, polisi dan pensiunan yang umumnya secara ekonomi hidupnya pas-pasan.

Ada perbedaan perlakuan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan antara Taspen dengan Asabri. Kalau kepada Taspen, terkesan memberikan proteksi yang luar biasa dan sangat kental "mengatur" Manajemen Taspen. Bahkan, Taspen lebih bersifat *channeling* dalam melakukan pelayanan kepada peserta Taspen yang semuanya ASN.

Sedangkan Asabri, sejak awal, Kemenkeu tidak begitu terlibat, dan memberikan mendelegasian penuh kepada Kemenhan untuk mengaturnya secara manajemen.

Walaupun kedua BUMN tersebut, di bawah Menteri BUMN, juga kita mencermati Menteri BUMN tidk begitu tertarik "mengontrol" Asabri dan Taspen.

Awalnya asuransi sosial bagi TNI dan Polri serta PNS Dephan/Polri menjadi peserta Taspen (Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri) yang didirikan pada tanggal 17 April 1963 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963.

Namun dalam perjalanannya, keikutsertaan prajurit TNI dan anggota Polri dalam Taspen mempengaruhi penyelenggaraan Program Taspen dengan beberapa sebab antara lain:

1) Adanya perbedaan Batas Usia Pensiun (BUP) bagi prajurit TNI, anggota Polri yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1966 Pasal 1 dengan PNS yang berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1969 Pasal 9. Pada level Bintara ke bawah TNI/Polri pensiunnya lebih cepat.

2) Sifat khas prajurit TNI dan Polri memiliki risiko tinggi banyak yang berhenti karena gugur atau tewas dalam menjalankan tugas.

3) Adanya kebijaksanaan Pemerintah untuk mengurangi jumlah prajurit secara besar-besaran dalam rangka peremajaan yang dimulai pertengahan tahun 1971.

4) Jumlah iuran yang terkumpul pada waktu itu tidak sebanding dengan perkiraan klaim yang akan diajukan oleh para Peserta.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut dengan niat untuk meningkatkan kesejahteraan Prajurit TNI, Anggota Polri dan PNS Kemhan/Polri, maka Dephankam (saat itu) memprakarsai untuk mengelola premi sendiri dengan membentuk lembaga asuransi yang lebih sesuai, yaitu Perusahaan Umum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Perum ASABRI) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1971 pada tanggal 1 Agustus 1971.

Dalam perjalanan selanjutnya, sebagai upaya meningkatkan operasional dan hasil usaha, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 bentuk usaha ASABRI dari Perusahaan Umum (Perum) dialihkan menjadi Perseroan Terbatas (PT), sehingga menjadi PT ASABRI (Persero).

Sejak terbentuk Asabri, berbagai persoalan terus melanda Asabri. Simak kasus Asabri berikut ini.

Skandal Asabri terkait penyalahgunaan dana para prajurit di tahun 1995-1997. Kasus tersebut baru selesai disidangkan pada tahun 2008 dengan kerugian negara mencapai Rp 410 miliar.

Diberitakan Harian Kompas, 19 Februari 2008, skandal pada Asabri yakni penggunaan dana iuran peserta untuk penempatan dana yang bukan semestinya, dengan melibatkan pihak swasta. Kasus bermula saat mantan Direktur Utama PT Asabri Mayjen (Purn) Subarda Midjaja bersama pengusaha swasta Henry Leo mendirikan perusahaan PT Wibawa Mukti Abadi (WMA) tahun 1994.

Dana yang tersimpan dalam bentuk giro dan deposito di BNI 46 itu untuk kesejahteraan prajurit dan mempermudah prajurit memperoleh kredit pemilikan rumah, ternyata, dana Asabri sebesar Rp 410 miliar digunakan tidak sesuai dengan pembentukannya. Saat itu, dana di BNI dicairkan untuk kepentingan lain, salah satunya untuk uang muka pembelian Plaza Mutiara oleh WMA.

Dana itu juga digunakan untuk kepentingan lainnya. Kala itu, Henry Leo membeli Plaza Mutiara dari PT Permata Birama Sakti milik Tan Kian seharga 25,9 juta dollar AS. Berdasarkan penyidikan jaksa, sebanyak 13 juta dollar AS berasal dari dana Asabri. Sisanya, 12,9 juta dollar AS, merupakan pinjaman dari BII.

Karena kasus tersebut, Subarda divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Sementara di pengadilan yang sama, Henry Leo divonis tujuh tahun penjara. Ia juga dihukum membayar denda Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp 33,686 miliar..

 Dalam pertimbangannya majelis hakim menyebutkan, dana yang dikelola Asabri bersumber dari potongan penghasilan anggota ABRI dan pegawai negeri sipil di Departemen Pertahanan (saat ini Kemenhan) sebesar 4,75 persen. Menurut majelis hakim, Subarda terbukti turut serta melakukan korupsi Bayangkan nasib prajurit yang dimainkan oleh atasannya sendiri.

Untuk kasus anyar ini, diduga ada dua pelaku di balik kasus korupsi Asabri senilai Rp 10 triliun lebih.

Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, kedua nama tersebut berasal dari industri pasar modal, namanya juga ada di skandal PT Asuransi Jiwasraya.

"Waktu itu belum tampak ketika Jiwasraya mencuat beberapa bulan lalu. Pemainnya sama, melibatkan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, pemain pasar modal," ujarnya ketika dihubungi Tribunnews.com di Jakarta, Sabtu (11/1/2020).

Menurut Irvan, keduanya cerdik dalam menjalankan praktik manipulasi harga saham yang melibatkan Asabri maupun Jiwasraya.

Apa kata Manajemen Asabri?
Manajemen PT Asabri (Persero) akhirnya buka suara terkait dengan informasi dugaan adanya praktik korupsi senilai Rp 10 triliun yang ramai di publik dan menjadi sorotan Kementerian BUMN dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam).

Dalam keterangan pers yang diperoleh CNBC Indonesia, manajemen Asabri menyatakan, pemberitaan di media massa belakangan ini tidak sesuai dengan keadaan perseroan.

Pertama, Asabri menyebut kegiatan operasional Asabri terutama proses penerimaan premi, proses pelayanan, dan proses pembayaran klaim berjalan dengan normal dan baik. Asabri dapat memenuhi semua pengajuan klaim tepat pada waktunya.

Selanjutnya, terkait dengan kondisi pasar modal di Indonesia, terdapat beberapa penurunan nilai investasi Asabri yang sifatnya sementara. "Namun demikian, Manajemen Asabri memiliki mitigasi untuk me-recovery penurunan tersebut," tulis manajemen, Senin (13/1/2020).

Dalam melakukan penempatan investasi, manajemen mengaku mengedepankan kepentingan perusahaan sesuai dengan kondisi yang dihadapi, mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik *(good corporate governance)* dan patuh terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan kegiatan usahanya.

"Manajemen Asabri terus berupaya dan bekerja keras semaksimal mungkin dalam rangka memberikan kinerja terbaik kepada seluruh peserta Asabri dan stakeholders [pemangku kepentingan]," pungkas manajemen.

Bagaimana kenyataannya?
Nilai investasi PT Asabri (Persero) di 12 perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang 2019 berpotensi turun hingga mencapai Rp.7,47 triliun ( 80,23%) yaitu menjadi Rp 1,84 triliun dari awal penghitungan Rp 9,31 triliun.

Hitungan itu berasal dari kompilasi data kepemilikan saham dari 15 perusahaan yang sahamnya sempat dimiliki perusahaan BUMN pengelola asuransi TNI dan pensiunan militer tersebut pada periode Desember 2018 hingga September 2019.

Dengan demikian, bila memakai asumsi kepemilikan sahamnya tidak berubah hingga akhir tahun 2019, maka dapat terlihat penurunan tersebut.

Menarik ulasan Koran TEMPO Rabu 15 Januari 2020, pada berita utamanya. Dengan Cover berjudul JEBOL ASURANSI TENTARA, Para pembobol Asuransi Jiwasraya ditengarai juga mengembosi Asabri. Dana jaminan prajurit itu berpotensi jebol hingga Rp. 10 triliun.

Bagaimana modusnya?. Asabri menempatkan investasi pada saham yang berkinerja rendah. Biasa disebut saham lapis kedua atau *second liniers*. 

BPK sudah menemukan keanehan sejak tahun 2016. Hal tersebut diungkapkan dalam hasil audit semester II tahun 2016. BPK mengungkap 15 temuan yang di antaranya berisi ketidak-efisienan pengelolaan investasi serta potensi kerugian negara. Hal serupa ditemukan oleh Ombusdman yang menyebut Asabri menempatkan 88% investasi pada saham yang tidak liquid. Ya jebol lah, bagaimana menambalnya lobang yang besar (88%) tersebut.

Apa dampaknya bagi BPJS Ketenagkerjaan?
Apa hubungannya Asabri dengan BPJS ketenagakerjaan? Hubungan terikat dengan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. Asabri dan Taspen harus menyerahkan semua paket program Jaminan Sosial ( Program pensiun, tabungan hari tua, Asuransi Sosial), dalam bentuk Asset DJS, dan peserta kepada BPJS Ketenagakerjaan selambat-lambatnya tahun 2029. Yang tertinggal hanya lembaga dan personilnya.

Tidak lama lagi tinggal tersisa 9 tahun. Presiden tahun 2024 pengganti Jokowi, punya kewajiban untuk melaksanakan proses pengalihan tersebut.

Kita simak bunyi Pasal 65 dan 66 UU BPJS, sebagai berikut:

Pasal 65 (1)PT Asabri (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029. (2) PT TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.

Pasal 66 Ketentuan mengenai tata cara pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT Asabri (Persero) dan pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam PP tentang Pengalihan Program Taspen dan Asabri tersebut, pemerintah berkewajiban ,menyelesaikan semua persoalan yang melilit Asabri, dan jangan membawa kerugian Dana jaminan Sosial Asabri menjadi beban BPJS Ketenagakerjaan.

Jangan sampai BPJS Ketenagakerjaan mendapatkan pepesan kosong, dan Pemerintah menyerahkan penyelesaian kerugian Asabri, dari Dana jaminan Sosial yang dimiliki oleh BPJS ketenagakerjaan. Sebab UU SJSN mengharamkan pemindahan Dana jaminan Sosial Antar Program.

Pemerintah punya waktu 9 tahun untuk melakukan *recovery* Asabri, untuk kembali sehat, sehingga pada saat pengalihan dimaksud, tidak ada lagi sisa persoalan yang dibawa ke BPJS Ketenagakerjaan. Jika tidak, BPJS Ketenagakerjaan akan ikut roboh.

Korban peserta bukan saja TNI/POLRI, tetapi juga seluruh pekerja swasta dan BUMN. Sudah dapat diduga dampak politiknya luar biasa, sebagaimana yang dialamai negara-negara lain yang salah urus menyelenggarakan Jaminan Sosial.

Cibubur, 16 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun