Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kilas Balik Program JKN 2014-2019

13 Agustus 2019   21:49 Diperbarui: 13 Agustus 2019   21:53 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Regulasi

Kita sudah memiliki regulasi yang lengkap, dan mendekati sempurna. Tetapi seperti ibarat tulisan cakar ayam, susah dibaca. Pengertian susah dibaca itu adalah bacaannya berbeda-beda jika kita baca undang-undangnya, lihat derivasi nya yang diperintahkan dalam norma nya, isinya banyak yang tidak se irama, inkonsistens, dan ada yang maaf kalau kita sebut pasal seludupan. ( tidak ada hubungannya dengan penumpang gelap).

Salah satu contoh yang menimbulkan polemik pelayanan di faskes, adalah UU SJSN  menyebutkan peserta JKN, dilayani di RS rawat inap dengan kelas standar. Dalam Perpres nya (82/2018), kelas standar itu adalah kelas 1,2, dan 3. 

Sehingga akibatnya iurannya dihitung berdasarkan pelayanan kelas 1,2, dan 3 tersebut.  Seharusnya pemerintah harus menyiapkan kelas standar dimaksud yaitu satu jenis kelas saja. Apakah satu ruangan untuk 4 orang, 6 orang dan seterusnya, maka tidak ada diskriminasi pelayanan.

Saat ini yang terjadi adalah banyak yang bayar untuk  kelas 1., tapi ternyata penuh, terpaksa legowo menerima di kelas 2.  Bahkan ada yang rela masuk di kelas 3. Selisih lebih iuran tidak pernah dihitung.

Demikian juga terkait urun biaya, tidak ada perintah dalam UU SJSN untuk diatur lebih lanjut dalam Perpres, tetapi muncul di Perpres 82/2018, dan amanat Perpres tersebut diatur lebih lanjut dengan Permenkes. Bingungkan?

Soal urun biaya dalam UU SJSN lebih difokuskan pada pengelolaan di tingkat Manajemen RS, bersinergi dengan BPJS kesehatan dan Asosiasi Faskes, dan profesi kesehatan setempat.

Jadi jelas itu menjadi domain Manajemen RS, tidak perlu ditarik regulasi nya pada level nasional, karena sifatnya pada level titik pelayanan kesehatan di RS.

Soal defisit JKN, tidak tepat diatur dalam Perpres JKN, dengan menyebutkan sumber dana untuk menutup defisit dari Dana Bagi Hasil Cukai  rokok. Sebab akan timbul opini di masyarakat bahwa cukai rokok sebagai pemasok utama mengatasi defisit DJS. Ini sangat beresiko, para perokok akan menuntut pelayanan khusus JKN.

Tidak efektif nya Perpres 32/2014, tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, karena tidak dipatuhi Pemda. Dana kapitasi yang harusnya langsung dibagikan di Puskesmas, ternyata oleh Pemda ditarik ke kas Pemda.

Fasilitas Kesehatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun