Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kilas Balik Program JKN 2014-2019

13 Agustus 2019   21:49 Diperbarui: 13 Agustus 2019   21:53 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Stakeholder  yang terlibat

Kita sering mendengar di siaran elektronik, maupun membaca di media, bahwa jika ada  masalah terkait dengan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi sasaran tembak  ocehan,  gerutuan, cercaan, adalah penyelenggara nya yaitu BPJS kesehatan.

Tidak semua tuduhan itu benar, walaupun tidak juga semuanya salah. Sebab yang berhadapan dengan peserta itu adalah petugas BPJS Kesehatan pada lini lapangan pelayanan, dan juga karena BPJS Kesehatan yang menarik iuran. Undang-undang SJSN juga mengamanatkan bahwa BPJS Kesehatan harus dapat memberikan jaminan peserta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya.

Tetapi, disatu sisi, posisi BPJS Kesehatan juga sangat tergantung kerjasama yang baik dengan berbagai stakeholder lainnya, yang memberikan kontribusi besar untuk lancar nya penyelenggaraan JKN. 

Seperti misalnya peran DJSN, sebagai lembaga independen yang menghitung besaran iuran PBI, untuk disampaikan kepada Pemerintah, dan memastikan besaran iuran tersebut feasible untuk berjalannya dengan normal JKN.

Disamping berkewajiban melakukan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan penyelenggaraan jaminan sosial, agar tidak terjadi tumpang tindih nya regulasi. Juga dengan ketat harus memantau dan mengawasi apakah BPJS melaksanakan tugasnya sesuai aturan, dan memberikan peringatan dan melaporkan nya kepada Presiden jika tidak ada tindak lanjut.

Stakeholder lain yang sering disebut dalam UU SJSN dan UU BPJS, adalah peranan dan tanggungjawab Kemenkes. Sebab lembaga inilah yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk menyiapkan dan memfasilitasi semua FKTP dan FKTL yang akan bekerjasama dengan BPJS kesehatan. Pada level daerah sesuai dengan otonomi daerah, sebagian tugas dan wewenang tersebut diserahkan kepada Pemda yang dilaksanakan oleh Dinas kesehatan setempat. Kemenkes dengan perangkat otonom di daerah dan juga melalui UPT, berkewajiban menyediakan tenaga pelayanan kesehatan yang dibutuhkan disetiap FKTP dan FKTL, agar program JKN berjalan dengan optimal.

Bukan hal tersebut diatas saja, tetapi tugas-tugas terkait menghitung besaran jasa pelayanan dengan pola Kapitasi dan Ina CBGs, menjadi urusan Kemenkes, yang dalam pelaksanaannya melibatkan BPJS Kesehatan.

Keterlibatan Kemendagri menjadi penting, karena kebutuhan data peserta dengan NIK menjadi patokan registrasi peserta, serta koordinasi dengan Pemda terkait penggunaan dana APBD, dan urusan kesehatan yang menjadi tanggungjawab Pemda.

Siapa lagi yang lain?. Organisasi profesi kesehatan dan asosiasi faskes (FKTP dan FKTL), juga menurut UU SJSN pihak yang mutlak terlibat untuk memberikan jaminan penyelenggaraan JKN berjalan sesuai dengan standar pelayanan, menjamin mutu pelayanan, dan pengendalian biaya pelayanan.

Yang juga tergolong maha penting, adalah peranan Kemenkeu, yang menyediakan dana PBI,  jumlahnya cukup besar ( 96,8 juta), dengan anggaran sebesar Rp. 26,7 Triliun untuk tahun ini, sungguh merupakan darah segar, yang mengalir di tubuh BPJS kesehatan. Bayangkan jika darah tersebut berkurang dan berhenti mengalir, maka BPJS Kesehatan akan mengalami MPP ( Mati Pelan Pelan).

Regulasi

Kita sudah memiliki regulasi yang lengkap, dan mendekati sempurna. Tetapi seperti ibarat tulisan cakar ayam, susah dibaca. Pengertian susah dibaca itu adalah bacaannya berbeda-beda jika kita baca undang-undangnya, lihat derivasi nya yang diperintahkan dalam norma nya, isinya banyak yang tidak se irama, inkonsistens, dan ada yang maaf kalau kita sebut pasal seludupan. ( tidak ada hubungannya dengan penumpang gelap).

Salah satu contoh yang menimbulkan polemik pelayanan di faskes, adalah UU SJSN  menyebutkan peserta JKN, dilayani di RS rawat inap dengan kelas standar. Dalam Perpres nya (82/2018), kelas standar itu adalah kelas 1,2, dan 3. 

Sehingga akibatnya iurannya dihitung berdasarkan pelayanan kelas 1,2, dan 3 tersebut.  Seharusnya pemerintah harus menyiapkan kelas standar dimaksud yaitu satu jenis kelas saja. Apakah satu ruangan untuk 4 orang, 6 orang dan seterusnya, maka tidak ada diskriminasi pelayanan.

Saat ini yang terjadi adalah banyak yang bayar untuk  kelas 1., tapi ternyata penuh, terpaksa legowo menerima di kelas 2.  Bahkan ada yang rela masuk di kelas 3. Selisih lebih iuran tidak pernah dihitung.

Demikian juga terkait urun biaya, tidak ada perintah dalam UU SJSN untuk diatur lebih lanjut dalam Perpres, tetapi muncul di Perpres 82/2018, dan amanat Perpres tersebut diatur lebih lanjut dengan Permenkes. Bingungkan?

Soal urun biaya dalam UU SJSN lebih difokuskan pada pengelolaan di tingkat Manajemen RS, bersinergi dengan BPJS kesehatan dan Asosiasi Faskes, dan profesi kesehatan setempat.

Jadi jelas itu menjadi domain Manajemen RS, tidak perlu ditarik regulasi nya pada level nasional, karena sifatnya pada level titik pelayanan kesehatan di RS.

Soal defisit JKN, tidak tepat diatur dalam Perpres JKN, dengan menyebutkan sumber dana untuk menutup defisit dari Dana Bagi Hasil Cukai  rokok. Sebab akan timbul opini di masyarakat bahwa cukai rokok sebagai pemasok utama mengatasi defisit DJS. Ini sangat beresiko, para perokok akan menuntut pelayanan khusus JKN.

Tidak efektif nya Perpres 32/2014, tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, karena tidak dipatuhi Pemda. Dana kapitasi yang harusnya langsung dibagikan di Puskesmas, ternyata oleh Pemda ditarik ke kas Pemda.

Fasilitas Kesehatan

UU SJSN dan UU BPJS,sudah dengan jelas mengatur, bahwa penyediaan faskes yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan adalah menjadi urusan Kemenkes dan Pemda. Hal ini juga sejalan dengan UU kesehatan, UU RS dan UU lainnya.

BPJS Kesehatan ditugaskan untuk membuat kerjasama secara sukarela dengan faskes yang sudah memenuhi syarat yang ditetapkan Kemenkes. Untuk faskes pemerintah, harus wajib ikut bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Jadi bagaimanapun jeleknya pelayanan kesehatan faskes pemerintah, BPJS Kesehatan tidak bisa begitu saja memutuskan kerjasama.

Agar pelayanan kesehatan berlangsung dengan efisien dan efektif, maka dibentuk Tim Kendali Biaya dan Kendali mutu di masing-masing wilayah. Tetapi tim ini  belum kuat dan tidak punya otorisasi penuh, untuk mengevaluasi faskes setempat atas tingkat efisiensi dan efektif nya peyanan kesehatan  JKN

Persoalan akreditasi dan Kelas RS yang diatur Pemerintah Pusat/Daerah, ternyata juga yang menyebabkan  pola pembayaran Paket Ina-CBGs potensi fraud, , sehingga menjadi temuan BPKP

Demikian juga potensi fraud terjadi pada klaim RS ke BPJS Kesehatan, terkait verifikasi yang masih lemah baik oleh verifikator RS maupun verifikator BPJS Kesehatan.

Unit Cost Paket Ina-CBGs, yang masih mengalami disperitas antara propinsi ( hanya 6 zona),seharusnya 34 Zona sesuai dengan jumlah Propinsi

Kelas perawatan 1,2,3 menimbulkan diskriminasi pelayanan yang tidak dapat dihindarkan, dan berakibatkan terjadi waiting list.

Penggarapan terhadap peserta baru, sebaiknya sudah tidak perlu dilakukan secara ofensif, karena diperhitungkan akhir tahun ini dapat mencapai 90%. Posisi bulan Juni sekitar 84%. Sisanya akan bergerak dengan sendirinya, dorongan dan ajakan  lingkungannya yang sudah menjadi peserta.

BPJS Kesehatan harus memusatkan energy yang dimilikinya, memobilisasi karyawan dan para kader nya untuk mengejar peserta yang menunggak, baik PBPU maupun PPU secara masif dan terus menerus.

Defisit Dana Jaminan Sosial

Penyebab utama defisit nya DJS adalah  besaran iuran PBI, tidak mengikuti akal sehat ( tidak sesuai dengan hitungan aktuaria).

Saya masih ingat sebagai Ketua DJSN waktu itu pada 2013, DJSN sudah menghitung berdarah-darah dan berulang-ulang dibahas dalam rapat Dewan, dan diputuskan di Pleno, besaran iuran Rp. 25.000,- / bulan, ternyata pemerintah memutuskan hanya 19.000.- oleh karena itu jangan heran tahun 2014 BPJS kesehatan sudah defisit 3 triliun

Pada tahun 2015, DJSN mengusulkan PBI Rp. 36.000.- lagi-lagi pemerintah menyetujui hanya Rp. 23.000.- akibatnya tahun 2016 defisit sekitar 5 triliun, sampai saat ini tidak naik, dan defisit 2018 Rp. 9,1 triliun ( pengakuan BPKP).

Akibat terlalu murah nya iuran, dan tidak proporsional  paket Ina-CBGs di FKTL, maka dalam perjalanannya mulai tahun ketiga sudah mulai timbul kasus-kasus:

  • OOP
  • Up- Coding, dan readmisi
  • Perubahan Tipe / Kelas RS
  • Silpa Kapitasi
  • Waiting list
  • Tidak standarnya mutu pelayanan

Kesemuanya bermuara pada moral hazard dan fraud.

Dalam persoalan ini ada 3 pihak yang paling bertanggung jawab yakni  Kemenkes, Pemda, dan BPJS Kesehatan.

Manajemen BPJS Kesehatan

Jika dilihat banyaknya faskes yang terlibat , 2.455  RS dan klinik utama (FKTL), serta 23.292 FKTP, sesungguhnya jumlah cukup besar tapi belum cukup, untuk meng cover 223  juta penduduk. Persoalan utama adalah  distribusi nya tidak merata. Tetapi itu merupakan tanggung jawab pemerintah.

Tata kelola hubungan kerjasama dengan ribuan faskes tersebut memang bukan  perkara gampang. Dengan jumlah 7000 karyawan BPJS Kesehatan, memang diperlukan strategi manajemen yang inovatif, untuk memelihara kerjasama tetap berjalan sesuai  isi perjanjian.

Kata kuncinya komitmen dan ketegasan melaksanakan isi perjanjian. Apa yang menjadi kewajiban dan hak masing-masing pihak harus dipatuhi, demi melindungi peserta

Caranya bagaimana?. Tentu kekuatan kepemimpinan Kepala Cabang BPJS Kesehatan  setempat menjadi modal utama. Sarat utamanya adalah  berani mengambil keputusan dan berani mengambil resiko apapun akibat dari keputusan

Dalam menghadapi berbagai persoalan lapangan, secara konsisten mengedepankan kepentingan peserta, karena itulah mandat UU SJSN kepada BPJS Kesehatan.

 9 Bauran Kebijakan

Menyelesaikan dan menangani  9 bauran kebijakan, jangan sampai menyandera kewajiban Pemerintah untuk menutupi Defisit DJS JKN. Karena penyelesaian tersebut, ada yang sifatnya  politik pemerintah (Kemenkeu dan Kemendagri dan Pemda), jadi tidak perlu BPJS Kesehatan  ter sandera. Demikian juga hal yang bersifat teknis kebijakan faskes menjadi wilayah Kemenkes, dan Pemda.

BPJS Kesehatan sebaiknya fokus pada peningkatan peserta aktif, fraud klaim pelayanan oleh verifikator BPJS Kesehatan, serta penguatan kendali biaya dan kendali mutu.

Persoalan Data

UU SJSN / UU BPJS, memerintah BPJS memberikan single identity number kepada peserta yang mendaftar.

Tetapi BPJS tidak melakukan, karena pemerintah sudah membuat hal yang sama untuk seluruh penduduk yang disebut NIK. Dengan e-KTP. Bukan berarti BPJS dapat meninggalkan kewajibannya, jika ada masalah data di Dukcapil.

Ada baiknya, penduduk yang tidak memperoleh NIK, tetapi menjadi peserta BPJS Kesehatan, diberikan register peserta sementara, sampai dengan memperoleh NIK.

Persoalan data ini juga terkait PBI, yang pendataan nya oleh Kemensos, karena tidak ada NIK, tetapi jelas-jelas miskin tidak dapat JKN.

Kemensos dan BPJS Kesehatan , harus hati-hati benar mengeluarkan 5,2 juta PBI yang ditemukan ada masalah dalam administrasi kependudukan, kemudian digantikan dengan 6 juta yang memang lebih tertib secara administrasi  kependudukan.

Yang perlu dikedepankan adalah pastikan miskin mendapatkan PBI  atau tidak miskin membayar iuran secara mandiri.

Capaian Program JKN secara kuantitatif

Dari informasi data yang diperoleh, ada yang menarik data pencapaian program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan secara kuanitatif sebagai berikut:

  1. Dari aspek akuntabilitas publik, mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk tahun buku 2018. Sekarang sering juga disebut dengan isitlah Wajar Tanpa Modifikasi ( WTM). Pencapaian ini adalah yang kelima kalinya secara berturut. Siapa pihak yang melakukan penilaian yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) Puradiredja Suhartono yang berafiliasi dengan Nexia Internasional. Bagaimana repurtasi KAP tersebut, publik dapat membrowsing nya di internet.
  1. Semua pejabat sudah melaporkan LHKPN (100%), kepada KPK. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini tentu sesuatu yang perlu di contoh oleh birokrasi pemerintah dan anggota DPR yang belum 100%.
  1. Walaupun BPKP telah melakukan audit tujuan tertentu selama 3 bulan pada akhir 2018, tetapi juga BPKP mengakui bahwa BPJS kesehatan layak mendapatkan predikat sangat baik, dalam pengukuran Good Governance tahun 2018, dengan skor actual 85,72, dari maksimal 100.
  1. Jika pada akhir 2018, cakupan peserta JKN BPJS Kesehatan, 208,054 juta jiwa, maka sampai akhir Juli 2019 mencapai 223,2 juta jiwa peserta. Berarti kepesertaan JKN sudah mencapai 83,6%, dan diproyeksikan dapat mencapai 90% pada akhir tahun 2019 ( mudah-mudahan).
  1. Berapa besar iuran yang dapat dikumpulkan oleh BPJS kesehatan sampai akhir 2018, adalah sebesar Rp. 81,97 Triliun. Jumlah yang cukup besar, tapi tidak cukup memenuhi biaya manfaat pelayanan kesehatan yang mencapai sekitar Rp. 102 Triliun. Berapa akumulasi total iuran yang diperoleh selama 5 tahun mencapai Rp. 317,04 Triliun.
  1. Dari Rp. 317,04 Triliun, dalam kurun waktu yang sama ( 5 tahun), dana PBI yang sudah diluncurkan pemerintah sebesar 115,5 Triliun, sekitar 36%. Untuk meng cover sekitar 96 juta orang miskin.
  1. Untuk menampun pembayaran iuran, maka BPJS Kesehatan sudah menyiapkan kanal pembayaran iuran di 686.735 kanal diseluruh Indonesia, mulai yang konvensional, sampai dengan financial technology.
  1. Jumlah FKTP yang bermitra dengan BPJS Kesehatan sebanyak 23.292 faskes, serta sebanyak 2.455 FKTL Secara kuantitatif angka ini sebenarnya belum maksimal, tetapi yang lebih menyulitkan lagi adalah faskes dimaksud tidak merata distribusi lokasinya, terutama untuk wilayah Indonesia Timur dan Kalimantan.
  1. Tercatat pada 2018, FKTP sudah dimanfaatkan oleh 147,4 juta kunjungan peserta. Poliklinik rawat jalan rumah sakit dimanfaatkan oleh 76,8 juta kunjungan peserta. Sedangkan untuk rawat inap di rumah sakit dimanfaatkan oleh 9,7 juta kunjungan peserta. Totalnya ada sebanyak 233,9 juta kunjungan.
  2. Telah dihitung, rata-rata pemanfaatan pelayanan kesehatan per hari kalender adalah 640.822 pemanfaatan. Jika di akumulasi selama 5 tahun, diperoleh angka sebanyak 874,1 juta pemanfaatan pelayanan kesehatan JKN.
  3. Bagaimana dengan indeks kepuasan. Ini yang menarik. Ditengah hiruk pikuk persoalan defisit DJS JKN, dan menurunkan mutu pelayanan JKN dirumah sakit, ternyata indeks kepuasan peserta terhadap program JKN mencapai 79,7% yang masuk kategori tinggi. Indeks kepuasan fasilitas kesehatan yang melayani pasien JKN mencapai 75,8% yang juga masuk kategori tinggi.

Kesimpulan

Dalam  5 tahun JKN yang diselenggarakan oleh BPJS kesehatan, secara jujur sudah banyak yang dirasakan masyarakat. Mereka tidak takut lagi sakit. Sebab dulu anekdotnya orang miskin dilarang sakit. menunjukkan mahalnya biaya pelayanan kesehatan.  

Memang biaya kesehatan mahal. berlaku diseluruh dunia. Oleh karena itu dibutuhkan model pelayanan asuransi sosial, yang kita sebut dengan Jaminan Kesehatan bagi seluruh penduduk.

Pengobatan penyakit-penyakit katastropik   banyak rakyat tertolong dengan gotong royong. Operasi jantung, darah tinggi, kegagalan ginjal, diabetes, cholesterol tinggi, dan lainnya dan menyedot dana JKN yang besar ( sekitar 20%), sudah dirasakan manfaatnya. Baik orang miskin maupun orang mampu, yang jika membayar atas pelayanan kesehatan tersebut dapat langsung miskin ( equal dan non diskriminatif).

Tetapi bukan tidak ada persoalan. Program JKN memberikan efek euphoria masyarakat untuk ingin menikmati pelayanan di RS, tidak mau melalui FKTP sebagai gate keeper, merupaan persoalan sosial di masyarakat yang pendekatannya  juga harus pendekatan sosial dan budaya lokal masyarakat.

Hitungan besaran iuran yang hanya senilai sebungkus rokok untuk jaminan satu bulan JKN, sungguh angka yang memilukan dan memalukan untuk mendapatkan mutu pelayanan JKN yang terbaik.

Belakangan ini terjadinya moral hazard dan fraud yang dilakukan oleh banyak pihak termasuk Birokrasi pemerintahan dalam pelaksanaan JKN, sangat memprihatinkan dan perlu menjadi perhatian Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jika perlu dilakukan kebijakan-kebijakan khusus yang lebih represif, dan sanksi hukum yang lebih berat.

Kebijakan anti fraud jangan hanya menjadi hiasan bibir saja, tetapi harus bukti nyata sampai di pengadilan, jika kita tidak  ingin Kapal Besar yang bernama BPJS kesehatan, terombang ambing dalam gelombang besar defisit.

Cibubur, 13 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun