Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Ni Nengah di Tengah Ketidakadilan Dunia Olahraga

9 September 2016   12:03 Diperbarui: 10 September 2016   01:15 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai perhelatan Olimpiade Rio dunia seakan kembali sepi. Pesta olahraga antarbangsa sejagad yang dihelat sejak 5-21 Agustus itu seperti pucak segalanya. Perjuangan dan pengorbanan selama bertahun-tahun tandas melebur dalam tawa dan air mata, susah dan senang, kalah dan menang. Brasil menjadi seperti tanur api yang membakar hangus segalanya.

Setelah Rio olahraga seakan tak ada lagi masa depan. Setelah momen empat tahunan itu dunia olahraga seperti tak punya alasan untuk hidup. Upacara pembukaan Paralimpiade yang dihelat tak lama berselang setelah Olimpiade di kota yang sama, tergambar tak menarik. Pesta olahraga bagi kaum difabel yang dimulai sejak 7 September lalu dan berakhir pada 18 September nanti seperti sudah kehabisan daya tarik. Energi dan perhatian telah disedot habis euforia dan glamour Olimpiade.

Kembang api dan berbagai atraksi yang berusaha dikemas sedemikian menarik tak juga sanggup menutupi sepi penonton dan minim perhatian ke stadion Maracana. Stadion sepak bola terbesar di Brasil bahkan dunia itu terlalu akbar untuk penonton yang mudah dibilang jumlahnya. Para atlet yang sebagiannya berarak mengguakan kursi roda seakan melambai-lambai pada bangku-bangku kosong. Dibanding pembukaan Olimpiade, Paralimpiade jelas-jelas kalah daya tarik, tertinggal dari segi antusiasme.

Apakah karena mereka cacat maka tak lagi menarik? Apakah karena mereka berkekurangan karena itu tak perlu dirayakan? Apakah karena mereka tak seperti orang kebanyakan maka tak perlu diperhatikan sebanyak mungkin orang? Apakah karena mereka berbeda maka perlu dibedakan?

Saya tak perlu menjawab secara lugas atau secara hipotetis. Silahkan saja kita bertanya diri, atau melihat sendiri dan mengambil kesimpulan sendiri. Hanya satu yang kita sepakati, olahraga tak pernah boleh diklaim sendiri. Adalah hak bersama untuk merayakan dan dirayakan, diperjuangkan dan diapresiasi, dengan tanpa melihat siapa, dari mana atau seperti apa rupanya.

Di tanah air, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir belum juga berhenti banjir hadiah wah nan menggiurkan. Medali emas satu-satunya dari sektor ganda campuran itu membuat mereka seakan-akan satu-satunya yang pantas dipuja-puji sedemikian tinggi. Terkesan, semua hanya untuk mereka karena setelah itu tak ada lagi yang bisa dan tak perlu lagi ada yang bisa seperti mereka.

Saya tak bermaksud mempersoalkan apresiasi pada pasangan bernama manis Owi/Butet itu. Perjuangan panjang dan pengorbanan demi nama baik bangsa patut diberi ganjaran. Sekeping emas yang dipersembahkan adalah gengsi dan prestise bagi 250-an juta penduduk Indonesia.

Namun, patut diingat masih banyak hal dalam dunia olahraga tanah air yang perlu diberi perhatian, bahkan semestinya lebih dari yang diperoleh Owi/Butet. Regenerasi. Proses kaderisasi.

Perlu diakui hal penting dan mendasar itu masih belum mendapat tempat yang pantas di negeri ini. Tak heran kemenangan satu dua orang serta-merta dianggap begitu luar biasa. Padahal bila harus jujur potensi sumber daya manusia Indonesia bisa menghadirkan kemenangan yang jauh lebih banyak.

Walau sekeping medali di ajang bergengsi seperti itu tak bisa direngkuh dengan mudah, apalagi semata-mata menggantung harapan pada dewi fortuna, kita kerap terjebak di titik akhir. Kita hanya menuntut hasil akhir tanpa pernah memberi ruang untuk proses. Kita hanya menunggu di puncak,dan  tak pernah menyediakan jalan. Tak pelak kita pun cepat memberi segalanya, karena kita tak pernah sadar bahwa kemenangan adalah muara dari jalan panjang berkelok-kelok dari hulu yang jauh.  Karena itu satu kemenangan tak pernah boleh merenggut semua perhatian untuk proses mencetak kemenangan-kemenangan selanjutnya.

Di Brasil sana, ada sembilan atlet difabel kita yang sedang berjuang. Dengan serba keterbatasan mereka berusaha menggerek Merah Putih ke tiang tertinggi. Satu prestasi pun sudah dituai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun