Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Merindu Ramadan Kala WFO, dari Office Boy Sang Penolong hingga "Penumpang Gelap" Bukber

16 April 2021   22:41 Diperbarui: 16 April 2021   22:42 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buka puasa bersama di kantor: TRIBUN KALTIM/NEVRIANTO HARDI PRASETYO

Hingga hari ini dunia masih bertempur dengan pandemi Covid-19. Tidak terkeculi kita di Indonesia. Sudah lebih dari setahun kita bergulat dengan berbagai tantangan mulai dari pembatasan sosial, krisis ekonomi, hingga kewajiban menjalankan protokol kesehatan (prokes).

Slogan 3M yang digaungkan dan diwajibkan pemerintah dianggap tak lagi relevan. Sejumlah epidemiolog menganggap perlu menambah sejumlah protokol. Memakai Masker, Mencuci Tangan, dan Menjaga Jarak, dianggap tak cukup untuk memutus mata rantai pandemi. Perlu ditambah Menjauhi Kerumunan dan Mengurangi Mobilitas agar "bencana" itu tak meluas, bahkan bisa segera lenyap. Maka, jadilah 5 M.

Sejak kasus perdana diumumkan pada 2 Maret 2020, jumlah total kasus Covid-19 di tanah air hingga Jumat, (16/4/2021) hari ini mencapai 1.594.722. Melansir data Satuan Tugas Penangan Covid-19, angka keseluruhan itu termasuk penambahan 5.363 kasus dalam 24 jam terakhir.  Sementara itu jumlah suspek Covid-19 di hari yang sama mencapai 58.999 kasus.

Kita bersyukur dari jumlah tersebut 1.444.229 orang berhasil sembuh. Namun demikian 43.196 kasus kematian bukan angka yang kecil. Jangankan sebanyak itu, satu nyawa saja melayang sudah memberikan arti tersendiri. Apalagi bila lebih dari seratus keluarga harus menangisi kepergian orang terkasih saban hari.

Data Covid-19 di Indoensia per Jumat, 16 April 2021: https://covid19.go.id/
Data Covid-19 di Indoensia per Jumat, 16 April 2021: https://covid19.go.id/

Berkaca pada data dan tren tersebut, pandemi masih menjadi momok dan ancaman bagi siapa saja. Karena itu, penerapan segala protokol kesehatan, plus vaksinasi, adalah harga mati. Seruan belajar dan bekerja dari rumah belum juga ditarik kembali.

Dunia pendidikan dan dunia kerja tidak bisa tidak beradaptasi dengan normal baru. Kita bisa mendapati sekian banyak penyesuaian. Implementasi di dunia kerja misalnya, konsep kerja yang aman dan sehat menjadi perhatian penting. Karyawan yang sedang sakit tidak disarankan pergi bekerja.

Ventilasi di kantor ditinjau lagi agar aliran udara lebih lancar demi mencegah transmisi virus secara aerosol. Begitu juga perkantoran yang menggunakan sistem pendingin sentral diperbaiki, berganti sistem pendingin yang tidak terpusat. Berbagai perbaikan sarana prasarana dilakukan demi menunjang penerapan kesehatan kerja.

Karyawan merasa perlu membuka jendela sesering mungkin, kecuali di gedung pencakar langit. Bila tidak diganti dengan serutin mungkin mencari udara segar di luar gedung. Bila sebelumnya hampir tak pernah mengenal "hand  sanitizer" maka kini penggunaan cairan antiseptik itu sudah menjadi keharusan.

Bertemu rekan kerja, apalagi tamu, sudah menjadi biasa bila dibuka dengan gerakan namaste, lambaian tangan, atau sekadar menyunggingkan senyum, ditingkahi tatapan mata was-was. Untuk sejumlah urusan, penting untuk mengantongi surat keterangan negatif Covid-19 melalui sejumlah tes.

Sejumlah perusahaan malah tidak mau ambil risiko. Mereka tidak hanya membatasi karyawan untuk bekerja di kantor (Work From Office/WFO), tetapi memberlakukan status bekerja dari rumah (Work From Home/WFH) bagi segenap karyawan tanpa terkecuali. 

Kantor perusahaan yang masih memberlakukan WFH menjadi sunyi sepi. Hanya tersisa segelintir staf yang berurusan dengan tamu yang sempat datang atau paket kiriman surat yang masih perlu beralamatkan kantor tersebut.

OB Sang Penolong

Berbagai perubahan itu pun berpengaruh pada suasana sepanjang Ramadan. Bila dua tahun lalu masih terjadi hiruk pikuk beberapa jam sebelum buka puasa, tidak demikian dengan tahun ini. 

Pihak kantor sudah memahami bila para karyawannya harus mengambil jeda lebih awal agar bisa berbelanja menu buka puasa, atau harus mengejar waktu agar bisa berbuka puasa di rumah.

Para Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah diizinkan pulang lebih cepat. Bagi instansi pemerintah yang memberlakukan lima hari kerja, para ASN bisa pulang pukul 15.00 atau 15.30 setelah bekerja sejak pukul 08.00 pagi. Sementara yang memberlakukan enam hari kerja, dengan jam masuk kerja yang sama, mereka bisa pulang pukul 14.00 atau 14.30.

Bagi ASN atau perusahaan yang memberlakukan kebijakan tersebut tentu cerita buka puasa bersama alias bukber akan berbeda dibanding di tempat kerja yang tidak mengambil kebijakan serupa. Tentang jenis yang kedua ini aku akan berkisah.

Bila seseorang tidak sempat berbelanja sendiri karena sulitnya menjangkau tempat para penjual makanan atau sengaja tidak ingin ke luar gedung, biasanya dititipkan pada rekan kerja lain. Kalau tidak, meminta bantuan "office boy" (OB) untuk membelikan pesanan.

Kalau pilihan jatuh pada yang terakhir maka bisa dilihat betapa sibuknya si OB itu. Ia akan bertandang dari satu meja ke meja lainnya dengan catatan di tangan. Ia harus memastikan menu dan jumlah pesanan tidak sampai keliru.


Selain itu, ia juga harus mencatat nomilan pemberian masing-masing orang. Ia merasa perlu menjadi seorang penolong yang transparan dan akuntabel. Satu sen pun jangan sampai tertukar, apalagi sampai dianggap menyeleweng.

Ilustrasi menu buka puasa: ppiswedia.se
Ilustrasi menu buka puasa: ppiswedia.se


Keruwetannya tidak berhenti di situ. Pekerjaan paling berat memantinya di lokasi belanja. Ia harus memilih ke penjual mana ia mula-mula bertandang. Setelah mendapatkan pesanan terbanyak di salah satu penjaja makanan, ia masih harus melengkapi dengan pesanan lainnya. Yakin tak ada yang terlewat, ia pun pulang dengan tangan sarat belanja. Bisa dibayangkan bila si OB itu seorang diri dan harus melayani puluhan karyawan!

Selanjutnya, ia akan mendistribusikan kepada masing-masing pemesan. Sambil melaporkan jumlah yang dibelanjakan berikut kembaliannya. Ia akan mendapat balasan sejumlah lembar. Jumlahnya bervariasi tergantung besaran yang dikembalikan atau keikhlasan sang pemberi.

Bila ternyata tak ada uang kembalian maka yang ia dapatkan tentu ucapan terima kasih dengan senyum terbaik berikut sedikit penghiburan bahwa ia akan mendapat bagian pada hari berikutnya.

Ada kalanya ia akan menjadi OB yang paling malang. Alih-alih mendapat sedikit apresiasi, tugas yang tidak ringan yang baru diselesaikan, berbalas sungut dan gerutu. Sebabnya bisa jadi pesanan tak terpenuhi lantaran kalah bersaing dengan pembeli lainnya, atau tampilan makanan yang dibeli dengan susah payah itu tidak sesuai harapan.

"Penumpang Gelap"

Buka puasa bersama di kantor adalah saat yang dinanti bagi segenap karyawan. Tidak hanya mereka yang berpuasa, tetapi juga yang tidak. Menikmati camilan bersama yang didahului sejumlah aksi saling rebut dan tingkah meminta dan merayu adalah pengalaman tersendiri.

Di tempat kerja saya, ada hari-hari tertentu untuk "bukber". Setidaknya ada dua pemicu. Pertama, ada yang berulang tahun atau atasan tengah berbaik hati sehingga menjadi dewa kebaikan yang melayani kebutuhan buka puasa segenap penghuni.

Kedua, kesepakatan bersama. Bila ini yang terjadi maka masing-masing orang akan dengan sukarela mengumpulkan uang sehingga bisa dibelanjakan untuk dinikmati bersama. Kalau sudah sampai urusan ini maka, lagi-lagi sang OB akan menjadi dewa penolong.

Banyak hal menarik terjadi saat itu. Keseruan menikmati hidangan bersama. Berebut menu favorit. Ekspresi-ekpresi kocak yang muncul kemudian atau terlihat pada akhirnya setelah camilan favorit habis secara tak terduga.

Juga munculnya para "penumpang gelap" yang dengan tahu dan mau ikut menikmati walau tidak berkontribusi. Jenis ini biasanya menjadi pengecualian. Umumnya adalah mereka yang tidak berpuasa tetapi diajak ikut ambil bagian. Tentu ini bukan perkara besar. Apalagi soal makanan. Di bulan puasa pula.

Ilustrasi buka puasa bersama: REUTERS/ Hamad I Mohammed
Ilustrasi buka puasa bersama: REUTERS/ Hamad I Mohammed

"Ingat ini bulan puasa. Dilarang mencurigai. Dilarang menikmati sendiri." Demikian sejumlah alasan yang berakhir dengan senyum dan tawa segenap pendengar.

Setelah bukber di kantor menjadi kenangan, keseruan itu tentu berpindah tempat. Bisa jadi di masing-masing rumah. Atau di tempat-tempat tertentu dengan orang-orang tercinta.

Sesungguhnya, tempat dan suasana seperti ini yang lebih diimpikan. Pandemi pun membawa berkah. Menjawab kerinduan segenap abdi  Allah yang ingin menunaikan kewajiban agama dengan orang-orang terdekat.

Waktu yang biasanya digunakan untuk "bukber" di tempat kerja atau di restoran dengan rekan bisnis, diganti dengan ibadah di rumah bersama segenap anggota keluarga. Kalau biasanya waktu berharga itu harus dikejar dengan susah payah di tengah kemacetan, maka sekarang kesempatan itu terbuka sedemikian lebar.

Kita tak perlu memburu waktu. Kita tak perlu merindu kesempatan. Saat-saat yang didambakan itu tergerai seluas-luasnya tanpa perlu harus dikejar. Yang perlu kita buat hanyalah menikmati, menikmati, dan menikmati.

Selamat menikmati!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun