Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tiga Persoalan Besar "Menghantam" BPJS TK

11 Maret 2019   23:38 Diperbarui: 12 Maret 2019   00:17 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah pasti aturan pelaksanaan juga sama saja, lebih mempertegas dan memperjelas penyimpangan itu. Menteri KKP mengeluarkan kebijakan menunjuk PT. Jasindo (BUMN) sebagai pengelola asuransi sosial tersebut dengan menerima premi dari pemerintah dan men take-over resiko kecelakaan kerja dan kematian nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam.

Ada dua aspek yang tidak konsisten, yaitu pertama: terkait hak mandatori yang diamanatkan UU SJSN kepada BPJS TK diabaikan dalam UU No. 7 tahun 2016. Kedua , penunjukkan BUMN ( PT.Jasindo),  tidak sesuai dengan prinsip SJSN yaitu "hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta". Sebagai badan hukum private, BUMN tetap mencari untung. Tidak mungkin Dana Jaminan Sosial yang didapat dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan peserta.

Sebagai contoh, tahun 2016 KKP mengalokasi dana APBN Rp.250 miliar, sebagai premi JKK dan JKm untuk 500 ribu  nelayan selama setahun. Misalnya Jasindo mengeluarkan biaya take over resiko (pemberian manfaat)  JKK dan JKm sebesar  40% ( karena angka kasus kecelakaan kerja dan kasus kematian  sangat kecil), dari premi Rp. 250 miliar, adalah sebesar Rp. 100 miliar, berarti Jasindo  mendapatkan keuntungan kotor Rp. 150 miliar.  Karena keuntungan tentu sudah menjadi hak Jasindo yang dapat digunakan diluar kepentingan peserta.

Jika pengelolaan dilakukan oleh BPJS TK, sesuai dengan perintah UU SJSN, UU BPJS, maka keuntungan yang Rp. 150 miliar tersebut harus dikembalikan kepada peserta dalam bentuk pengembangan program dan penyesuaian besarnya manfaat yang akan didapat peserta. BPJS TK tidak boleh menggunakan dana tersebut untuk kepentingan Management dan kepentingan apapun selain kepentingan program. Return To Work aalah salah satu bentuk pengembangan program yang telah dilakukan.

Persoalan kedua, terkait dengan PP Nomor 70 Tahun 2015 Tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Rujukan PP ini adalah ketentuan Pasal 92 ayat (4) , dan Pasal 107 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN.

Adapun bunyi Pasal 92 (1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan kematian; dan d. bantuan hukum. (2) Perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional. (3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Jelas PP 70 ini tidak merujuk ke UU SJSN dan UU BPJS tetapi merujuk pada UU Nomor 5 Tentang ASN. Sedangkan UU ASN pada Pasal 92  ayat (1) dan (2) merujuk pada substansi UU SJSN yaitu " jaminan sosial diberikan dalam program jaminan sosial nasional".

Pertimbangan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan yang mengajukan Draft PP tersebut, adalah agar pelaksanaan Program JKK, JKm lebih efektif dan efisien ( baca penjelasan)  ditunjuk PT.Taspen yang merupakan BUMN yang selama ini dinilai sudah cukup baik melaksanakan program JKK dan JKm bagi PNS.

Disini Pemerintah sudah membuat stigma lembaga pemerintah lainnya yang berbadan hukum publik dan nirlaba yaitu BPJS TK tidak efektif dan tidak efisien dibandingkan dengan  BUMN yang merupakan badan hukum private dan pasti mencari keuntungan.

Bagi BPJS TK, ini persoalan prinsip yang harus diselesaikan.  Regulasi yang tidak konsisten dan bertabrakan satu dengan yang lain,  mencerminkan tata kelola pemerintah yang tidak baik. Dan ini salah satu bentuk "pelemahan" yang sistemik  terhadap keberadaan BPJS TK sebagai  mandatori melaksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Persoalan ketiga, adalah .dalam implementasi program JHT SJSN, yaitu pertama, Lemahnya komitmen Negara; kedua, Inkonsistensi Regulasi; ketiga, Multitafsir regulasi; dan keempat, advokasi dan sosialisasi belum maksimal.  Keempat kelemahan ini saling berkaitan satu sama lain. Kelemahan pertama, kedua dan ketiga bersumber dari subjek yang sama yaitu PP 46, PP 60, dan Permenaker 19/2015, dengan merujuk pada  UU SJSN. Masalah keempat belum maksimalnya sosialisasi dan advokasi oleh BPJS Ketenagakerjaan  ditengarai sebagai pemicu marahnya Pekerja  pada saat diluncurkan PP 46/2015. Padahal PP 46/2015 sudah mengacu UU SJSN, tetapi karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan politik kekuasaan dari pada politik konstitusi, dibuat perubahan dan terbitlah  PP 60/2015 dan Permenaker 19/2015, yang jauh menyimpang dari yang diamanatkan UU SJSN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun