Mohon tunggu...
Widya Kurnia Ulfa
Widya Kurnia Ulfa Mohon Tunggu... Penulis - Founder ISLA (Islamic Literacy Academy), Chief Strategy Offficer SYE NTB, Activist Dakwah, Book Reader/Writer/Reviewer.

Saya seorang founder dari sebuah komunitas literasi, yaitu Islamic Literacy Academy (ISLA). Saya menaruh minat penuh pada dunia literasi. Saya sudah menulis 10+ buku antologi dan 1 buku solo. Saat ini kesibukan saya menjadi konten kreator bookstagram.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Marketplace Guru: Solusi Baru atau Polemik Baru?

15 Juni 2023   21:45 Diperbarui: 15 Juni 2023   21:55 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Berbagai solusi telah dirancang dan diterapkan oleh Nadiem Makarim selama menjabat sebagi Mendikbud, namun selama itulah kritik pedas menghujam sistem pendidikan Indonesia. Hal ini mengonfirmasi bahwa solusi baru yang ditawarkan bukan semata-mata solusi namun hanya sekedar menambah semarak polemik pendidikan di tanah air.

Bukti Pemerintah Lempar Tanggungjawab 

Jika kita menilik lebih dalam terkait gagasan marketplace guru ini, maka kita akan temukan persoalan yang sebenarnya ingin diselesaikan oleh terobosan baru ini adalah pendistribusian guru yang merata. Namun sayangnya, konsep yang diusung justru jauh panggang dari api. Alih-alih mempertemukan sekolah dengan guru, justru program ini meniadakan peran pemerintah yang justru memiliki data akurat terkait kebutuhan guru di setiap wilayah itu sendiri. Kalaupun sekolah yang terjun langsung untuk mencari guru sesuai kebutuhannya, tetap akan melaporkan ke pemerintah pusat lagi. Maka ini justru semakin menambah pekerjaan seluruh stakeholder pendidikan itu sendiri.

Adapun guru yang tidak mau ditempatkan di tempat pelosok, sebenarnya disebabkan karena kesejahteraan mereka yang semakin jauh dari kata terjamin. Begitupun dengan guru honorer, jika pemerintah dapat menjamin kesejahteraan kehidupan guru maka jumlah guru honorer pun tidak akan menumpuk seperti sekarang.

Kesejahteraan guru memanglah menjadi pr besar bagi pemerintah. Hal itu akan menjadi suatu hal yang mustahil dapat terwujud jika sistem pendidikan di Indonesia masih memeluk erat sistem kapitalistik. Dimana seluruh kebijakannya akan bertuan pada pemilik modal, tak terkecuali pendidikan itu sendiri, pun menjadi barang yang menggiurkan bagi pemodal. Akhirnya kekuatan keuangan melemah, APBN terus defisit, mengandalkan utang dalam seluruh pembiayaannya. Maka kondisi seperti ini mustahil dapat menyejahterakan guru terlebih memberikan fasilitas sekolah yang merata.

Islam Sebenar-benarnya Solusi

Pendidikan dalam pandangan Islam adalah sebagai kebutuhan dasar, sebagaimana sandang, pangan, papan, yang harus dijamin negara. Negara memiliki peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pendidikan untuk rakyatnya. Peran negara dalam hal ini tidak bisa digantikan oleh sektor manapun.

Dalam pandangan Islam, sumber utama negara dalam melaksanakan kewajibannya memenuhi pendidikan rakyatnya adalah pada baitulmal. Sebab, fokus negara adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Begitupun dengan kebijakan-kebijakan yang telahir di dalamnya, adalah untuk memenuhi kebutuhan umat bukan kebutuhan pemilik modal seperti yang terjadi di sistem sekarang ini.

Sama halnya dengan posisi guru, Islam memandang guru adalah seorang yang mulia dan wajib untuk dimuliakan. Dari lisan seorang gurulah akan terlahir generasi yang tangguh dan mampu menjadi uyunul ummah (mutiara umat). Keseriusan Islam dalam dunia pendidikan bukanlah omong kosong belaka, melainkan sudah terbukti dan bahkan kemaslahatannya masih terasa sampai detik ini.

Sebut saja pada masa Khalifah Al-Hakam al-Muntasir, yang berhasil membangun 27 sekolah beserta dengan gedung perpustakaannya sebanyak 70 bangunan. Dan diperuntukkan kepada seluruh rakyat termasuk golongan yang miskin sekalipun.

Dibuktikan juga pada masa Kekhalifahan Abbasyah, Imam Suyuthi menyebutkan, "Bukti perhatian Sultan (Shalahuddin) terhadap pendidikan pada masa itu, yaitu dengan memberikan kepada tiap-tiap pengajar gaji sebesar 40 dinar per bulannya (sekitar Rp 156 juta), begitu juga dengan para pengelola madrasah diberikan gaji sebesar 10 dinar (sekitar Rp 39 juta). Bukan hanya gaji pokok saja, ternyata Sultan juga memberikan tunjangan setiap harinya berupa makanan pokok sebesar 60 rithl Mesir (sekitar 10 kg). Masha Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun