Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Olimpiade Tokyo, PON Papua, dan Upaya Melampaui "Homo Ludens"

30 Juli 2021   22:25 Diperbarui: 31 Juli 2021   13:20 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi logo PON Papua: skor.id

 

Saat ini perhatian dunia tengah tertuju pada pesta olahraga antarbangsa di Tokyo, Jepang. Olimpiade edisi ke-32 itu sedang memasuki saat-saat krusial. Sebagian besar cabang olahraga sedang memasuki periode perebutan medali. Tak heran bila perhatian dunia tersedot ke sana.

Setelah tanggal 8 Agustus nanti Tokyo akan kembali seperti sedia kala. Tanpa ribuan atlet dari lebih dari 200 negara. Setiap gelanggang olahraga kembali lengang. Para olimpian dan pihak-pihak eksternal yang terlibat mulai angkat kaki. Tidak terkecuali kontingen Indonesia.

Pasca-Olimpiade nanti ke mana perhatian kita, warga Indonesia, akan diarahkan? Adakah sesuatu yang menarik setelah itu? Tentu saja.

Dua bulan berselang kita akan menikmati pagelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) yang mengambil tempat di Papua. Event olahraga nasional ke-20 di Bumi Cendrawasih itu akan bergulir pada 2 hingga 15 Oktober 2021.

Homo Ludens

Ada satu buku menarik yang sudah menjadi klasik, tetapi masih relevan. Buku itu ditulis sejarawan dan filsuf Belanda, Johan Huizinga (1972-1945). Buku ini bisa menjadi salah satu landasan filosofis akan hakikat lain dari manusia.

Manusia adalah makhluk berakal budi, darinya muncul sebutan "Homo Sapiens". Selanjutnya ada "Homo Faber (Man the Maker)" untuk menyebut "Manusia Pekerja" yang memiliki kuasa atas nasib dan lingkungan sekitar.

Sementara itu Huizinga memberi penekanan bahwa manusia tidak hanya ditandai dengan kualitas berpikir dan bekerja. Kegiatan manusia tidak hanya fokus pada "thinking" dan "working/making."  Tetapi juga "playing." Bermain. Seperti judul buku yang terbit tahun 1938 itu, manusia juga " "Homo Ludens" atau "Man the Player" alias "Makhluk Bermain."

Huizinga bersungguh-sungguh dengan konsep tersebut. Bermain tidak sekadar kegiatan pengisi waktu senggang semata. Makna bermain tidak lantas direduksi begitu saja sehingga menghilangkan berbagai unsur penting seperti kesungguhan. Bermain tidak lantas menjurus pada bermain-main dan tidak sungguh-sungguh.

Mengikuti alur berpikir Huizinga mari kita coba memaknai perhelatan PON Papua dengan semestinya. Pesta olahraga tersebut bukan sekadar sebuah kompetisi biasa. Hanya dan semata-mata pertandingan.

Ada sejumlah kualifikasi dan syarat permainan yang dimaksud Huizinga. Ciri-ciri tersebut diharapkan sudah, sedang dan akan terpenuhi di Papua nanti.

Pertama, PON Papua adalah momentum kita melepaskan diri dari berbagai kepenatan dan keruwetan hidup. Hari-hari hidup kita sudah dipenuhi dengan berbagai kewajiban dan tekanan. Maka pesta olahraga tersebut menjadi kesempatan untuk mendapatkan tontonan dan hiburan di tingkat nasional.

Kurang lebih 6.300 atlet dari 34 provinsi akan bertarung di 37 cabang olahraga dan 679 nomor pertandingan. Mereka akan bersaing memperebutkan medali di empat venue besar di empat tempat berbeda yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mimika, dan Merauke.

Huizinga menyebut syarat pertama permainan adalah kebebasan. Para atlet diharapkan bisa bertarung dengan penuh percaya diri dan diliputi sukacita. Medali memang terkadang membelenggu. Ganjaran hadiah besar acapkali membuat tertekan. Ambisi kadangkala membabi-buta. Nama baik dan gengsi kerap membuat takabur.

Namun sebagai makhluk yang bermain para atlet diharapkan bisa tampil tidak semata-mata untuk memenuhi kewajiban, tetapi juga merealisasikan kebebasannya yang jauh dari tekanan dan paksaan.

Begitu juga para perangkat pertandingan dan penonton bisa menikmati setiap pertandingan tanpa merasa dan melakukan intimidasi dan provokasi. Sehingga PON Papua benar-benar menjadi arena permainan yang sportif, menghibur, dan membawa sukacita nasional.

Venue akuatik PON Papua kelas dunia: skor.id
Venue akuatik PON Papua kelas dunia: skor.id

Kedua, seperti bermain yang berbeda dari kegiatan sehari-hari lainnya, begitu juga PON. Ini adalah pesta olahraga tingkat nasional yang berangkat dari taman sari kekayaan sosial-budaya dan karakteristik bangsa Indonesia yang hetrogen.

Tidak hanya orang Papua yang bermain dengan orang Jawa. Tetapi juga ada orang NTT, orang Ambon, orang Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan di sana. Tentu masing-masing pihak akan bertarung habis-habisan demi dan atas nama daerah.

Setiap atlet pun datang dengan dan memiliki pendukung tersendiri. Di belakang mereka yang bertanding di arena ada ratusan, bahkan ribuan suporter. Tidak sedikit yang begitu fanatik dan sangat mengharapkan jagoan mereka menang.

Ini sesuatu yang wajar. Bila bukan demikian maka itu bukan PON. Yang terjadi di lapangan bisa membawa kita ke dunia awang-awang dan imajinatif. Penonton bisa merasa yang bertanding bukan lagi atlet biasa karena terlanjur dikultus.

Ketiga, aspek lain dari permainan ala Huizinga adalah lokasi dan waktu tertentu. Jelas, PON tidak digelar di sembarang waktu dan tempat.

Penunjukkan Papua sebagai tuan rumah dan waktu perhelatan yang telah ditentukan bukan tanpa dasar. Untuk menjadi tuan rumah pesta olahraga empat tahunan ini, Papua harus bersaing dengan daerah-daerah lain yang juga berminat, seperti Aceh dan Bali.

Papua dipilih karena dianggap lebih siap. Waktu perhelatannya pun sempat ditunda dari jadwal seharusnya pada tahun lalu lantaran pandemi Covid-19. Perubahan itu tidak membuat Papua gentar.

Bagi Papua, PON ini tentu sangat berarti. Sejak pertama kali digelar di Solo, Jawa Tengah pada 1948, tidak banyak daerah di luar Jawa yang mendapat kesempatan menjadi tuan rumah. Sejauh ini baru Medan, Makassar, Palembang, Samarinda, dan Pekanbaru yang dianggap bisa menjadi penyelenggara selain daerah-daerah lain di Pulau Jawa.

Papua sungguh berkomitmen menjadi tuan rumah. Kerja sama lintas sektor dan sinergi yang baik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat membuat segala persiapan berjalan sesuai rencana.

Per hari ini, semua venue sudah dalam keadaan siap. Bahkan beberapa venue itu sudah mendapat legitimasi internasional. Stadion akuatik dan venue hoki luar ruangan di Kabupaten Jayapura sudah mendapat sertifikasi dari organisasi renang dunia (FINA) dan Federasi Hoki Internasional (FIH).

Istora Papua Bangkit bertampang ciamik dan berteknologi canggih mencatatkan rekor MURI untuk tiga kategori sekaligus (struktur baja lengkung bentang terpanjang, atap tanpa sambungan dan baut mengerucut terluas berbentuk kubah, serta instalasi terpanjang dan diameter terbesar textile duct).


Para atlet dan penonton benar-benar akan dimanjakan dengan segala fasilitas berkelas dunia. Kelengkapan sarana pertandingan ini benar-benar memenuhi syarat Huizinga bahwa di tempat-tempat itulah para atlet akan melakukan "exhibition" (pemeragaan ketrampilan) secara optimal, "concentration" (pemusatan atensi penonton) yang nyaman,  hingga "protection" (perlindungan atas pemain) yang aman.

Keempat, sebagai sebuah kompetisi, PON Papua juga berjalan di atas aturan dan pengawasan sesuai regulasi yang berlaku. Regulasi yang jelas dan penerapan yang tegas dan konsisten menjadi syarat bagi sebuah pertandingan yang adil.

Kita tentu berharap setiap aturan ditegakan setegak-tegaknya agar setiap atlet memiliki peluang yang sama untuk menang. Para pemain dan perangkat pertandingan mendapat perlindungan dari setiap tekanan, sehingga para pemain bisa benar-benar menunjukkan kualitasnya dan setiap pengadil pertandingan bisa mengadili dan mengawasi pertandingan tanpa intimidasi.

Begitu juga setiap orang yang datang ke Papua mendapatkan rasa aman. Hal yang satu ini tentu tak perlu diragukan lagi. Keramahtamahan orang Papua belum menjadi barang langka.

Kita ingin PON Papua benar-benar menjadi panggung pertunjukan yang adil, indah, aman, dan nyaman bagi siapa saja.

Kelima, bila semua syarat itu bisa terpenuhi maka PON Papua akan menjadi kompetisi yang benar-benar memberi ruang kepada para atlet untuk menunjukkan kualitas terbaik untuk melewati setiap tantangan, di samping emosi, beban, juga semangat dan ambisi yang menyertainya.

Torang Bisa

PON Papua tentu tidak semata-mata menjadi panggung permainan untuk mengadu ketangkasan, kecepatan, kekuatan, kecerdikan, hingga skill lainnya. Ada banyak pesan yang muncul dari timur Indonesia. Salah satunya termaktub dalam tagline "Torang Bisa."

Bisa apa kalau begitu? Pertama, bisa menyelenggarakan dan menyukseskan PON dengan segala tantangannya. Salah saut tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana memastikannya terlaksana di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda.

Kurang dari tiga bulan menuju hari H, Indonesia masih berada dalam masa darurat virus berbahaya itu. Jumlah kasus baru harian belum melandai. Ditambah lagi kekhwatiran bahwa daerah-daerah di luar Jawa bergantian menjadi episentrum penyebaran.

Pada titik ini, perhelatan PON Papua tidak hanya menjadi kesempatan untuk merealisasikan panggilan manusia sebagai "makhluk bermain" tetapi juga sebagai "makhluk berpikir" dan "bekerja."

Konsep "Homo Ludens" Huizinga tidak bisa berjalan sendirian. Agar bisa "bermain" dan bertanding dengan baik, maka akal, otot, dan segala sumber daya lain harus diikutsertakan. Begitu juga dibutuhkan kolaborasi dengan komponen lain untuk memastikan permainan itu terlaksana sesuai rencana.

Hingga hari ini, belum ada tanda-tanda jadwal PON XX akan berubah. Pihak penyelenggara sudah mempersiapkan sejumlah skenario mulai dari vaksinasi bagi semua atlet dan kontingen yang terlibat, hingga sistem "bubble" untuk membatasi ruang gerak pemain dan pelatih. Penyelenggaraan Olimpiade Tokyo bisa jadi cermin untuk menyelenggarakan turnamen di masa pageblug ini.

Namun skenario itu perlu dilengkapi dengan sosialisasi yang baik dan pengawasan yang ketat. Ditambah lagi regulasi dan pengaturan yang jelas bagi para penonton, serta percepatan vaksinasi bagi masyarakat Papua.

Sumber: https://www.instagram.com/ponxx2020papua/
Sumber: https://www.instagram.com/ponxx2020papua/

Kedua, Huizinga menitikberatkan pada aspek permainan pada waktu dan tempat tertentu. Sepertinya ia kurang menyinggung apa yang terjadi setelah permainan itu. Apa yang harus dilakukan para pemain dan penonton setelah permainan berakhir, termasuk bagaimana nasib setiap arena permainan. Apakah dilupakan dan ditinggalkan begitu saja?

Tentu tidak. Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit untuk penyelenggaraan PON ini. Masyarakat Papua dan bangsa Indonesia sudah berkorban dengan caranya, mulai dari kerelaan untuk memberi porsi anggaran PON dan kesediaan orang Papua untuk menjadi tuan rumah bagi banyak orang dari mana-mana.

Semua itu tentu harus diganjar dengan penampilan para atlet yang maksimal dan prestasi, tentu saja. PON sejatinya adalah medium untuk menjaring potensi dan talenta terbaik dari seantero nusantara untuk dipersiapkan ke level internasional. Kita menanti bintang-bintang bermunculan, rekor-rekor nasional mengemuka, bahkan catatan-catatan impresif kelas dunia yang menyingsing dari timur.

Hal lain yang tak kalah menantang adalah bagaimana memanfaatkan setiap fasilitas setelah PON. Jangan sampai berbagai venue itu cepat berubah wajah karena ditelantarkan dan tak dimanfaatkan. Ini menjadi tugas penting bagi pemerintah dan rakyat Papua.

PON Papua adalah warisan berharga untuk dimanfaatkan generasi muda Papua. Gelanggang-gelanggang itu sejatinya menjadi tempat bagi tumbuh dan berkembangnya inovasi, kreativitas, dan prestasi.

Sumber: https://www.instagram.com/p/CRyHtkIBIDn/
Sumber: https://www.instagram.com/p/CRyHtkIBIDn/

Ketiga, Huizinga tampaknya begitu terobsesi dengan kualitas manusia untuk bermain sungguh-sungguh. Sampai-sampai ia lupa bahwa permainan itu bukan kata kerja yang berdiri sendiri. Bermain bukan hanya perkara bermain belaka. Ada unsur-unsur lain yang ikut berperan mulai dari politik, ekonomi, budaya, hingga seni.

Pada titik ini, PON Papua diharapkan bisa melampaui "Homo Lundens" Huizinga. PON Papua tidak hanya berputar di sekitar atlet dan arena, juga skor dan rekor. Tetapi juga sinergi lintas sektor dan kebermanfaatan bagi masyarakat dan daerah secara luas.

Staf Khusus Presiden, Billy Mambrasar sudah melontarkan sejumlah gagasan brilian. Sebagai orang muda Papua ia memberi jalan bagaimana PON Papua bisa memberikan manfaat tidak hanya bagi percepatan pembangunan infrastruktur fisik di Papua dan Papua Barat. Tetapi juga menjadi lokomotif untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi dan investasi, serta pariwisata.

Pesona keindahan Purlai Harlem: https://indonesiakaya.com/
Pesona keindahan Purlai Harlem: https://indonesiakaya.com/

PON ini menjadi kesempatan emas untuk mempromosikan Papua dengan segala kekayaannya secara lebih luas. Pesta olahraga itu menjadi momentum memperkenalkan produk lokal, karya kreatif muda-mudi Papua, dan destinasi wisata alam dan kultural.

Orang Papua tidak boleh jadi tuan rumah yang menjadi penonton belaka. Mereka harus dilibatkan secara optimal dengan segala peran yang bisa diemban seperti relawan, hingga pelaku usaha dan ekonomi kreatif.

Papua tidak hanya Raja Ampat dan Sajojo saja. Orang Papua layak menjadi subjek dan tanah Papua yang kaya punya daya tarik kuat untuk menyihir banyak orang agar datang dan datang lagi setelah PON berakhir.

Torang bisa pace dan mace! Onomi Fakhai Indonesia.....

 

Referensi:

1. Johan Huizinga, "Homo Ludens: Fungsi dan Hakekat Permainan dalam Budaya", LP3ES, 1990.

2. https://pu.go.id

3. https://www.beritasatu.com

4. https://www.kemenpora.go.id

5. http://indonesiabaik.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun